MENYATU DENGAN DZAT - SYEKH SITI JENAR (AJAL)
@@ disalin dari buku Syech Siti Jenar
cetakan ke IV Safar 1423 H/ April 2003 Masehi; penulis ACHMAD CHODJIM
2002 dengan pengantar oleh Budhy Munawar Rachman- Direktur Pusat studi
Islam Yayasan Paramadina
Syahdan di tepi jalan perkampungan Negeri
Demak, seorang lelaki paruh baya berjalan dengan tenang. Wajahnya putih
memancarkan cahaya, janggut serta cambang berwarna kebiruan. Rambut
dikepalanya tertutup blangkon berwarna hitam garis pinggir merah
menyala, begitu juga sorban, gamis dan jubahnya dengan latar hitam
bercorak merah. Lelaki paruh baya itu bertubuh sedang, berjalan tenang,
lengan kanannya menggenggam tasbih seraya mulutnya komat-kamit
mengumandangkan dzikir.
Pada kelokan jalan sunyi yang dihiasi semak belukar dan pepohonan kanan kirinya, tiba-tiba muncul tiga orang lelaki berpakaian serba hitam dengan ikat kepala, bertubuh kekar seraya menghadang. “Berhenti kisanak!” Lelaki bertubuh kekar dan berkumis tebal menyilangkan golok didepan dadanya. “Mengapa saya harus berhenti? Bukankah jalan ini milik Allah? Siapapun punya hak untuk menggunakannya.” ujar lelaki berjubah.
“Saya tidak mengerti Allah! Pokoknya kamu harus berhenti,” ujarnya lagi. “Saya sekarang sudah berhenti. Apa yang akan kisanak lakukan pada saya? Apakah akan menebas batang leher saya dengan golok itu?” tanya lelaki berjubah dengan tenang. “Benar, saya akan menebas batang leher kisanak jika tidak menyerahkan uang dan emas yang kisanak miliki.” ancam lelaki berkumis.
“Kenapa, kisanak mesti berbuat seperti itu jika hanya menginginkan uang dan emas. Tidakkah uang dan emas itu hanya hiasan dunia yang tidak memiliki arti hakiki bagi kisanak.” ujar lelaki berjubah. “Jangan banyak bicara, kisanak! Ayo serahkan uang dan emas pada kami, jika leher kisanak tidak mau kami penggal! Rupanya ki sanak belum mengenal saya Ki Kebo Benowo, rampok hebat di dusun ini!” ucapnya.
“Saya tidak mengenal, kisanak. Bukankah kita baru hari ini bertemu? Lalu kisanak mengancam saya untuk memenggal leher dan meminta uang dan emas. Maka untuk itu saya persilahkan jika itu keinginan kisanak. Penggalah leher saya dan …” ujar lelaki berjubah tetap tenang. “Keparat! Mampus kau!” Ki Kebo Benowo bersama ketiga temannya menerjang lelaki berjubah seraya membabatkan golok ke leher, pinggang, dan dada lawan.
Lelaki berjubah tidak bergeming melihat sambaran golok yang akan mencincang tubuhnya, tetap berdiri pada tempatnya dengan dzikir dari mulutnya terdengar pelan. Ketiga golok tidak pelak lagi menghantam sasaran. Namun tidak meninggalkan bekas sedikit pun. Golok yang dihunjamkan ke tiga rampok laksana membabat angin, tidak bisa melukai, bahkan menyentuh. “Aneh…manusiakah?” Ki Kebo Benowo, menghentikan serangan. Seraya berdiri tegak, matanya terbelalak heran, napasnya tersengal-sengal berat. Kedua temannya melongo.
“Di dunia ini tidak ada yang aneh kisanak. Bukakankah Hyiang Widi itu telah menyatu dengan kita?” ujar lelaki berjubah. “Hyiang Widi?” Ki Kebo Benowo paham. Sebab pernah mengenal agama Hindu sebelumnya. “Lalu siapakah nama kisanak?”
“Saya, Syekh Siti Jenar. Kisanak, keinginan yang pertama telah saya penuhi, memenggal. Keinginan kedua uang dan emas menengoklah ke sebrang jalan. Saya permisi.” Syekh Siti Jenar membalikan tubuhnya dan meneruskan langkah. Ki Kebo Benowo beserta ketiga temanya, lalu melirik ke sebrang jalan. Betapa tercengangnya mereka, karena melihat pohon emas dan uang. “Emas dan uang, ayo kita ambil!” ketiganya bersorak, lalu memburu sebrang jalan. Kebo Benowo dan kedua temannya sibuk memunguti daun emas. Seluruhnya diambil dan dibungkus dengan kain.
“Hahaha, kita pasti kaya dalam waktu singkat.” tawa Kebo Benowo. “Ki, tidakkah kita aneh pada kejadian ini?” tanya Loro Gempol. “Benar juga? Dia bisa menciptakan emas dan uang juga memiliki kesaktian yang sangat hebat.” Kebo Benowo membalikan tubuhnya, matanya mengintai ke tempat Syeh Siti Jenar berdiri. “E,eh, kemana orang tadi?” “O, ya? Masa dia bisa menghilang?” Loro Gempol mengerutkan dahi, tangannya garuk-garuk kepala. “Manusiakah dia? Makhluk halus?” Kebo Benowo menarik napas dalam-dalam. “Aku rasa dia manusia sakti mandraguna. Sebaiknya kita berguru padanya agar memiliki kesaktian.”
“Benar, Ki. Jika kita sudah sakti bisa menundukan semua rampok dan berada dalam perintah kita. Kalau kita sudah menguasai para rampok tentu tidak akan capek tinggal menunggu setoran.” tambah Loro Gempol. “Namun Syehk Siti Jenar menghilang? Kemana kita mesti mencari?” Lego Benongo ikut bertanya. Sedari tadi dia hanya mematung belum hilang rasa kagumnya terhadap Syeh Siti Jenar. “Kita telusuri saja jalan ini. Kemungkinan dia menuju ke pusat Kerajaan Demak,” Kebo Benowo menduga-duga.
***
Pada kelokan jalan sunyi yang dihiasi semak belukar dan pepohonan kanan kirinya, tiba-tiba muncul tiga orang lelaki berpakaian serba hitam dengan ikat kepala, bertubuh kekar seraya menghadang. “Berhenti kisanak!” Lelaki bertubuh kekar dan berkumis tebal menyilangkan golok didepan dadanya. “Mengapa saya harus berhenti? Bukankah jalan ini milik Allah? Siapapun punya hak untuk menggunakannya.” ujar lelaki berjubah.
“Saya tidak mengerti Allah! Pokoknya kamu harus berhenti,” ujarnya lagi. “Saya sekarang sudah berhenti. Apa yang akan kisanak lakukan pada saya? Apakah akan menebas batang leher saya dengan golok itu?” tanya lelaki berjubah dengan tenang. “Benar, saya akan menebas batang leher kisanak jika tidak menyerahkan uang dan emas yang kisanak miliki.” ancam lelaki berkumis.
“Kenapa, kisanak mesti berbuat seperti itu jika hanya menginginkan uang dan emas. Tidakkah uang dan emas itu hanya hiasan dunia yang tidak memiliki arti hakiki bagi kisanak.” ujar lelaki berjubah. “Jangan banyak bicara, kisanak! Ayo serahkan uang dan emas pada kami, jika leher kisanak tidak mau kami penggal! Rupanya ki sanak belum mengenal saya Ki Kebo Benowo, rampok hebat di dusun ini!” ucapnya.
“Saya tidak mengenal, kisanak. Bukankah kita baru hari ini bertemu? Lalu kisanak mengancam saya untuk memenggal leher dan meminta uang dan emas. Maka untuk itu saya persilahkan jika itu keinginan kisanak. Penggalah leher saya dan …” ujar lelaki berjubah tetap tenang. “Keparat! Mampus kau!” Ki Kebo Benowo bersama ketiga temannya menerjang lelaki berjubah seraya membabatkan golok ke leher, pinggang, dan dada lawan.
Lelaki berjubah tidak bergeming melihat sambaran golok yang akan mencincang tubuhnya, tetap berdiri pada tempatnya dengan dzikir dari mulutnya terdengar pelan. Ketiga golok tidak pelak lagi menghantam sasaran. Namun tidak meninggalkan bekas sedikit pun. Golok yang dihunjamkan ke tiga rampok laksana membabat angin, tidak bisa melukai, bahkan menyentuh. “Aneh…manusiakah?” Ki Kebo Benowo, menghentikan serangan. Seraya berdiri tegak, matanya terbelalak heran, napasnya tersengal-sengal berat. Kedua temannya melongo.
“Di dunia ini tidak ada yang aneh kisanak. Bukakankah Hyiang Widi itu telah menyatu dengan kita?” ujar lelaki berjubah. “Hyiang Widi?” Ki Kebo Benowo paham. Sebab pernah mengenal agama Hindu sebelumnya. “Lalu siapakah nama kisanak?”
“Saya, Syekh Siti Jenar. Kisanak, keinginan yang pertama telah saya penuhi, memenggal. Keinginan kedua uang dan emas menengoklah ke sebrang jalan. Saya permisi.” Syekh Siti Jenar membalikan tubuhnya dan meneruskan langkah. Ki Kebo Benowo beserta ketiga temanya, lalu melirik ke sebrang jalan. Betapa tercengangnya mereka, karena melihat pohon emas dan uang. “Emas dan uang, ayo kita ambil!” ketiganya bersorak, lalu memburu sebrang jalan. Kebo Benowo dan kedua temannya sibuk memunguti daun emas. Seluruhnya diambil dan dibungkus dengan kain.
“Hahaha, kita pasti kaya dalam waktu singkat.” tawa Kebo Benowo. “Ki, tidakkah kita aneh pada kejadian ini?” tanya Loro Gempol. “Benar juga? Dia bisa menciptakan emas dan uang juga memiliki kesaktian yang sangat hebat.” Kebo Benowo membalikan tubuhnya, matanya mengintai ke tempat Syeh Siti Jenar berdiri. “E,eh, kemana orang tadi?” “O, ya? Masa dia bisa menghilang?” Loro Gempol mengerutkan dahi, tangannya garuk-garuk kepala. “Manusiakah dia? Makhluk halus?” Kebo Benowo menarik napas dalam-dalam. “Aku rasa dia manusia sakti mandraguna. Sebaiknya kita berguru padanya agar memiliki kesaktian.”
