Tamu: Saya mencari Syech Siti Jenar?
SSJ: Syech Siti Jenar tidak ada yang ada Allah
Tamu: Kalau begitu saya mau mencari Allah
SSJ: Allah tidak ada, yang ada Syech Siti Jenar.
SSJ: Syech Siti Jenar tidak ada yang ada Allah
Tamu: Kalau begitu saya mau mencari Allah
SSJ: Allah tidak ada, yang ada Syech Siti Jenar.
Makna dari dialog yang sarat dengan
sufisme di atas adalah Aku mencari diriku dan hanya menemukan Allah, Aku
mencari Allah dan hanya menemukan diriku. Man Arofa Nafsahu, Faqod
Arofa Rabbuhu. Siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal
Tuhannya. Siapa yang tahu jati dirinya maka jati diri Tuhan juga
diketahuinya. Siapa yang kenal aku maka ke-Akuan Tuhan juga
diketahuinya. Manusia adalah bayangan di dalam sebuah kaca, sementara
yang berdiri di depan kaca adalah Tuhan.
Sang Syech adalah tokoh kejujuran membuka
selubung dan tirai hakikat yang dalam sejarah kemudian ditenggelamkan
ajarannya oleh penguasa kerajaan Demak karena ajarannya dianggap
membahayakan. Penguasa khawatir bahwa pengikut ajaran Sang Wali yang
terkenal dengan wirid Sasahidan tersebut nanti akan memberontak melawan
kerajaan dan melangggar hukum yang ditetapkan sehingga merongrong
kekuasaan raja. Syech Siti Jenar mengajarkan kepada kita semua bahwa
kita semua sejatinya mampu untuk melalui beberapa tahap: perjalanan
spiritual yaitu mendekati, mengenal, mencintai dan menjadi. Mendekati
Tuhan tentu dengan melaksanakan apa yang diperintahkanNya dan menjauhi
apa yang dilarangnya dalam syariat, mengenal Tuhan dengan membaca
menafsirkan dan menemukan makna hakiki dari apa yang diciptakan-NYA,
mencintai Tuhan yaitu dengan perilaku, asmak dan sifat-sifat yang
mengidentifikasinya NYA dan kemudian mengalami kebersatuan batiniah
dengan-NYA.
Terhubung dengan tahap-tahap pencapaian
Spiritualitas semacam ini, saya ingin lebih memfokuskan diri pada
bagaimana sesungguhnya membaca simbol. Artikel disini bukan sebuah
metode yang tetap dan baku namun lebih ke arah masukan agar akal budi
kita menjadi kritis sehingga kemudian mampu menemukan sendiri metode
atau jalan membaca tanda-tanda.
Alam semesta ini sesungguhnya adalah
bukti Kemahaan Allah SWT. Alam semesta ini juga sebuah simbol jejak,
tanda-tanda, sastra tanpa gending, atau papan tanpa tulis yang mana di
dalam simbol tersebut ada maksud dan tujuan yang tersebunyi yang masih
berupa rahasia. Rahasia ini menurut saya perlu dibuka sehingga kita
mendapatkan petunjuk apa maksud dan tujuan tersebut. Di sinilah letak
kemuliaan manusia. Hanya manusia yang mampu menafsirkan simbol dan
memaknai hidupnya. Sebab hanya manusia yang memiliki akal (verstand) dan
budi (vernunft) yang secara inheren sudah diinstalkan kepada manusia
sejak lahir.
Karena dunia ini penuh simbol maka dunia
ini bersifat hidup. Tanpa simbol, dunia akan mati. Di sinilah
persoalannya, tidak semua simbol-simbol itu bisa ditafsirkan menjadi
petunjuk menuju arah yang tepat bagi seseorang. Kepekaan untuk
menafsirkan simbol, kemudian menjadi penting. Esensi dari simbol dan
kisah akan hadir sebagai pengganti dari sesuatu yang tak dapat hadir.
Apa yang tak dapat hadir sehingga mewakilkan dirinya lewat simbol atau
kisah? Jawabnya: Makna. Ketika membahas makna, kita perlu waspada. Sudah
terlalu sering orang menyampur-adukkan antara makna dan kebenaran.