“Benar, Ki. Jika kita sudah sakti bisa menundukan semua rampok dan berada dalam perintah kita. Kalau kita sudah menguasai para rampok tentu tidak akan capek tinggal menunggu setoran.” tambah Loro Gempol. “Namun Syehk Siti Jenar menghilang? Kemana kita mesti mencari?” Lego Benongo ikut bertanya. Sedari tadi dia hanya mematung belum hilang rasa kagumnya terhadap Syeh Siti Jenar. “Kita telusuri saja jalan ini. Kemungkinan dia menuju ke pusat Kerajaan Demak,” Kebo Benowo menduga-duga.
***
Syehk Siti Jenar, telah sampai ke pusat
Kerajaan Demak. Langkahnya yang tenang serta penuh wibawa tidak lolos
dari pandangan para prajurit penjaga keamanan. “Siapakah lelaki itu?”
tanya prajurit kerempeng pada temannya yang bertubuh tambun. “Wali,”
jawab si Tambun tenang. “Pakaiannya mirip wali songo, tapi saya baru
kali ini melihatnya. Kita perlu menanyai dan memeriksa orang yang tidak
dikenal, mungkin saja dia pemberontak yang lagi menyamar.” ucap si
Kerempeng penuh curiga. “Biarkan saja, siapa tahu dia sahabatnya para
wali. Buktinya dia berjalan menuju mesjid.” si Tambun tetap tenang.
“Meskipun demikian kita tetap harus menjalankan tugas. Ayo kita hadang
dia dan tanya maksud kedatangannya!” si Kerempeng bergegas menenteng
tombak dan tameng, mengejar langkah Syekh Siti Jenar
“Berhenti, Kisanak!” teriak si Kerempeng, seraya menghadang langkah Siti Jenar dengan gagang tombak. “Kenapa kisanak menghadang saya? Bukankah saya tidak pernah mengganggu ketenangan kisanak?” tanya Syekh Siti Jenar tenang. “Meskipun demikian itu adalah tugas saya selaku prajurit Demak.” jawab si Kerempeng. “Kisanak hanyalah seorang prajurit Demak, tidak lebih hebat dari prajurit Allah. Bukakah prajurit Allah itu ada empat?” urai Syekh Siti Jenar dengan pandangan mata sejuk.
“Saya tidak mengerti dengan perkataan, Kisanak?” “Bukankah jika Kisanak tidak paham akan sesuatu diharuskan bertanya. Namun tidak semestinya kisanak menunjukan kesombongan, menepuk dada karena berkasta prajurit, dan berlaku kasar terhadap rakyat seperti saya. Padahal kisanak hanyalah prajurit biasa yang lemah tidak sehebat prajurit Allah yang empat tadi.” jelas Sekh Siti Jenar.
“Perkataan kisanak semakin membingungkan saya?” si Kerempeng geleng-gelengkan kepala. “Terdengarnya kisanak semakin melantur saja. Mana ada prajurit Allah empat, para Wali di sini tidak pernah mengajarkan seperti itu.” si Kerempeng semakin mengerutkan dahinya. “Jika para wali tidak mengajarkan, maka saya akan memberitahu kisanak…” ujar Syehk Siti Jenar tersenyum.
“Saya tidak mungkin mempercai kisanak, kenal juga baru sekarang. Saya lebih percaya kepada para wali yang telah mengajarkan agama dengan baik dan bisa dipahami.” si Kerempeng garuk-garuk kepala, lalu keningnya mengkerut lagi. “Apakah kisanak mesti belajar pada orang yang sudah dikenal saja? Padahal kebenaran bisa datang dari siapa saja dan dari mana saja, baik yang sudah dikenal atau pun tidak dikenal oleh kisanak. Karena ilmu Allah sangatlah luas, meski seluruh pohon yang ada didunia ini dijadikan penanya serta laut sebagai tintanya, tidak akan sanggup mencatat ilmu Allah. Sebab itu ilmu yang dimiliki manusia hanyalah sedikit. Seandainya kisanak berada di tepi samudra, lalu mencelupkan jari telunjuk, setelah itu diangkat kembali, maka tetes air yang menempel di ujung telunjuk itulah ilmu yang dimiliki kisanak.” terang Syekh Siti Jenar, seraya menatap si Kerempeng.
“Jika demikian berarti kisanak sudah meremehkan saya. Padahal saya tidak bisa diremehkan oleh rakyat seperti kisanak, saya prajurit Demak sudah diberi ilmu oleh para wali. Kisanak beraninya menyebut-nyebut prajurit Allah, yang tidak pernah para wali ajarkan. Kisanak telah menciptakan ajaran yang keliru!” si Kerempeng berbicara agak keras, seraya keningnya semakin mengerut kebingungan menanggapi perkataan Syeh Siti Jenar.
“Kisanak tidak bisa menganggap saya keliru, jika belum paham pada perkataan tadi.” Syekh siti Jenar tetap tenang. “Ketidak pahaman kisanak yang memicu kesombongan dan kedengkian akan sesuatu. Padahal apa pun yang saya katakan bisa dibuktikan. Prajurit Allah yang empat bisa saya datangkan dihadapan kisanak dengan keperkasaannya.” ujar Syekh Siti Jenar tersenyum tipis. “Omong kosong! Coba mana prajurit Allah yang empat tadi, buktikan jika memang ada!” si Kerempeng semakin pusing dan jengkel, giginya menggeretak. “Kisanak tidak akan kuat menghadapi empat prajurit sekaligus. Maka saya cukup datangkan satu saja, itu pun hanya sebuah pelajaran untuk kisanak.” Syekh Siti Jenar mengangkat tangan kanannya ke atas.
“Mana! Ayo datangkan!” tantang si Kerempeng. “Datanglah prajurit Allah yang bernama angin, berilah dia pelajaran agar tidak angkuh dan sombong.” itulah ucapan Syekh Siti Jenar. “Akhhhh! Tolonnnggg!” si Kerempeng berteriak, seraya tubuhnya melayang di udara diterpa angin yang sangat kencang, lalu jatuh di atas semak-semak. “Itulah salah satu prajurit Allah dari empat prajurit yang lebih dahsyat.”
Syehk Siti Jenar masih berdiri dengan tenang, matanya yang sejuk dan tajam memandang si Kerempeng yang kepayahan dan terbaring di atas semak. “Maafkan teman saya, Kisanak.” si Tambun mendekat penuh hormat. “Sejak tadi pun saya memaafkan teman kisanak. Namun dia tetap berlaku sombong dan menantang pada kekuasaan Allah. Sudah selayaknya diberi pelajaran agar menyadari kekeliruan.” terang Syekh Siti Jenar seraya melirik ke arah si Tambun.
“Terimakasih, kisanak telah memaafkan teman saya. Bolehkah saya tahu nama kisanak?” si Tambun bertanya. “Kenapa tidak. Karena nama itu hanya sebuah sebutan, asma, dan bukan af’al. Orang menyebut saya Syekh Siti Jenar,” terang Syekh Siti Jenar tenang. “O, ya…” si Tambun mengerutkan kening mendengar ucapan yang kurang dipahaminya. “Gendut, tangkap lelaki asing itu! Dia memiliki ilmu sihir.” teriak si Kerempeng seraya bangkit dari semak-semak. “Kisanak sangat keliru jika menuduh ilmu yang saya miliki sihir. Padahal sihir itu bukanlah ilmu yang patut dipelajari oleh orang yang beragama islam. Kisanak masih belum paham, bahwa yang melempar tadi adalah prajurit Allah.”
Syekh Siti Jenar menatap tajam ke arah si Kerempeng yang menghunus pedang. “Omong kosong! Kisanak datang ke Demak sudah jelas berniat menciptakan kekacauan, ditambah lagi dengan ucapan melantur dan mengada-ngada. Selayaknya kisanak kami tangkap!” si Kerempeng mendekat, ujung pedang yang terhunus ditujukan ke leher Syekh Siti Jenar. “Jika ingin menangkap tangkaplah saya. Janganlah sekali-kali kisanak mengancam saya dengan ujung pedang, karena pedang hanyalah buatan manusia yang tidak berdaya. Berbeda dengan wujud kita yang diciptakan Allah….”
Syekh Siti Jenar tetap berdiri tenang, meski ujung pedang yang tajam berjarak sejengkal lagi menuju leher. “Pedang ini jangan kisanak remehkan! Tidakkah takut seandainya pedang ini memenggal leher kisanak? Satu kali tebasan saja, leher kisanak sudah putus.” ancam si Kerempeng. “Tidak mungkin kisanak. Sebab pedang bukan prajurit Allah, hanyalah sebuah benda mati.” Sekh Siti Jenar tetap tidak bergeming. “Keparat, lihat saja!” si Kerempeng mengayunkan pedang dibarengi dengan emosi, pedang tidak pelak lagi menghantam sasaran, sebab Syekh Siti Jenar tidak menghindar sedikit pun.
“Hentikan!” si Tambun berteriak, matanya terbelalak. “Diam kamu prajurit!” tiba-tiba terdengar suara yang menggetarkan, beberapa saat kemudian muncul sosok lelaki berjubah hitam, mengenakan blangkon. “Kanjeng Sunan Kalijaga,” si Tambun menahan kedip. Kemunculan Sunan Kalijaga yang baru keluar dari mesjid Demak sangat mengagetkan. Padahal Sunan Kalijaga tidak berbuat apa-apa hanya berteriak tidak terlalu keras, tapi si Kerempeng mematung sambil mengayunkan pedang.
“Hebat Kanjeng Sunan…” si Tambun menggeleng-gelengan kepala seraya menarik nafas dalam-dalam. “Selamat datang saudaraku, maafkan kelancangan prajurit Demak yang kurang memahami sopan-santun.” Sunan Kalijaga menatap Syekh Siti Jenar yang tidak bergeming. “Tidak memilikinya sopan-santun karena keterbatasan ilmu dan kedangkalan pengetahuan.” “Benar, Sunan.” tatapan Syekh Siti Jenar beradu dengan mata Sunan Kalijaga yang sejuk dan berwibawa, lalu menembus ke dalam batin.
Maka berbincanglah mereka melalui batin. Sejenak keduanya saling tatap, lantas terlihat ada senyum tipis yang tersungging. Lalu saling peluk dan saling tepuk bahu. Setelah itu terlihat gerakan tangan Sunan Kalijaga mempersilahkan tamunya untuk menuju masjid. Prajurit Tambun mengerutkan dahi, “Apa yang sedang mereka bicarakan? Kenapa berbincang-bincang tanpa suara? Mungkinkah dengan saling menatap saja bisa berbincang-bincang?”