Makna sama sekali berbeda dengan kebenaran. Makna adalah sebuah
kebernilaian yang membuat sesuatu, apapun itu, tak menjadi kosong
belaka. Tapi, tak pernah ada sebuah kebenaran tunggal untuk makna,
setiap makna meski datang dari sebuah simbol yang sama. Tuhan dan makna
tentang Tuhan jelas dua hal yang berbeda. Adanya Tuhan pada dirinya
sendiri (an sich) tentu saja hanya Tuhan yang tahu, namun makna tentang
Tuhan semua orang punya hak untuk memilikinya. Sifat pemaknaan selalu
relatif dan dilarang diabsolutkan karena akan menjadi mitos dan
ideologi. Padahal pemaknaan hanya ciptaan manusia yang bisa benar maupun
bisa salah.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana
cara untuk menafsirkan simbol, tentu saja kita harus menjadi peka.
Sebuah pembelajaran sudah dituntunkan oleh para leluhur dan nenek moyang
kita. Leluhur kita ini siapa, ya semua yang sudah meninggal. Mereka
adalah para nabi, para wali, para raja, para patih, para pahlawan, bapak
dan mbah-mbah biksu, pedanda, petani, nelayan dan semua profesi yang
disandang nenek moyang kita dulu. Agar suatu makna sampai pada
tujuannya, dibutuhkan penuntun atau guru. Spiritualitas adalah soal
menemukan ’guru’, yang bisa memberi pelajaran hidup. Guru ini bisa
merujuk pada apa saja, tak harus sosok manusia, bisa peristiwa, gerak
alam dan sebagainya. Apa yang penting di sini adalah kedalaman pembacaan
atas realita. Dalam kedalaman pembacaan itulah ’Sang Guru’ akan
ditemukan. Guru yang justeru tidak mengenal lelah mengajari kita adalah
alam semesta. Orang Jawa menyebut alam semesta ini sesungguhnya adalah
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Sastra = Pengetahuan/
kawruh, Jendra = Kemuliaan / Keluhuran/ Rahsa, Hayu= Ayu/ Cantik/ Indah,
Ning=Wening/Bening/Keheningan, Rat= Semesta Alam Pangruwating=
Pembersih/Pengubah, Diyu=Raksasa/ Keburukan/ Kejahatan/ Hal-hal negatif.
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating
Diyu adalah pengetahuan yang mampu mengubah ‘raksasa’ menjadi ‘manusia’.
Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak
sesempurna manusia. Misalnya, kisah Prabu Salya yang malu karena
memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan
nama Patih Suwanda, malu memiliki adik raksasa bajang bernama
Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa
oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Betari
Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru ketika melakukan hubungan
pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan
Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandraguna dengan nama “Betara
Kala” (‘Kala’ berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma
kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan
di muka bumi. Betari Durga memiliki tempat tersendiri yang disebut
“Kayangan Setragandamayit”. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang
memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.
Simbolisme raksasa bermakna suatu
kekuatan besar namun wujudnya primitif. Kekuatan ini tidak identik
dengan pengertian jahat, melainkan lebih pada manifestasi kepantasan
yang tak sesuai untuk bisa diterima budaya. Manusia pun, dalam dirinya
memiliki ‘raksasa’ atau ‘kekuatan besar’ yang bisa mendorongnya
melakukan tindakan tertentu. Kekuatan ini tidak baik, tidak pula jahat,
manusia sendirilah yang memutuskan apakah akan menggunakannya untuk hal
baik atau jahat.
Sebenarnya, Kisah Begawan Wisrawa dan
Dewi Sukesi memiliki beberapa kesamaan dengan Kisah Adam dan Hawa, yang
jika kita renungkan memiliki makna mendalam karena kaitannya dengan
‘hasrat’ atau ‘energi’. Sama seperti para dewata yang tidak menginginkan
Begawan Wisrawa membagi begitu saja ilmu (baca: kawruh) Sastra Jendra
pada Dewi Sukesi, begitu pula dengan Allah yang murka karena Adam dan
Hawa memakan buah dari pohon pengetahuan. Kita juga menemukan bagaimana
hasrat menjadi sesuatu yang menggelincirkan manusia ke dalam petaka.
Begawan Wisrawa tergoda oleh Dewi Sukesi, sama dengan kisah dengan Adam
tergoda oleh Hawa.
Mengapa dikisahkan para Tuhan itu tidak
menyetujui jika manusia mendapat kawruh atau pengetahuan? Ini
terjelaskan dalam ucapan Betara Guru: “Tidak cukup seperti itu untuk
mempelajari ilmu tanpa laku, Serat Sastra Jendra dipagari sifat-sifat
kemanusiaan, kalau mampu mengatasi sifat-sifat kemanusiaan barulah dapat
mencapai derajat para dewa.”. Artinya, sama dengan pengetahuan yang tak
bisa begitu saja dimakan dari buah pengetahuan, demikian pula Sastra
Jendra, atau mengubah kekuatan besar dari dalam diri, itu juga tak bisa
dilakukan begitu saja tanpa lelaku, tanpa menjalani suatu proses.
Bagaimana seseorang akhirnya bisa kembali
sadar untuk berani menemukan arah hidup yang benar dan pas sehingga dia
mampu memerankan dirinya sesuai dengan yang dikehendaki Allah SWT dan
mau menjalani proses ke arah itu?
Kita pasti ingat sosok gendut, lucu dan
kocak dalam sosok Semar. Ki Lurah Semar adalah sosok gaib yang merupakan
utusan Gusti Kang Murbeng Dumadi yang bertugas mengingatkan manusia
agar selalu berada dalam rel sangkan paraning dumadi dan senantiasa awas
eling lan waspodo akan petunjuk-petunjuk Tuhan. Sebelum manusia
mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka bumi. Beliau mendapat
tugas khusus untuk menjaga dan memelihara jagad raya.
Saya memaknai bahwa sosok Semar yang
dipercaya oleh masyarakat Jawa sebagai pamomong itu adalah sosok Nabi
Khidir. Setidaknya ada tujuh manusia di bumi ini atas kehendak-NYA
dianugerahi umur panjang hingga akhir kisah adanya umat manusia. Salah
satunya adalah Nabi Khidir.
Adalah Raja Iskandar Zulkarnain yang
disebut The Great Alexander (Iskandar yang agung), seorang kaisar yang
mampu menaklukkan dunia barat dan timur namun senantiasa menjalankan
amanah-NYA. Dalam sejarah tercatat 322 SM, atas saran penasihat kerajaan
yang bernama Rafa’il (sejatinya seorang malaikat) Iskandar Zulkarnain
menuju ke tepi bumi mencari air kehidupan. Menurut Rafail, siapa yang
meminum air tersebut maka dia akan abadi.
Iskandar Zulkarnain (Z): malaikat Rafa’il ceritakanlah kepadaku tentang ibadah para malaikat di langit.
Rafa’il (R) berkata: ibadah para malaikat
di langit di antaranya ada yang berdiri tidak mengangkat kepalanya
selama-lamanya. Ada yang sujud tidak mengangkat kepala selama-lamanya,
dan ada pula yang rukuk tidak mengangkat kepala selama-lamanya. Iskandar
tertegun dan muncul dahal hati ingin meniru ibadah pada malaikat.
Niatnya hanya satu agar dapat beribadah kepada Allah.
R: Sesungguhnya Allah telah menciptakan
sumber air di bumi, namanya Ainul hayat yang artinya sumber air hidup,
maka barang siapa yang meminumnya seteguk, maka tidak akan mati sampai
hari kiamat atau sehingga ia memohon kepada Allah agar supaya dimatikan.
Z: apakah kau tahu dimana tempat ainul hayat itu.
R: Ainul hayat itu berada di bumi yang gelap.