“Sudahlah Saudaraku sesama muslim, kita berbicara secara lahiryah saja, sebab akan membingungkan orang yang melihat.” ujar Sunan Kalijaga, seraya berjalan berdampingan menuju masjid Demak. “Baiklah, Sunan.” Syekh Siti Jenar mengamini. “Ilmu apa yang mereka miliki?” si Tambun mengikuti langkah keduanya dengan tatapan mata, hingga menghilang di balik pintu gerbang masjid Demak.
Lalu tatapan matanya berputar ke arah temannya yang baru saja bisa menggerakan tubuhnya. “Gendut, kenapa aku tidak bisa bergerak waktu terjadi pertemuan antara Kanjeng Sunan dan tukang sihir.” si Kerempeng mengelus dada, sambil menyarungkan lagi pedang ditempatnya. Kemudian duduk, setengah menjatuhkan pantatnya di atas ruput hijau, kakinya dilentangkan, nafasnya ditarik dalam-dalam. “Itu semua pengaruh ilmu yang mereka miliki. Kita sebagai prajurit biasa tidak mungkin bisa mencapai ilmu para wali. Berbincang-bincang juga cukup dengan tatapan mata, orang lain tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Sangat hebat.” si Tambun garuk-garuk kepala. Otaknya tidak sanggup memikirkan, apalagi menganalisis perilaku Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga.
“Gendut, sebenarnya apa yang tadi terjadi ketika saya jadi patung?” si Kerempeng masih belum paham. “Kenapa si tukang sihir itu disambut baik oleh Kanjeng Sunan Kalijaga? Bukakah kita tidak boleh mempelajari apalagi mengamalkan ilmu sihir, hukumnya musrik!” si Kerempeng memijit-mijit keningnya. “Tentu saja, sihir itu musrik dan tidak boleh dipelajari. Hanya saya tidak yakin kalau yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar itu ilmu sihir.” jawab si Tambun, mencoba memprediksi. “Lantas ilmu apalagi kalau bukan sihir? Lagi pula pembicaraannya melantur. Dia bilang Allah saja punya prajurit, itu aneh. Para Wali saja tidak pernah mengajarkan.” si Kerempeng garuk-garuk kepala. “Sudahlah, kita tidak boleh berburuk sangka! Mungkin ilmu yang kita miliki belum cukup untuk memahami Syekh Siti Jenar.” terang si Tambun, seakan tidak peduli.
“Berhenti, Kisanak!” teriak si Kerempeng, seraya menghadang langkah Siti Jenar dengan gagang tombak. “Kenapa kisanak menghadang saya? Bukankah saya tidak pernah mengganggu ketenangan kisanak?” tanya Syekh Siti Jenar tenang. “Meskipun demikian itu adalah tugas saya selaku prajurit Demak.” jawab si Kerempeng. “Kisanak hanyalah seorang prajurit Demak, tidak lebih hebat dari prajurit Allah. Bukakah prajurit Allah itu ada empat?” urai Syekh Siti Jenar dengan pandangan mata sejuk.
“Saya tidak mengerti dengan perkataan, Kisanak?” “Bukankah jika Kisanak tidak paham akan sesuatu diharuskan bertanya. Namun tidak semestinya kisanak menunjukan kesombongan, menepuk dada karena berkasta prajurit, dan berlaku kasar terhadap rakyat seperti saya. Padahal kisanak hanyalah prajurit biasa yang lemah tidak sehebat prajurit Allah yang empat tadi.” jelas Sekh Siti Jenar.
“Perkataan kisanak semakin membingungkan saya?” si Kerempeng geleng-gelengkan kepala. “Terdengarnya kisanak semakin melantur saja. Mana ada prajurit Allah empat, para Wali di sini tidak pernah mengajarkan seperti itu.” si Kerempeng semakin mengerutkan dahinya. “Jika para wali tidak mengajarkan, maka saya akan memberitahu kisanak…” ujar Syehk Siti Jenar tersenyum.
“Saya tidak mungkin mempercai kisanak, kenal juga baru sekarang. Saya lebih percaya kepada para wali yang telah mengajarkan agama dengan baik dan bisa dipahami.” si Kerempeng garuk-garuk kepala, lalu keningnya mengkerut lagi. “Apakah kisanak mesti belajar pada orang yang sudah dikenal saja? Padahal kebenaran bisa datang dari siapa saja dan dari mana saja, baik yang sudah dikenal atau pun tidak dikenal oleh kisanak. Karena ilmu Allah sangatlah luas, meski seluruh pohon yang ada didunia ini dijadikan penanya serta laut sebagai tintanya, tidak akan sanggup mencatat ilmu Allah. Sebab itu ilmu yang dimiliki manusia hanyalah sedikit. Seandainya kisanak berada di tepi samudra, lalu mencelupkan jari telunjuk, setelah itu diangkat kembali, maka tetes air yang menempel di ujung telunjuk itulah ilmu yang dimiliki kisanak.” terang Syekh Siti Jenar, seraya menatap si Kerempeng.
“Jika demikian berarti kisanak sudah meremehkan saya. Padahal saya tidak bisa diremehkan oleh rakyat seperti kisanak, saya prajurit Demak sudah diberi ilmu oleh para wali. Kisanak beraninya menyebut-nyebut prajurit Allah, yang tidak pernah para wali ajarkan. Kisanak telah menciptakan ajaran yang keliru!” si Kerempeng berbicara agak keras, seraya keningnya semakin mengerut kebingungan menanggapi perkataan Syeh Siti Jenar.
“Kisanak tidak bisa menganggap saya keliru, jika belum paham pada perkataan tadi.” Syekh siti Jenar tetap tenang. “Ketidak pahaman kisanak yang memicu kesombongan dan kedengkian akan sesuatu. Padahal apa pun yang saya katakan bisa dibuktikan. Prajurit Allah yang empat bisa saya datangkan dihadapan kisanak dengan keperkasaannya.” ujar Syekh Siti Jenar tersenyum tipis. “Omong kosong! Coba mana prajurit Allah yang empat tadi, buktikan jika memang ada!” si Kerempeng semakin pusing dan jengkel, giginya menggeretak. “Kisanak tidak akan kuat menghadapi empat prajurit sekaligus. Maka saya cukup datangkan satu saja, itu pun hanya sebuah pelajaran untuk kisanak.” Syekh Siti Jenar mengangkat tangan kanannya ke atas.
“Mana! Ayo datangkan!” tantang si Kerempeng. “Datanglah prajurit Allah yang bernama angin, berilah dia pelajaran agar tidak angkuh dan sombong.” itulah ucapan Syekh Siti Jenar. “Akhhhh! Tolonnnggg!” si Kerempeng berteriak, seraya tubuhnya melayang di udara diterpa angin yang sangat kencang, lalu jatuh di atas semak-semak. “Itulah salah satu prajurit Allah dari empat prajurit yang lebih dahsyat.”
Syehk Siti Jenar masih berdiri dengan tenang, matanya yang sejuk dan tajam memandang si Kerempeng yang kepayahan dan terbaring di atas semak. “Maafkan teman saya, Kisanak.” si Tambun mendekat penuh hormat. “Sejak tadi pun saya memaafkan teman kisanak. Namun dia tetap berlaku sombong dan menantang pada kekuasaan Allah. Sudah selayaknya diberi pelajaran agar menyadari kekeliruan.” terang Syekh Siti Jenar seraya melirik ke arah si Tambun.
“Terimakasih, kisanak telah memaafkan teman saya. Bolehkah saya tahu nama kisanak?” si Tambun bertanya. “Kenapa tidak. Karena nama itu hanya sebuah sebutan, asma, dan bukan af’al. Orang menyebut saya Syekh Siti Jenar,” terang Syekh Siti Jenar tenang. “O, ya…” si Tambun mengerutkan kening mendengar ucapan yang kurang dipahaminya. “Gendut, tangkap lelaki asing itu! Dia memiliki ilmu sihir.” teriak si Kerempeng seraya bangkit dari semak-semak. “Kisanak sangat keliru jika menuduh ilmu yang saya miliki sihir. Padahal sihir itu bukanlah ilmu yang patut dipelajari oleh orang yang beragama islam. Kisanak masih belum paham, bahwa yang melempar tadi adalah prajurit Allah.”
Syekh Siti Jenar menatap tajam ke arah si Kerempeng yang menghunus pedang. “Omong kosong! Kisanak datang ke Demak sudah jelas berniat menciptakan kekacauan, ditambah lagi dengan ucapan melantur dan mengada-ngada. Selayaknya kisanak kami tangkap!” si Kerempeng mendekat, ujung pedang yang terhunus ditujukan ke leher Syekh Siti Jenar. “Jika ingin menangkap tangkaplah saya. Janganlah sekali-kali kisanak mengancam saya dengan ujung pedang, karena pedang hanyalah buatan manusia yang tidak berdaya. Berbeda dengan wujud kita yang diciptakan Allah….”
Syekh Siti Jenar tetap berdiri tenang, meski ujung pedang yang tajam berjarak sejengkal lagi menuju leher. “Pedang ini jangan kisanak remehkan! Tidakkah takut seandainya pedang ini memenggal leher kisanak? Satu kali tebasan saja, leher kisanak sudah putus.” ancam si Kerempeng. “Tidak mungkin kisanak. Sebab pedang bukan prajurit Allah, hanyalah sebuah benda mati.” Sekh Siti Jenar tetap tidak bergeming. “Keparat, lihat saja!” si Kerempeng mengayunkan pedang dibarengi dengan emosi, pedang tidak pelak lagi menghantam sasaran, sebab Syekh Siti Jenar tidak menghindar sedikit pun.
“Hentikan!” si Tambun berteriak, matanya terbelalak. “Diam kamu prajurit!” tiba-tiba terdengar suara yang menggetarkan, beberapa saat kemudian muncul sosok lelaki berjubah hitam, mengenakan blangkon. “Kanjeng Sunan Kalijaga,” si Tambun menahan kedip. Kemunculan Sunan Kalijaga yang baru keluar dari mesjid Demak sangat mengagetkan. Padahal Sunan Kalijaga tidak berbuat apa-apa hanya berteriak tidak terlalu keras, tapi si Kerempeng mematung sambil mengayunkan pedang.
“Hebat Kanjeng Sunan…” si Tambun menggeleng-gelengan kepala seraya menarik nafas dalam-dalam. “Selamat datang saudaraku, maafkan kelancangan prajurit Demak yang kurang memahami sopan-santun.” Sunan Kalijaga menatap Syekh Siti Jenar yang tidak bergeming. “Tidak memilikinya sopan-santun karena keterbatasan ilmu dan kedangkalan pengetahuan.” “Benar, Sunan.” tatapan Syekh Siti Jenar beradu dengan mata Sunan Kalijaga yang sejuk dan berwibawa, lalu menembus ke dalam batin.