Mendengar keterangan malaikat Rafa’il
tentang Ainul hayat, maka raja mengumpulkan para alim ulama. Raja
bertanya kepada mereka tentang Ainul hayat dan ada seorang yang alim di
antara mereka menjawab: sesungguhnya aku pernah membaca di dalam wasiat
nabi Adam AS, beliau berkata bahwa sesungguhnya Allah meletakkan Ainul
Hayat itu di bumi yang gelap.
Dimanakah tempat bumi yang gelap itu ? Tanya raja dan dijawab, yaitu di tempat keluarnya matahari.
Singkatnya, disertai tentara Iskandar
Zulkarnain pun berangkat mencari tempat itu. Raja bertanya kepada abdi
dalemnya: kuda apa yang sangat tajam penglihatannya di waktu gelap?
Mereka menjawab, kuda betina yang perawan. Raja memerintahkan untuk
mengumpulkan 1000 ekor kuda betina yang masih perawan, lalu raja memilih
di antara tentaranya yang sebanyak 6000 tentara, di antara mereka
terdiri juga para cendekiawan dan yang ahli mencambuk.
Di antara para tentara tersebut, Allah
SWT menyisipkan Nabi Khidir AS. Setelah menempuh perjalanan jauh selama
12 tahun, tentara yang berjumlah sekitar enam batalyon itu menemukan
sebuah tempat yang ternyata gelapnya seperti asap, bukan seperti
gelapnya waktu malam.
Seorang cendekiawan mencegah raja masuk
ke tempat gelap itu dan tentara-tentaranya berkata kepada raja. “Wahai
raja, sesungguhnya raja-raja yang terdahulu tidak ada yang masuk ke
tempat gelap ini karena tempat ini gelap dan berbahaya”.
Raja berkata: “Kita harus memasukinya, apapun yang terjadi”.
Saat raja akan masuk, raja berkata kepada
pasukannya : “Diamlah, kalian di tempat ini selama 12 tahun, jika aku
bisa datang kepada kalian dalam masa 12 tahun itu maka kita pulang
bersama, jika aku tidak datang selama 12 tahun maka pulanglah kembali ke
negeri kalian.”
Iskandar Zulkarnain bertanya kepada
Malaikat Rafail: “Apabila bila kita melewati tempat yang gelap ini
apakah kita dapat melihat kawan-kawan kita? “. Rafail menjawab “Tidak
bisa kelihatan. Tetapi aku memberimu sebuah mutiara, jika mutiara itu ke
atas bumi maka mutiara tersebut dapat menjerit dengan suara yang keras
dengan demikian maka teman-teman kalian yang tersesat jalan dapat
kembali kepada kalian” .
Raja Zulkarnain masuk ke tempat tersebut
dan didampingi oleh Nabi Khidir. Kejadian ini tentu saja sudah diatur
oleh Allah SWT. Saat dalam perjalanan di tempatgelap tersebut, Allah SWT
memberikan wahyu kepada Khidir: “Bahwa sesungguhnya Ainul Hayat itu
berada di sebelah kanan jurang dan Ainul Hayat itu Aku khususkan untuk
kamu “.
Setelah Nabi Khidir menerima wahyu
tersebut kemudian beliau berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Berhentilah
kalian di tempat kalian masing-masing dan janganlah kalian meninggalkan
tempat kalian sehingga aku datang kepada kalian “.
Khidir berjalan pasti menuju ke sebelah
kanan jurang maka didapatilah oleh beliau sebuah sumber air yang bernama
Ainul Hayat yang dicari itu. Khidir turun dari kudanya dan beliau mandi
di sumber air hidup tersebut. Khidir merasakan bahwa airnya terasa
lebih manis dibanding madu. Setelah mandi dan minum Ainul Hayat, dia
menemui Iskandar Zulkarnain yang tidak tahu bahwa Khidir As telah mandi
di sana.
PENGAJARAN KHIDIR
Nabi Khidir adalah sosok guru bijaksana yang diberkahi Allah SWT hidup sepanjang usia manusia. Dia adalah tanda dan pembelajaran agar manusia tidak boleh mempertuhankan akal rasionya sebagaimana pengajaran kepada para nabi dan wali selama ini. Diajarkan kepada Nabi Musa As sebuah ilmu futurologis yang susah dijangkai akal, Khidir juga pernah bertemu Rasullullah SAW dan bahkan pernah “menyamar” berguru Ilmu Fiqih kepada Imam Anu Hanifah. Di Jawa, dia pernah memberi pengajaran kepada Sunan Kalijaga (Syech Malaya) di tengah laut saat sang Sunan ingin pergi mencari hidayah iman.
Nabi Khidir adalah sosok guru bijaksana yang diberkahi Allah SWT hidup sepanjang usia manusia. Dia adalah tanda dan pembelajaran agar manusia tidak boleh mempertuhankan akal rasionya sebagaimana pengajaran kepada para nabi dan wali selama ini. Diajarkan kepada Nabi Musa As sebuah ilmu futurologis yang susah dijangkai akal, Khidir juga pernah bertemu Rasullullah SAW dan bahkan pernah “menyamar” berguru Ilmu Fiqih kepada Imam Anu Hanifah. Di Jawa, dia pernah memberi pengajaran kepada Sunan Kalijaga (Syech Malaya) di tengah laut saat sang Sunan ingin pergi mencari hidayah iman.
Inilah ajaran Khidir kepada Sunan
Kalijaga dalam Suluk Ling Lung: Jika kamu berkehendak naik haji ke
Mekah, kamu harus tahu tujuan yang sebenarnya menuju Mekah itu.
Ketahuilah, Mekah itu hanyalah tapak tilas saja. Yaitu bekas tempat
tinggal Nabi Ibrahim zaman dulu. Beliulah yang membuat bangunan Ka’bah
Masjidil Haram, serta yang menghiasai Ka’bah itu dengan benda yang
berupa batu hitam (Hajar Aswad) yang bergantung di dinding Ka’bah tanpa
digantungkan. Apakah Ka’bah itu hendak kamu sembah? Kalau itu yang
menjadi niatmu, berarti kamu sama halnya menyembah berhala / bangunan
yang dibuat dari batu”.
Perbuatanmu itu tidak jauh berbeda dengan
yang diperbuat oleh orang kafir, karena hanya sekedar menduga-duga saja
wujud Allah yang yang disembah, dengan senantiasa menghadap kepada
berhalanya. Oleh karena itu, biarpun kamu sudah naik haji, bila belum
tahu tujuan yang sebenarnya dari ibadah haji, tentu kamu akan rugi
besar. Maka dari itu, ketahuilah bahwa Ka’bah yang sedang kautuju itu,
bukannya yang terbuat dari tanah atau kayu apalagi batu, tetapi Ka’bah
yang hendak kau kunjungi itu sebenarnya Ka’batullah (Ka’bah Allah).
Demikian itu sesungguhnya iman hidayah yang harus kamu yakinkan dalam
hati.
Nabi Khidir berpesan, “Yang Tunggal ada
pada dirimu sendiri dan di sana sudah tercakup makna di dalamnya. Tidak
dapat kamu lihat, tiada berbentuk apalagi berwarna, tidak berwujud
garis, tidak dapat ditangkap mata, juga tidak bertempat tinggal, hanya
dapat dirasakan oleh orang yang awas mata hatinya, hanya berupa
penggambaran-penggmabaran (simbol) memenuhi jagad-raya, dipegang tidak
dapat”.
Bila kamu lihat, yang nampak seperti
seperti berubah-ubah putih, yang terang-benderang sinarnya, memancarkan
sinar yang menyalan-yala, Sang Permana itulah sebutannya, hidupnya ada
pada dirimu; Permana itu, menyatu pada dirimu sendiri, tetapi tidak ikut
merasakan suka dan duka, tempat tinggalnya pada ragamu, juga tidak ikut
sakit dan menderita, dan jika Sang Permana meninggalkan tempatnya, raga
menjadi tidak berdaya, dan pasti lemahlah seluruh badanmu, sebab itulah
letak kekuatannya. Permana, dihidupi oleh nyawa yang mempunyai
kelebihan, menguasai seluruh badan, Permana itu bila mati ikut
menanggung, namun bila telah hilang nyawa, kemudian yang hidup hanyalah
sukma / nyawa yang ada. Kehilangan itulah yang didapatkan, kehidupan
nyawalah yang sesungguhnya, yang sudah berlalu diibaratkan, seperti
rasanya pohon yang tidak berbuah, Sang Permana yang mengetahui dengan
sabar, sesungguhnya satu asal, perhatikan secara seksama penjelasan
tadi.