Maka berbincanglah mereka melalui batin. Sejenak keduanya saling tatap, lantas terlihat ada senyum tipis yang tersungging. Lalu saling peluk dan saling tepuk bahu. Setelah itu terlihat gerakan tangan Sunan Kalijaga mempersilahkan tamunya untuk menuju masjid. Prajurit Tambun mengerutkan dahi, “Apa yang sedang mereka bicarakan? Kenapa berbincang-bincang tanpa suara? Mungkinkah dengan saling menatap saja bisa berbincang-bincang?”
“Sudahlah Saudaraku sesama muslim, kita berbicara secara lahiryah saja, sebab akan membingungkan orang yang melihat.” ujar Sunan Kalijaga, seraya berjalan berdampingan menuju masjid Demak. “Baiklah, Sunan.” Syekh Siti Jenar mengamini. “Ilmu apa yang mereka miliki?” si Tambun mengikuti langkah keduanya dengan tatapan mata, hingga menghilang di balik pintu gerbang masjid Demak.
Lalu tatapan matanya berputar ke arah temannya yang baru saja bisa menggerakan tubuhnya. “Gendut, kenapa aku tidak bisa bergerak waktu terjadi pertemuan antara Kanjeng Sunan dan tukang sihir.” si Kerempeng mengelus dada, sambil menyarungkan lagi pedang ditempatnya. Kemudian duduk, setengah menjatuhkan pantatnya di atas ruput hijau, kakinya dilentangkan, nafasnya ditarik dalam-dalam. “Itu semua pengaruh ilmu yang mereka miliki. Kita sebagai prajurit biasa tidak mungkin bisa mencapai ilmu para wali. Berbincang-bincang juga cukup dengan tatapan mata, orang lain tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Sangat hebat.” si Tambun garuk-garuk kepala. Otaknya tidak sanggup memikirkan, apalagi menganalisis perilaku Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga.
“Gendut, sebenarnya apa yang tadi terjadi ketika saya jadi patung?” si Kerempeng masih belum paham. “Kenapa si tukang sihir itu disambut baik oleh Kanjeng Sunan Kalijaga? Bukakah kita tidak boleh mempelajari apalagi mengamalkan ilmu sihir, hukumnya musrik!” si Kerempeng memijit-mijit keningnya. “Tentu saja, sihir itu musrik dan tidak boleh dipelajari. Hanya saya tidak yakin kalau yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar itu ilmu sihir.” jawab si Tambun, mencoba memprediksi. “Lantas ilmu apalagi kalau bukan sihir? Lagi pula pembicaraannya melantur. Dia bilang Allah saja punya prajurit, itu aneh. Para Wali saja tidak pernah mengajarkan.” si Kerempeng garuk-garuk kepala. “Sudahlah, kita tidak boleh berburuk sangka! Mungkin ilmu yang kita miliki belum cukup untuk memahami Syekh Siti Jenar.” terang si Tambun, seakan tidak peduli.
***
“Silahkan masuk saudaraku, inilah masjid
tempat kami berkumpul dan beribadah.” ujar Sunan Kalijaga, seraya
mendapingi Syekh Siti Jenar memasuki masjid Demak. “Terimakasih,” Syehk
Siti Jenar berjalan berdampingan dengan Sunan Kalijaga menuju ruangan
tengah masjid, menghampiri wali delapan yang sedang berkumpul. “Selamat
datang, Syekh.” sambut Sunan Bonang, menyodorkan kedua tangannya
menyalami. “Silahkan,” “Siapakah Syekh ini?” tanya Sunan Muria.
Syekh Siti Jenar tidak menjawab, lalu menatap mata Sunan Kalijaga, menembus batinnya, seraya berbincang dengan batin. ‘Syekh, tidak seharusnya kisanak berbicara pada wali yang lain menggunakan batin. Pergunakanlah lahiryah kisanak, karena mereka bukan saya.’ ujar batin Sunan Kalijaga. ‘Saya kira mereka sama dengan kisanak. Jika demikian berarti mata batin mereka tuli dan buta. Hanya saudara Sunan yang paham batin saya. Baiklah jika saya harus berujar secara lahiryah, laksana orang-orang yang tidak paham pada dirinya dan….’
‘Sudahlah, Syekh saudaraku. Batin kita tidak harus berbicara seperti itu. Karena mereka bukan kita, kita bukan mereka. Punya cara masing-masing untuk memahami tentang wujud, maujud dan Allah. Mereka berlaku layaknya orang kebanyakan.’ “Apa yang sedang saudara bicarakan Sunan Kalijaga dan Syehk Siti Jenar? Sebaiknya kita kembali pada alam lahiriyah.” Sunan Bonang memecah keheningan. “Sebab yang hadir disini bukan hanya saudara berdua, ada yang lainnya.”
“Baiklah Kanjeng Sunan Bonang.” ujar Syekh Siti Jenar. Lalu dia duduk bersila disamping Sunan Kalijaga. “Siapakah sebenarnnya Syekh ini? Apakah termasuk para wali seperti kita-kita ini?” tanya Sunan Gunung Jati. “Saya Syekh Siti Jenar…” lalu melirik ke arah Sunan Kalijaga, seraya kembali ingin berbincang menggunakan batin. ‘Jangan, berbicaralah secara lahiryah.’ itu jawaban batin Sunan Kalijaga. Syekh Siti Jenar mengangguk, seraya meneruskan perkataannya,”..saya hanya manusia biasa dan rakyat jelata. Namun saya secara tidak sengaja mendengar perbincangan Kanjeng Sunan Bonang dan Kanjeng Sunan Kalijaga ketika di atas perahu. Waktu itu Kanjeng Sunan Bonang sedang mengamalkan ilmu ’saciduh metu saucaping nyata’…”
“Ilmu apa itu Kanjeng Sunan Bonang?” tanya Sunan Gunung Jati, melirik ke arah Sunan Bonang. “Ilmu ‘kun payakun’, jadilah, maka jadi. Apa pun yang diucapkan akan mewujud atau jadi.” terang Sunan Bonang. “…benar. Ketika itu wujud saya berupa seekor cacing tanah. Setelah mendengar wirid ilmu tadi, lalu saya amalkan, seketika wujud saya berubah menjadi sekarang ini. Maka wajar jika saya pun disebut Syekh Lemah Abang. Cacing tadi terbungkus tanah berwarna merah, hingga saat ini saya pun masih memiliki ilmu tadi serta sekaligus mempelajari Islam secara mendalam. Ilmu Islam yang saya pelajari sudah diluar dugaan, mencapai tahap ma’rifat, tidak terduga. Namun saya tetap bukan seorang wali seperti saudara-saudaraku yang berkumpul hari ini. Saya hanyalah rakyat jelata dari pedesaan yang berada di wilayah kekuasaan kerajaan Demak Bintoro.” Syekh Siti Jenar menerangkan.
“Andika tidak dianggap sebagai seorang wali karena asal-usul yang kurang jelas.” ucap Sunan Giri. “Saya bukan orang yang memiliki ambisi dan gila gelar, hanya untuk mendapat sebutan wali. Hingga saya pun menganggap bahwa diri saya hanyalah manusia biasa dan lahir sebagai rakyat kebanyakan. Namun kisanak menyebutkan tanpa asal-usul yang jelas. Padahal yang namanya manusia jelas memiliki asal-usul, jika menganggap bahwa manusia ada yang tidak memili asal-usul berarti kisanak tidak memahami siapa diri kisanak sebenarnya? Dari mana asal kisanak?” ujar Sekh Siti Jenar.
“Andika jangan memutar balikan ucapan dan bermain kata-kata!” suara Sunan Giri meninggi. ‘Syekh,’ Sunan Kalijaga menatap Syekh Siti Jenar, seraya berbicara dengan batin. ‘Saudaraku sebaiknya memaklumi keadaan secara lahiryah yang terjadi sekarang ini…’ ‘Baiklah,’ batin Syekh Siti Jenar memberi jawaban. “Kanjeng Sunan Giri, sudahlah! Kita tidak harus memperbincangkan asal-usul.” Sunan Bonang memahami pembicaraan batin Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga. “Sebaiknya kita berbincang tentang upaya penyebaran agama Islam di tanah Jawa ini.”
‘“Baiklah, Kanjeng Sunan Bonang.” Sunan Giri menyetujui. “Bukannya saya tidak ingin lama-lama berbincang-bincang dengan para wali yang agung di sini. Namun saya masih ada keperluan lain, disamping akan berusaha membantu para wali untuk menyebarkan ajaran Islam. Izinkanlah saya untuk berpamitan,” Syekh Siti Jenar bangkit dari duduknya. “Andika mesti ingat ketika menyebarkan agama Islam yang agung ini jangan sampai keluar dari aturan para wali.” ujar Sunan Giri.
“Mohon maaf, Kanjeng Sunan Giri. Karena saya bukan wali, tentunya tidak terikat dengan aturan wali. Mungkin saya akan mengajarkan dan menyebarluaskan agama Islam dengan cara saya sendiri.” Syekh Siti Jenar seraya menyalami semuanya, lalu Sunan Bonang dan yang terakhir Sunan Kalijaga. ‘Saudaraku selamat berjuang, mungkin pada akhirnya kita harus bertabrakan. Namun itu secara lahiryah….’ batin Sunan Kalijaga. ‘Tidak mengapa saudaraku Kanjeng Sunan Kalijaga…itulah tujuan menuju Allah dan jalan yang berlainan.’
Syekh Siti Jenar melepaskan tangan Sunan Kalijaga, seraya membalikan tubuhnya dan keluar dari masjid Demak diantar oleh tatapan para wali yang masih berdiri. “Kanjeng Sunan Kalijaga, benar tadi batinmu berujar pada Syekh Siti Jenar.” Sunan Bonang menatap Sunan Kalijaga. “Tinggal menunggu waktu, Kanjeng. Itu semua kehendaknya..” jawab Sunan Kalijaga. “Kanjeng Sunan Bonang, Kanjeng Sunan Kalijaga, apa maksud pembicaran andika berdua?” tanya Sunan Giri. Keduanya tidak berbicara lagi, karena sudah terdengar bunyi adzan Magrib, mereka menjawab, Allahu Akbar. Diikuti yang lainnya, meski dalam hati mereka menyimpan rasa penasaran dan keingin tahuan mengenai ucapan kedua wali tadi, untuk sementara disimpanya dalam hati masing-masing.
Syekh Siti Jenar tidak menjawab, lalu menatap mata Sunan Kalijaga, menembus batinnya, seraya berbincang dengan batin. ‘Syekh, tidak seharusnya kisanak berbicara pada wali yang lain menggunakan batin. Pergunakanlah lahiryah kisanak, karena mereka bukan saya.’ ujar batin Sunan Kalijaga. ‘Saya kira mereka sama dengan kisanak. Jika demikian berarti mata batin mereka tuli dan buta. Hanya saudara Sunan yang paham batin saya. Baiklah jika saya harus berujar secara lahiryah, laksana orang-orang yang tidak paham pada dirinya dan….’
‘Sudahlah, Syekh saudaraku. Batin kita tidak harus berbicara seperti itu. Karena mereka bukan kita, kita bukan mereka. Punya cara masing-masing untuk memahami tentang wujud, maujud dan Allah. Mereka berlaku layaknya orang kebanyakan.’ “Apa yang sedang saudara bicarakan Sunan Kalijaga dan Syehk Siti Jenar? Sebaiknya kita kembali pada alam lahiriyah.” Sunan Bonang memecah keheningan. “Sebab yang hadir disini bukan hanya saudara berdua, ada yang lainnya.”
“Baiklah Kanjeng Sunan Bonang.” ujar Syekh Siti Jenar. Lalu dia duduk bersila disamping Sunan Kalijaga. “Siapakah sebenarnnya Syekh ini? Apakah termasuk para wali seperti kita-kita ini?” tanya Sunan Gunung Jati. “Saya Syekh Siti Jenar…” lalu melirik ke arah Sunan Kalijaga, seraya kembali ingin berbincang menggunakan batin. ‘Jangan, berbicaralah secara lahiryah.’ itu jawaban batin Sunan Kalijaga. Syekh Siti Jenar mengangguk, seraya meneruskan perkataannya,”..saya hanya manusia biasa dan rakyat jelata. Namun saya secara tidak sengaja mendengar perbincangan Kanjeng Sunan Bonang dan Kanjeng Sunan Kalijaga ketika di atas perahu. Waktu itu Kanjeng Sunan Bonang sedang mengamalkan ilmu ’saciduh metu saucaping nyata’…”
“Ilmu apa itu Kanjeng Sunan Bonang?” tanya Sunan Gunung Jati, melirik ke arah Sunan Bonang. “Ilmu ‘kun payakun’, jadilah, maka jadi. Apa pun yang diucapkan akan mewujud atau jadi.” terang Sunan Bonang. “…benar. Ketika itu wujud saya berupa seekor cacing tanah. Setelah mendengar wirid ilmu tadi, lalu saya amalkan, seketika wujud saya berubah menjadi sekarang ini. Maka wajar jika saya pun disebut Syekh Lemah Abang. Cacing tadi terbungkus tanah berwarna merah, hingga saat ini saya pun masih memiliki ilmu tadi serta sekaligus mempelajari Islam secara mendalam. Ilmu Islam yang saya pelajari sudah diluar dugaan, mencapai tahap ma’rifat, tidak terduga. Namun saya tetap bukan seorang wali seperti saudara-saudaraku yang berkumpul hari ini. Saya hanyalah rakyat jelata dari pedesaan yang berada di wilayah kekuasaan kerajaan Demak Bintoro.” Syekh Siti Jenar menerangkan.
“Andika tidak dianggap sebagai seorang wali karena asal-usul yang kurang jelas.” ucap Sunan Giri. “Saya bukan orang yang memiliki ambisi dan gila gelar, hanya untuk mendapat sebutan wali. Hingga saya pun menganggap bahwa diri saya hanyalah manusia biasa dan lahir sebagai rakyat kebanyakan. Namun kisanak menyebutkan tanpa asal-usul yang jelas. Padahal yang namanya manusia jelas memiliki asal-usul, jika menganggap bahwa manusia ada yang tidak memili asal-usul berarti kisanak tidak memahami siapa diri kisanak sebenarnya? Dari mana asal kisanak?” ujar Sekh Siti Jenar.
“Andika jangan memutar balikan ucapan dan bermain kata-kata!” suara Sunan Giri meninggi. ‘Syekh,’ Sunan Kalijaga menatap Syekh Siti Jenar, seraya berbicara dengan batin. ‘Saudaraku sebaiknya memaklumi keadaan secara lahiryah yang terjadi sekarang ini…’ ‘Baiklah,’ batin Syekh Siti Jenar memberi jawaban. “Kanjeng Sunan Giri, sudahlah! Kita tidak harus memperbincangkan asal-usul.” Sunan Bonang memahami pembicaraan batin Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga. “Sebaiknya kita berbincang tentang upaya penyebaran agama Islam di tanah Jawa ini.”
‘“Baiklah, Kanjeng Sunan Bonang.” Sunan Giri menyetujui. “Bukannya saya tidak ingin lama-lama berbincang-bincang dengan para wali yang agung di sini. Namun saya masih ada keperluan lain, disamping akan berusaha membantu para wali untuk menyebarkan ajaran Islam. Izinkanlah saya untuk berpamitan,” Syekh Siti Jenar bangkit dari duduknya. “Andika mesti ingat ketika menyebarkan agama Islam yang agung ini jangan sampai keluar dari aturan para wali.” ujar Sunan Giri.
“Mohon maaf, Kanjeng Sunan Giri. Karena saya bukan wali, tentunya tidak terikat dengan aturan wali. Mungkin saya akan mengajarkan dan menyebarluaskan agama Islam dengan cara saya sendiri.” Syekh Siti Jenar seraya menyalami semuanya, lalu Sunan Bonang dan yang terakhir Sunan Kalijaga. ‘Saudaraku selamat berjuang, mungkin pada akhirnya kita harus bertabrakan. Namun itu secara lahiryah….’ batin Sunan Kalijaga. ‘Tidak mengapa saudaraku Kanjeng Sunan Kalijaga…itulah tujuan menuju Allah dan jalan yang berlainan.’
Syekh Siti Jenar melepaskan tangan Sunan Kalijaga, seraya membalikan tubuhnya dan keluar dari masjid Demak diantar oleh tatapan para wali yang masih berdiri. “Kanjeng Sunan Kalijaga, benar tadi batinmu berujar pada Syekh Siti Jenar.” Sunan Bonang menatap Sunan Kalijaga. “Tinggal menunggu waktu, Kanjeng. Itu semua kehendaknya..” jawab Sunan Kalijaga. “Kanjeng Sunan Bonang, Kanjeng Sunan Kalijaga, apa maksud pembicaran andika berdua?” tanya Sunan Giri. Keduanya tidak berbicara lagi, karena sudah terdengar bunyi adzan Magrib, mereka menjawab, Allahu Akbar. Diikuti yang lainnya, meski dalam hati mereka menyimpan rasa penasaran dan keingin tahuan mengenai ucapan kedua wali tadi, untuk sementara disimpanya dalam hati masing-masing.
***
“Kanjeng Sunan Bonang, kayaknya kita agak
kesulitan untuk menyebarkan Islam disini.” Sunan Kalijaga memandang
kerumunan orang. “Kayaknya mereka lebih menyukai hura-hura dan gamelan,
Kanjeng Sunan Kalijaga.” tambah Sunan Bonang, matanya memperhatikan
orang yang berkerumun menju pasar seni. “Kita pun tidak perlu kalah,
Kanjeng Sunan Bonang. Jika hanya mendengar kita berceramah kayaknya
kurang tertarik, alangkah lebih baiknya kita pun harus mengadakan
pendekatan budaya.”
Sunan Kalijaga tidak melepaskan pandanganya dari kerumunan orang, lalu duduk di tepi jalan di atas batang kayu yang lapuk. “Pendekatan budaya?” Sunan Bonang mengerutkan dahinya. “Benar, pertama kita melihat sesuatu yang mereka sukai. Kedua, kita harus masuk ke dalam sistem budaya masyarakat.” Sunan Kalijaga bangkit dan membalikan tubuhnya ke arah Sunan Bonang. “Seperti yang kita perhatikan, masyarakat Jawa sangat menyukai gamelan. Untuk itu kita turuti kesenangan mereka, tidak ada salahnya membuat gamelan…” “Membuat gamelan? Maksud Kanjeng Sunan supaya mereka mengerumuni gamelan yang kita tabuh. Upaya untuk mengumpulkan orang…” ujar Sunan Bonang.
“Ya, setelah mereka berkerumun karena tertarik dengan irama gamelan yang kita tabuh, disitulah kita berdakwah.”lanjut Sunan Kalijaga. “Berdakwah, orang akan bubar. Lantas mereka tidak akan pernah berkerumun lagi karena tertipu,” Sunan Bonang mengerutkan dahinya sejenak. “…maksud saya gamelan itu hanya penarik dan pembuka acara dakwah kita. Setelah itu tidak mengalun lagi….berarti selesai pertunjukan.”
“O, tidak seperti itu, Kanjeng Sunan Bonang. Gamelan harus terus mengalun, ketika kita menyampaikan pesan dakwah. Caranya juga bukan seperti yang biasa dilakukan para wali sebelumnya, namun ada canda dan filsafat.” terang Sunan Kalijaga. “Maksud, Kanjeng? Jika demikian gamelan itu dijadikan sarana dakwah, bukankah itu seperti lakon, yang didalamnya diselipi pesan-pesan.”
“Begitulah, Kanjeng Sunan Bonang. Namun sarana kita adalah wayang kulit. Karakter wayang yang kita ciptakan harus mencerminkan sosok orang baik, jahat, kejam, ulama, dan sebagainya. Karakter yang kita ciptakan adalah cermin lelaku kehidupan manusia.” Sunan Kalijaga, sejenak menatap awan yang melingkari puncak gunung, lalu kembali menatap lawan bicaranya. “Lelaku manusia yang berbuat baik akan menerima pahala baik, jahat pun sebaliknya. Setelah itu mereka bercermin, dalam karakter itu munculah sosok yang diteladani, yaitu karakter Kanjeng Nabi Muhammad dan para Sahabatnya.”
“Tapi kita tidak boleh mencipta Kanjeng Nabi dan para sahabat agung dalam sebuah bentuk ukiran..” sela Sunan Bonang. “Tentu, dan kita tidak akan berbuat seperti itu. Namun kita akan menciptakan karakter wayang yang memiliki lelaku Islam. Rukun Islam itu ada lima, maka ciptakan lima sosok wayang berkarakter cerminan muslim. Kanjeng Nabi itu punya empat sahabat terbaik, hingga menjadi lima dengan Junjunan Alam Rasulullah. Bentuklah Pandawa Lima, cerminan dari lelaku Kanjeng Nabi dan keempat sahabat terbaiknya. Lalu karakter jahatnya kita bentuk juga dari cerminan orang-orang jahat…” ujar Sunan Kalijaga. “Benar…” Sunan Bonang mengamini. Hingga keduanya berbicara panjang lebar membahas metode berdakwah dengan menggunakan gamelan sebagai pemikat dan wayang kulit sebagai medianya.