Setelah diajarkan semua pelajaran sampai
selesai, tentang ruh idhofi yang menjadi inti pembahasannya; Adapunwujud
sesungguhnya Alip itu, asal dan muasalnya itu, berasal dari johar Alip
itu, yang dinamakan kalam karsa. Timbullah hasrat kehendak Allah itu
menjadikan terwujudnya dirimu; dengan adanya wujud dirimu menunjukkan
akan adanya Allah dengan sesungguhnya; Allah itu tidak mungkin ada dua
apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal / muasal kejadian dirinya, maka
bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri.
Adapun sifat jamal (sifat yang bagus) itu
ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan, bahwa pada dasarnya
adanya dirinya itu, karena ada yang mewujudkan adanya. Demikianlah yang
difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi Kekasih-Nya. “Kalau
tidak ada dirimu, saya Allah tidak akan dikenal / disebut; Hanya dengan
sebab adanya kamulah yang menyebutkan akan keberadaan-KU; Sehingga
kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu, Adanya Aku, Allah, menjadikan
ada dirimu, Wujudmu menunjukkan adanya wujud Dzat-KU”. Dan untuk
memperjelas jati dirimu, tidaklah kau sadari, bahwa hampir ada persamaan
Asma-Ku yang baik (Asmaul Husna) dengan sebutan manusia yang baik
(misal : Allah Yang Maha Pengasih, dengan: Siti Fatimah mengasihi
anaknya). Itu semua kau maksudkan untuk memudahkan penggambaran
perwujudan tentang Diri-Ku. Padahal kau tahu, Aku berbeda dengan dirimu,
yang tidak mungkin dapat disamakan satu sama lain. Dan kamu pasthi
mengalami kesulitan dan tidak mungkin dapat melukiskan atau menyebutkan
Asma-Ku dengan setepat-tepatnya.
Namamu yang baik dapat menyerupai nama-Ku
Yang Baik (Asmaul Husna); Apakah kamu sudah dapat meraih sebutan nama
yang baik itu? Baik di dunia maupun di akhirat? Kamu ini merupakan
penerus / pewaris Muhammad Rasulullah, sekaligus Nabi Allah. Ya Illahi,
ya Allah Tuhanku… (Bagi pembaca maupun pendengar dianjurkan berdoa pada
Allah. Insya Allah berhasil kabul apa yang diinginkan, Amin, amin, amin,
ya Rabbal alamin).
Nabi Khidir mengakhiri pembacaan Firman
Allah SWT, kemudian melanjutkan memberi penjelasan pada Sunan Kalijaga;
“Tanda-tanda adanya Allah itu, ada pada dirimu sendiri harap direnungkan
dan diingat betul. Asal muasal Alip itu akan menjadikan dirimu bersusah
payah selagi hidup. Bagi orang yang senang membicarakan dan memuji
dirinya sendiri, akan dapat melemahkan semangat usahanya, antara tidak
dan iya penuh kebimbangan. Alip tercipta karena sudah menjadi suratan
ketentuan yang digariskan. Sungguhnya alip itu, tetap kelihatan ada dan
adanya tidak dapat berubah. Itulah yang disebut Alip. Adapun bila
terjadi perubahan, itulah yang disebut Alip Adi, yang menyesuaikan diri
dengan keadaanmu.
“Mengapa kamu wajib shalat, di dalam
dunia ini?”. Asal mula diwajibkan menjalankan shalat itu ialah
menyesuaikan diri dengan ketentuan di zaman azali, kegaiban yang kau
rasakan saat itu; Bukankah kamu juga berdiri tegak, bersedekap
menciptakan keheningan hati, bersidekap menyatukan konsentrasi,
menyatukan segala gerakmu.