Sunan Kalijaga tidak melepaskan pandanganya dari kerumunan orang, lalu duduk di tepi jalan di atas batang kayu yang lapuk. “Pendekatan budaya?” Sunan Bonang mengerutkan dahinya. “Benar, pertama kita melihat sesuatu yang mereka sukai. Kedua, kita harus masuk ke dalam sistem budaya masyarakat.” Sunan Kalijaga bangkit dan membalikan tubuhnya ke arah Sunan Bonang. “Seperti yang kita perhatikan, masyarakat Jawa sangat menyukai gamelan. Untuk itu kita turuti kesenangan mereka, tidak ada salahnya membuat gamelan…” “Membuat gamelan? Maksud Kanjeng Sunan supaya mereka mengerumuni gamelan yang kita tabuh. Upaya untuk mengumpulkan orang…” ujar Sunan Bonang.
“Ya, setelah mereka berkerumun karena tertarik dengan irama gamelan yang kita tabuh, disitulah kita berdakwah.”lanjut Sunan Kalijaga. “Berdakwah, orang akan bubar. Lantas mereka tidak akan pernah berkerumun lagi karena tertipu,” Sunan Bonang mengerutkan dahinya sejenak. “…maksud saya gamelan itu hanya penarik dan pembuka acara dakwah kita. Setelah itu tidak mengalun lagi….berarti selesai pertunjukan.”
“O, tidak seperti itu, Kanjeng Sunan Bonang. Gamelan harus terus mengalun, ketika kita menyampaikan pesan dakwah. Caranya juga bukan seperti yang biasa dilakukan para wali sebelumnya, namun ada canda dan filsafat.” terang Sunan Kalijaga. “Maksud, Kanjeng? Jika demikian gamelan itu dijadikan sarana dakwah, bukankah itu seperti lakon, yang didalamnya diselipi pesan-pesan.”
“Begitulah, Kanjeng Sunan Bonang. Namun sarana kita adalah wayang kulit. Karakter wayang yang kita ciptakan harus mencerminkan sosok orang baik, jahat, kejam, ulama, dan sebagainya. Karakter yang kita ciptakan adalah cermin lelaku kehidupan manusia.” Sunan Kalijaga, sejenak menatap awan yang melingkari puncak gunung, lalu kembali menatap lawan bicaranya. “Lelaku manusia yang berbuat baik akan menerima pahala baik, jahat pun sebaliknya. Setelah itu mereka bercermin, dalam karakter itu munculah sosok yang diteladani, yaitu karakter Kanjeng Nabi Muhammad dan para Sahabatnya.”
“Tapi kita tidak boleh mencipta Kanjeng Nabi dan para sahabat agung dalam sebuah bentuk ukiran..” sela Sunan Bonang. “Tentu, dan kita tidak akan berbuat seperti itu. Namun kita akan menciptakan karakter wayang yang memiliki lelaku Islam. Rukun Islam itu ada lima, maka ciptakan lima sosok wayang berkarakter cerminan muslim. Kanjeng Nabi itu punya empat sahabat terbaik, hingga menjadi lima dengan Junjunan Alam Rasulullah. Bentuklah Pandawa Lima, cerminan dari lelaku Kanjeng Nabi dan keempat sahabat terbaiknya. Lalu karakter jahatnya kita bentuk juga dari cerminan orang-orang jahat…” ujar Sunan Kalijaga. “Benar…” Sunan Bonang mengamini. Hingga keduanya berbicara panjang lebar membahas metode berdakwah dengan menggunakan gamelan sebagai pemikat dan wayang kulit sebagai medianya.
***
Matahari mulai menyelinap dibalik bukit,
kirimkan sinar keemasan di langit sebelah barat. Awan berubah menjadi
jingga, mengitari puncak pegunungan. Masa keemasan akan tiba seiring
dengan perputaran roda kehidupan dan waktu. Lagu Ilir-ilir bergema
sebelum waktu Magrib tiba, nyanyian bermakna mendalam ciptaan para wali.
Rakyat menyanyikannya dengan gembira, ada yang memahmi akan makna dan
maksudnya, ada pula yang masih buta akan isinya, ada pula yang hanya
menikmati lirik dan syairnya saja. Bedug Magrib tiba, mereka
berbondong-bondong menuju masjid Demak Bintoro untuk shalat berjamaah.
Shalat Isya pun tidak mau mereka lewatkan, meski ajaran Islam belum
diterima secara merata. Dakwah yang dilakukan sebagain Wali melalui
media wayang kulit dan tabuhan gamelan sebagai daya tarik. Cara seperti
itu benar-benar efektif bisa mengikat banyak orang berbondong-bondong
memeluk agama Islam. Sunan Kalijaga melepas jubah kewalian, mengenakan
pakaian serba hitam ala petani, rakyat jelata. Hingga tidak ada antara
dirinya dengan rakyat. Rakyat lebih mudah didekati tanpa rasa curiga,
karena Sunan Kalijaga berbaur didalamnnya.
“Kita belum juga menemukan jejak Syekh Siti Jenar,” ujar Loro Gempol. “Bukankah dia ke arah sini?” “Tidak mungkin, saya punya keyakinan jika Syekh Siti Jenar menuju pusat Kota Demak Bintoro.” potong Kebobenowo. “Kalau betul dia menuju Kota Demak, sangatlah sulit untuk menemukannya.” Lego Benongo menghentikan langkah, lalu duduk di atas batu di tepi jalan. “Benar juga, Benongo.” Kebo Benowo mengerutkan keningnya, langkah pun terhenti sejenak, matanya menatap jalan yang masih panjang. Menarik napas dalam-dalam. “Sebaiknya kita duduk-duduk disini sambil cari makan, menunggu Syekh Siti Jenar pulang. Jika memang dia dari pusat Kota Demak Bintoro, tentulah pulangnya akan melewati jalan ini.”
“Itu baru benar,” sahut Lego Benongo, langsung saja merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau di bawah rindangnya pohon jalan. Sayap malam mulai mengembang, matahari telah menyelinap di balik bukit. Kelelawar beterbangan keluar dari sarangnya, bergembiraria menyambut datangnya malam. “Ki Benowo, hari sudah malam. Apakah kita mau tetap disini menunggu Syekh Siti Jenar?” tanya Loro Gempol bangkit dari duduknya. Kepalanya mendongak ke atas menatap langit yang mulai tampak dihiasi gemintang. “Benar juga, Gempol.” Kebo Benowo berdiri, menatap jalan yang terbentang panjang menuju pusat Kerajaan Demak Bintoro.
“Lihat! Mungkinkah dia yang kita tunggu?” “Syekh Siti Jenar?” timpal Lego Benongo. “Kelihatannya Syekh Siti Jenar, Ki Benowo.” ujar Loro Gempol gembira. “Hebat, wajahnya memancarkan cahaya terang, padahal dia tidak membawa obor atau lampu.” “Saya rasa itulah kehebatan ilmu yang dimilikinya.” duga Kebo Benowo. “Kita sudah benar menemukan seorang guru.” “Tapi apa mau Syekh Siti Jenar mengangkat kita sebagai muridnya?” Loro Benongo meragukan. “Kalau tidak mau kita bunuh saja!” geram Loro Gempol. “Kamu seperti tidak ingat saja, Gempol. Bukankah Syekh Siti Jenar itu sangat sulit dilukai?” Kebo Benowo mengingatkan.
“Mana mungkin kita bisa membunuh, apalagi mengancamnya agar diaNgkat jadi murid. Sebaiknya kita bersikap lunak pada orang yang memiliki ilmu tinggi seperti dia.” “Benar juga, Ki Benowo.” Loro Gempol mengagukan kepala. “Jika tetap tidak mau menerima kita sebagai muridnya?” “Kita coba saja dulu,” ujar Kebo Benowo. Syekh Siti Jenar telah mendekat, lalu melintas dihadapan Kebo Benowo dan kedua temannya. Syekh Siti Jenar sedikit pun tidak menyapa apalagi meliriknya, terus melangkah ke depan dengan tenang.
“Syekh,” Kebo Benowo mengerjanya. “Bolehkah saya berguru?” “Mengapa mesti berguru? Kepada siapa kisanak akan berguru?” Syekh Siti Jenar tidak menghentikan langkahnya, dan tidak melirik. “Karena saya ingin memiliki ilmu. Tentu saja saya ingin berguru pada Syekh Siti Jenar.” jawab Kebo Benowo. “Mengapa harus kepada saya? Ilmu apa pula yang kisanak inginkan dari saya.” ucap Syekh Siti Jenar. “Padahal saya manusia biasa seperti kisanak, bukan pemilik ilmu dan tidak memiliki ilmu apa pun. Baik kisanak atau pun ilmu ada yang memilikinya.” “Saya tidak mengerti pada ucapan, Syekh?” Kebo Benowo mengerutkan keningnya. “Kenapa jawaban Syekh membingunkan kami?” timpal Loro Gempol.
“Apanya yang membuat kisanak pada kebingungan? Saya tidak pernah membuat bingung orang lain apalagi menyusahkan orang.” Syekh Siti Jenar menghentikan langkahnya, lalu menatap ke tiga rampok tersebut. “Hanya kisanaklah yang ingin membuat susah dan menyusahkan diri sendiri.” “Apa maksud ucapan, Syekh?” ke tiga rampok hampir serempak menepuk dahinya masing-masing. Kepala seakan-akan mau pecah ketika mendengar setiap perkataan Syekh Siti Jenar.
“Saya manusia biasa seperti kisanak, bukan pemilik ilmu. Bukankah kisanak sendiri dan ilmu itu ada pemiliknya? Itukah yang membuat kisanak bingung?” tatap Syekh Siti Jenar, mengulang ucapannya. “Itulah yang tidak kami pahami. Karena kami orang awam, tidak tahu segala hal yang Syekh ucapkan.” Kebo Benowo berusaha mencerna ucapan Syekh Siti Jenar. “Syekh tadi mengatakan, kalau diri Syekh adalah manusia biasa seperti saya,” “Ya,” ”Bukankah Syekh memiliki ilmu yang hebat? Sedangkan kami tidak bisa apa-apa?” ujar Kebo Benowo.
”Saya tidak memiliki ilmu yang hebat. Kisanak mengaggap tidak bisa apa-apa, itu merupakan pernyataan yang sangat keliru.” Syekh Siti Jenar diam sejenak, matanya menatap satu persatu wajah orang yang diajak bicaranya. “Kenapa tidak mau mengakui kalau diri Syekh memiliki ilmu yang hebat.” sela Kebo Benowo. Pikirannya semakin sumpek mendengar setiap perkataan Syekh Siti Jenar yang bersebrangan dengan realita yang dia pahami. “Malah pengakuan saya dianggap keliru,”
“Memang benar kisanak sangat keliru.” Syekh Siti Jenar, mendongak ke atas langit, “Tataplah bintang gemintang yang ada di atas kepala kisanak nun jauh di langit.” “Apakah ada yang aneh dengan bintang-gemintang di langit?” tanya Kebo Benowo. Belum menemukan celah terang atas segala perkataan Syekh Siti Jenar, pikirannya semakin ngejelimet. “Bukan ada yang aneh atau tidak. Perhatikanlah bintang-bintang? Kenapa tidak jatuh ke bumi dan menimpa kepala kita? Pernahkah terpikir dalam benak kisanak, siapa yang menahannya di langit?” Syekh Siti Jenar kembali menatap ke tiga rampok tadi. “Benar juga. Tidak tahu. Mungkinkah kekuatan yang tidak nampak?” “Kenapa kekuatannya tidak nampak? Siapa pula yang memiliki kekuatan yang tidak nampak itu?” tanya Syekh Siti Jenar.
“Saya tidak mengerti Syekh? Jika memang ada kekuatan siapa pemiliknya?” “Dialah Allah. Allah itu penguasa semesta alam. Penggenggam setiap jiwa makhluknya.” ujar Syekh Siti Jenar.
“Kita kembali pada ucapan saya semula. Maksud saya itulah tadi.” “O…ya.” Kebo Benowo mengangguk-anggukan kepala, rupanya mulai ada titik terang di benaknya. “Jika demikian saya mulai terbuka dengan apa yang Syekh Siti Jenar uraikan tadi. Namun yang masih membingungkan, mengapa dianggap keliru jika saya mengatakan tidak bisa apa-apa di banding kisanak.”
“Jika kisanak mengatakan tidak bisa apa-apa, tentu saja mati. Hanya orang matilah yang tidak bisa apa-apa.” terang Syekh Siti Jenar. “Benar perkataan kisanak, Syekh.” Kebo Benowo mengangguk. “Namun maksud tidak bisa apa-apa disini bahwa ilmu yang saya miliki jauh dibawah kehebatan ilmu Syekh.” “Ya,” Syekh Siti Jenar mengangguk. “Itu bukan berarti bahwa saya lebih hebat dari kisanak. Hanya kisanak belum menemukan ilmu yang saya miliki.” “Itulah yang saya inginkan dari Syekh. Beritahu saya cara menemukan ilmu tadi.” ucap Kebo Benowo. “Akan saya tunjukan. Ikutlah kisanak ke padepokan saya!” Syekh Siti Jenar membalikan tubuhnya, kemudian melangkahkan kakinya dengan tenang. “Terimaksih, Syekh.” Kebo Benowo dan kedua temannya sangat senang akan diberi ilmu hebat yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar.
“Kita belum juga menemukan jejak Syekh Siti Jenar,” ujar Loro Gempol. “Bukankah dia ke arah sini?” “Tidak mungkin, saya punya keyakinan jika Syekh Siti Jenar menuju pusat Kota Demak Bintoro.” potong Kebobenowo. “Kalau betul dia menuju Kota Demak, sangatlah sulit untuk menemukannya.” Lego Benongo menghentikan langkah, lalu duduk di atas batu di tepi jalan. “Benar juga, Benongo.” Kebo Benowo mengerutkan keningnya, langkah pun terhenti sejenak, matanya menatap jalan yang masih panjang. Menarik napas dalam-dalam. “Sebaiknya kita duduk-duduk disini sambil cari makan, menunggu Syekh Siti Jenar pulang. Jika memang dia dari pusat Kota Demak Bintoro, tentulah pulangnya akan melewati jalan ini.”
“Itu baru benar,” sahut Lego Benongo, langsung saja merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau di bawah rindangnya pohon jalan. Sayap malam mulai mengembang, matahari telah menyelinap di balik bukit. Kelelawar beterbangan keluar dari sarangnya, bergembiraria menyambut datangnya malam. “Ki Benowo, hari sudah malam. Apakah kita mau tetap disini menunggu Syekh Siti Jenar?” tanya Loro Gempol bangkit dari duduknya. Kepalanya mendongak ke atas menatap langit yang mulai tampak dihiasi gemintang. “Benar juga, Gempol.” Kebo Benowo berdiri, menatap jalan yang terbentang panjang menuju pusat Kerajaan Demak Bintoro.
“Lihat! Mungkinkah dia yang kita tunggu?” “Syekh Siti Jenar?” timpal Lego Benongo. “Kelihatannya Syekh Siti Jenar, Ki Benowo.” ujar Loro Gempol gembira. “Hebat, wajahnya memancarkan cahaya terang, padahal dia tidak membawa obor atau lampu.” “Saya rasa itulah kehebatan ilmu yang dimilikinya.” duga Kebo Benowo. “Kita sudah benar menemukan seorang guru.” “Tapi apa mau Syekh Siti Jenar mengangkat kita sebagai muridnya?” Loro Benongo meragukan. “Kalau tidak mau kita bunuh saja!” geram Loro Gempol. “Kamu seperti tidak ingat saja, Gempol. Bukankah Syekh Siti Jenar itu sangat sulit dilukai?” Kebo Benowo mengingatkan.
“Mana mungkin kita bisa membunuh, apalagi mengancamnya agar diaNgkat jadi murid. Sebaiknya kita bersikap lunak pada orang yang memiliki ilmu tinggi seperti dia.” “Benar juga, Ki Benowo.” Loro Gempol mengagukan kepala. “Jika tetap tidak mau menerima kita sebagai muridnya?” “Kita coba saja dulu,” ujar Kebo Benowo. Syekh Siti Jenar telah mendekat, lalu melintas dihadapan Kebo Benowo dan kedua temannya. Syekh Siti Jenar sedikit pun tidak menyapa apalagi meliriknya, terus melangkah ke depan dengan tenang.
“Syekh,” Kebo Benowo mengerjanya. “Bolehkah saya berguru?” “Mengapa mesti berguru? Kepada siapa kisanak akan berguru?” Syekh Siti Jenar tidak menghentikan langkahnya, dan tidak melirik. “Karena saya ingin memiliki ilmu. Tentu saja saya ingin berguru pada Syekh Siti Jenar.” jawab Kebo Benowo. “Mengapa harus kepada saya? Ilmu apa pula yang kisanak inginkan dari saya.” ucap Syekh Siti Jenar. “Padahal saya manusia biasa seperti kisanak, bukan pemilik ilmu dan tidak memiliki ilmu apa pun. Baik kisanak atau pun ilmu ada yang memilikinya.” “Saya tidak mengerti pada ucapan, Syekh?” Kebo Benowo mengerutkan keningnya. “Kenapa jawaban Syekh membingunkan kami?” timpal Loro Gempol.
“Apanya yang membuat kisanak pada kebingungan? Saya tidak pernah membuat bingung orang lain apalagi menyusahkan orang.” Syekh Siti Jenar menghentikan langkahnya, lalu menatap ke tiga rampok tersebut. “Hanya kisanaklah yang ingin membuat susah dan menyusahkan diri sendiri.” “Apa maksud ucapan, Syekh?” ke tiga rampok hampir serempak menepuk dahinya masing-masing. Kepala seakan-akan mau pecah ketika mendengar setiap perkataan Syekh Siti Jenar.
“Saya manusia biasa seperti kisanak, bukan pemilik ilmu. Bukankah kisanak sendiri dan ilmu itu ada pemiliknya? Itukah yang membuat kisanak bingung?” tatap Syekh Siti Jenar, mengulang ucapannya. “Itulah yang tidak kami pahami. Karena kami orang awam, tidak tahu segala hal yang Syekh ucapkan.” Kebo Benowo berusaha mencerna ucapan Syekh Siti Jenar. “Syekh tadi mengatakan, kalau diri Syekh adalah manusia biasa seperti saya,” “Ya,” ”Bukankah Syekh memiliki ilmu yang hebat? Sedangkan kami tidak bisa apa-apa?” ujar Kebo Benowo.
”Saya tidak memiliki ilmu yang hebat. Kisanak mengaggap tidak bisa apa-apa, itu merupakan pernyataan yang sangat keliru.” Syekh Siti Jenar diam sejenak, matanya menatap satu persatu wajah orang yang diajak bicaranya. “Kenapa tidak mau mengakui kalau diri Syekh memiliki ilmu yang hebat.” sela Kebo Benowo. Pikirannya semakin sumpek mendengar setiap perkataan Syekh Siti Jenar yang bersebrangan dengan realita yang dia pahami. “Malah pengakuan saya dianggap keliru,”
“Memang benar kisanak sangat keliru.” Syekh Siti Jenar, mendongak ke atas langit, “Tataplah bintang gemintang yang ada di atas kepala kisanak nun jauh di langit.” “Apakah ada yang aneh dengan bintang-gemintang di langit?” tanya Kebo Benowo. Belum menemukan celah terang atas segala perkataan Syekh Siti Jenar, pikirannya semakin ngejelimet. “Bukan ada yang aneh atau tidak. Perhatikanlah bintang-bintang? Kenapa tidak jatuh ke bumi dan menimpa kepala kita? Pernahkah terpikir dalam benak kisanak, siapa yang menahannya di langit?” Syekh Siti Jenar kembali menatap ke tiga rampok tadi. “Benar juga. Tidak tahu. Mungkinkah kekuatan yang tidak nampak?” “Kenapa kekuatannya tidak nampak? Siapa pula yang memiliki kekuatan yang tidak nampak itu?” tanya Syekh Siti Jenar.
“Saya tidak mengerti Syekh? Jika memang ada kekuatan siapa pemiliknya?” “Dialah Allah. Allah itu penguasa semesta alam. Penggenggam setiap jiwa makhluknya.” ujar Syekh Siti Jenar.
“Kita kembali pada ucapan saya semula. Maksud saya itulah tadi.” “O…ya.” Kebo Benowo mengangguk-anggukan kepala, rupanya mulai ada titik terang di benaknya. “Jika demikian saya mulai terbuka dengan apa yang Syekh Siti Jenar uraikan tadi. Namun yang masih membingungkan, mengapa dianggap keliru jika saya mengatakan tidak bisa apa-apa di banding kisanak.”