Ucapanmu juga perlu kau satukan, akhirnya
kau rukuk tunduk kepada yang menciptakanmu, merasa sedih karena malu
sehingga menciptakan timbul, keluar air matamu yang jernih, sehingga
tenanglah segala kehidupan ruhmu, rahasia iman dapat kau resapi. Setelah
merasakan semua itu, mengapa harus sujud ke bumi? Pangkal mula
dikerjakan sujud bermula adanya, cahaya yang memberi pertanda pentingnya
sujud, yaitu merasa berhadapan dengan wujud Allah biarpun tidak melihat
wujud yang sesungguhnya, dan yakin bahwa Allah melihat segala wujuh
gerak kita (pelajaran tentang ihsan).
Dengan adanya Islam dimaksudkan, agar
makhluk yang ada di bumi dan di langit, dan termasuk dirimu itu,
beribadah sujud kepada Allah dengan hati yang ikhlas sampai kepala
diletekkan dimuka bumi, sehingga bumi dengan segala keindahannya tidak
tampak di hadapanmu, hatimu hanya ingat Allah semata-mata. Ya
demikianlah seharusnya perasaanmu, senantiasa merasa sujud di bumi ini.
Mengapa pula menjalankan duduk diam seakan-akan menunggu sesuatu?
Melambungkan pengosongan diri dengan harapan ketemu Allah! Padahal
sebenarnya itu tidak dapat mempertemukan dengan Allah. Allah yang kau
sembah itu betul-betul ada. Dan hanya Allah-lah tempat kamu mengabdikan
diri dengan sesungguhnya. Dan janganlah sekali-kali dirimu menggap
sebagai Allah. Dan dirimu jangan pula menganggap sebagai Nabi Muhammad.
Untuk menemukan rahasia yang sebenarnya
harus jeli. Sebab antara rahasia yang satu berbeda dengan rahasia yang
lain. Dari Allahlah Nabi Muhammad mengetahui segala rahasia yang
tersembunyi dan Nabi Muhammad sebagai makhluk yang dimuliakan Allah
sering menjalankan puasa mengeluarkan shodaqoh naik haji melakukan
ibadah shalat.
Hidayah iman (petunjuk iman) yang terasa
dalam diri perlu ditangkap dengan kesadaran ruh yang sejati. Tidaklah
menggunakan telinga. Cara melatihnya juga tanpa dengan mata. Adapun
telinganya, matanya yang diberikan oleh Allah. Ada padamu itu. Secara
lahir sukma itu sudah ada padamu. Secara batinnya ada pada sukma itu
sendiri. Memang demikanlah penerapannya. Ibarat seperti batang pohon
yang dibakar. Pasti ada asapnya api. Menyatu dengan batang pohonnya.
Ibarat air dengan alirannya. Seperti minyak dengan susu. Tubuhnya
dikuasai oleh gerak dan kata hati dari Yang Maha Batin, Hyang Sukma.
Demikan pun wujudmu, suaramu. Serahkan
kembali kepada Yang Empunya suara. Justru kau hanya mengakui saja.
Sebagai pemiliknya. Sebenarnya hanya mengatas namai saja. Maka dari itu
kau jangan memiliki kebiasaan yang menyimpang. Kecuali hanya kepada
Hyang Agung. Dengan demikian maka bersiaplah meraga sukma yaitu kata
hatimu sudah bulat menyatu dengan Gusti. Apa yang kau pikir dan kau
rasakan akan terwujud dan sudah terkuasai olehmu. Jagad seisinya justru
benar-benar untukmu. Sebagai upah atas kesanggupanmu sebagai khalifah di
dunia ini.
Ia tidak takut kapan pun maut menjemput.
Yang sempurna ialah yang diterima dari Tuhan Yang Tak akan tampak
wujudnya. Kesempurnaan mati dihadapi dengan damai dengan tidak
meninggalkan hak-Nya dan memasuki alam malakut atau alam para nabi yang
baunya harum wewangi dan mulia. Semoga sedulur masyarakat pendekar maya semua mampu
menggapainya. Amin.. @@@
No comments:
Post a Comment