“Jika kisanak mengatakan tidak bisa apa-apa, tentu saja mati. Hanya orang matilah yang tidak bisa apa-apa.” terang Syekh Siti Jenar. “Benar perkataan kisanak, Syekh.” Kebo Benowo mengangguk. “Namun maksud tidak bisa apa-apa disini bahwa ilmu yang saya miliki jauh dibawah kehebatan ilmu Syekh.” “Ya,” Syekh Siti Jenar mengangguk. “Itu bukan berarti bahwa saya lebih hebat dari kisanak. Hanya kisanak belum menemukan ilmu yang saya miliki.” “Itulah yang saya inginkan dari Syekh. Beritahu saya cara menemukan ilmu tadi.” ucap Kebo Benowo. “Akan saya tunjukan. Ikutlah kisanak ke padepokan saya!” Syekh Siti Jenar membalikan tubuhnya, kemudian melangkahkan kakinya dengan tenang. “Terimaksih, Syekh.” Kebo Benowo dan kedua temannya sangat senang akan diberi ilmu hebat yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar.
***
Walisongo terus menyebarkan agama Islam
di pulau Jawa. Sunan Kalijaga berbeda cara dengan wali lainnya. Lebih
menyukai berbaur dengan rakyat kebanyakan, tanpa mengenakan pakaian
serba putih seperti yang lainnya. “Kanjeng Sunan Kalijaga, ternyata
pendekatan budaya lebih bisa diterima ketimbang hanya membawa pesan
belaka.” ujar Sunan Bonang. “Karena antara kita dengan mereka nyaris
tidak ada jarak pemisah.” jawab Sunan Kalijaga. “Ternyata hanya dengan
cara berpakaian saja, mereka sudah sulit didekati.”
“Benar,” Sunan Bonang memaksakan tersenyum. “Namun dibalik keberhasilan andika ternyata menuai protes dari sebagian wali, terutama Kanjeng Sunan Giri. Hingga pada hari ini andika harus menghadap mereka dipersidangan para wali.” tambah Sunan Bonang. “Tidak mengapa Kanjeng Sunan Bonang. Itulah resiko yang harus saya tanggung. Asalkan saya tidak menyimpang dari ajaran Islam,” Sunan Kalijaga menghela napas, seraya kakinya tetap melangkah beriringan dengan Sunan Bonang.
“Saya menyimpang hanya dalam soal budaya, yang semestinya tidak harus terjadi perbedaan paham seperti sekarang.” “Mungkin salah satunya itu.” Sunan Bonang mulai menginjakan kaki di gerbang masjid Demak. “Kita sudah sampai, Kanjeng.” “Silakan Kanjeng Sunan Bonang duluan,” Sunan Kalijaga memasuki masjid Demak beriringan dengan Sunan Bonang yang sudah terlebih dahulu masuk. “Selamat datang, Kanjeng Sunan Kalijaga dan Kanjeng Sunan Bonang.” ujar Sunan Muria.
“Silahkan duduk, Sunan Giri dan para wali sudah menunggu.” Keadaan hening sejenak. Para wali saling tatap satu sama lainnya, tatapan Sunan Kalijaga beradu dengan Sunan Giri, lalu beralih ke Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan terakhir Sunan Bonang. Sunan Kalijaga masih beradu tatap dengan Sunan Bonang, saling menembus batin, saling bercakap. Sementara percakapan batin mereka tidak bisa ditembus oleh sebagian wali. “Pahamkah Kanjeng Sunan Kalijaga pada hari ini sidang para wali mengundang?” Sunan Giri membuka pembicaraan.
“Daripada saya menduga-duga, alangkah lebih baiknya jika Kanjeng Sunan Giri menjelaskan.” ujar Sunan Kalijaga tenang. “Tidakah andika menyadari akan tindakan yang dilakukan?” Sunan Giri melanjutkan. “Haruskah andika mengganti pakaian dengan mengenakan pakaian rakyat kebanyakan?” “Itukah yang ingin Kanjeng Sunan Giri persoalkan?” tatap Sunan Kalijaga. “Benar, karena tidak selayaknya seorang wali mengenakan pakaian serba hitam seperti halnya rakyat kebanyakan. Sudah semestinya seorang ulama atau wali memiliki ciri dengan mengenakan pakaian kebesaran yang serba putih, bersorban, dan lainnya.” urai Sunan Giri.
“Apakah setiap orang yang mengaku muslim akan batal keislamannya jika seandainya tidak berpakaian serba putih dan mengenakan sorban serta jubah?” tanya Sunan Kalijaga. “Tentu tidak. Selama dia tidak murtad atau keluar dari agama Islam.” jawab Sunan Giri. “Lalu apakah yang salah pada diri saya?” kembali Sunan Kalijaga bertanya. “Karena andika tidak mengenakan pakaian seperti halnya wali lain. Bukankah pakaian itu cermin dari seseorang yang mengenakannya? Juga pakaian serba putih itu ciri para wali?” ujar Sunan Giri.
”Saya tidak bisa disebut seorang ulama atau wali karena tidak mengenakan sorban dan pakaian serba putih? Jika hal itu alasannya maka saya tidak keberatan meski tidak disebut seorang ulama atau pun wali. Karena tujuan saya bukanlah ingin mendapat julukan dan dielu-elukan banyak orang. Namun tujuan utama saya adalah berdakwah di tanah Jawa ini agar orang mau berbondong-bondong masuk Islam, tanpa harus dibatasi oleh cara berpakaian dan latar belakang budaya yang mereka anggap asing.” urai Sunan Kalijaga.
“Untuk keberhasilan dakwah saya rela menanggalkan jubah putih, serta berbaur dengan rakyat jelata. Itu cara saya. Jika cara saya berbeda dengan Kanjeng Sunan Giri itu hanyalah masalah teknis, bukankah aqidah kita tetap sama?” Sunan Giri sejenak terdiam. Dahinya tampak dikerutkan, seakan-akan merenungi ucapan Sunan Kalijaga. Belum juga dia berbicara, Sunan Kalijaga melanjutkan perkataannya. “Bukankah rakyat kebanyakan berbondong-bondong masuk Islam, mereka tidak segan lagi bersama-sama saya untuk melakukan shalat berjamaah? Lantas sasaran Kanjeng Sunan Giri sangatlah terbatas, dengan hitungan tidak terlalu banyak dan ekslusif. Karena Kanjeng Sunan Giri menerapkan metode dakwah serta sasaran tertentu menurut Kanjeng.” ujar Sunan Kalijaga.
“Setelah saya renungkan dan saya pikirkan, baiklah kita tidak harus saling memaksaan dalam urusan metode dakwah.” Sunan Giri mencair. “Saya kira andika telah menyimpang dari Islam seiring dengan ditanggalkannya jubah putih, ternyata hanya cara yang berbeda.”
“Kenapa saya harus mengingkari ajaran Islam? Padahal dengan susah payah saya meraihnya. Tidak mungkin saya melepaskan ajaran Islam dari diri saya seperti halnya saya menanggalkan jubah putih. Itu berbeda, Kanjeng Sunan Giri.” tukas Sunan Kalijaga. “Saya lebih memilih melakukan pendekatan budaya, ketimbang menggunakan tata cara yang bersipat asing bagi mereka.” Masjid Demak Bintoro sejenak dalam keadaan hening. Tidak terdengar lagi suara yang bercakap-cakap, selain bergeraknya tasbih di tangan para wali.
“Benar,” Sunan Bonang memaksakan tersenyum. “Namun dibalik keberhasilan andika ternyata menuai protes dari sebagian wali, terutama Kanjeng Sunan Giri. Hingga pada hari ini andika harus menghadap mereka dipersidangan para wali.” tambah Sunan Bonang. “Tidak mengapa Kanjeng Sunan Bonang. Itulah resiko yang harus saya tanggung. Asalkan saya tidak menyimpang dari ajaran Islam,” Sunan Kalijaga menghela napas, seraya kakinya tetap melangkah beriringan dengan Sunan Bonang.
“Saya menyimpang hanya dalam soal budaya, yang semestinya tidak harus terjadi perbedaan paham seperti sekarang.” “Mungkin salah satunya itu.” Sunan Bonang mulai menginjakan kaki di gerbang masjid Demak. “Kita sudah sampai, Kanjeng.” “Silakan Kanjeng Sunan Bonang duluan,” Sunan Kalijaga memasuki masjid Demak beriringan dengan Sunan Bonang yang sudah terlebih dahulu masuk. “Selamat datang, Kanjeng Sunan Kalijaga dan Kanjeng Sunan Bonang.” ujar Sunan Muria.
“Silahkan duduk, Sunan Giri dan para wali sudah menunggu.” Keadaan hening sejenak. Para wali saling tatap satu sama lainnya, tatapan Sunan Kalijaga beradu dengan Sunan Giri, lalu beralih ke Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan terakhir Sunan Bonang. Sunan Kalijaga masih beradu tatap dengan Sunan Bonang, saling menembus batin, saling bercakap. Sementara percakapan batin mereka tidak bisa ditembus oleh sebagian wali. “Pahamkah Kanjeng Sunan Kalijaga pada hari ini sidang para wali mengundang?” Sunan Giri membuka pembicaraan.
“Daripada saya menduga-duga, alangkah lebih baiknya jika Kanjeng Sunan Giri menjelaskan.” ujar Sunan Kalijaga tenang. “Tidakah andika menyadari akan tindakan yang dilakukan?” Sunan Giri melanjutkan. “Haruskah andika mengganti pakaian dengan mengenakan pakaian rakyat kebanyakan?” “Itukah yang ingin Kanjeng Sunan Giri persoalkan?” tatap Sunan Kalijaga. “Benar, karena tidak selayaknya seorang wali mengenakan pakaian serba hitam seperti halnya rakyat kebanyakan. Sudah semestinya seorang ulama atau wali memiliki ciri dengan mengenakan pakaian kebesaran yang serba putih, bersorban, dan lainnya.” urai Sunan Giri.
“Apakah setiap orang yang mengaku muslim akan batal keislamannya jika seandainya tidak berpakaian serba putih dan mengenakan sorban serta jubah?” tanya Sunan Kalijaga. “Tentu tidak. Selama dia tidak murtad atau keluar dari agama Islam.” jawab Sunan Giri. “Lalu apakah yang salah pada diri saya?” kembali Sunan Kalijaga bertanya. “Karena andika tidak mengenakan pakaian seperti halnya wali lain. Bukankah pakaian itu cermin dari seseorang yang mengenakannya? Juga pakaian serba putih itu ciri para wali?” ujar Sunan Giri.
”Saya tidak bisa disebut seorang ulama atau wali karena tidak mengenakan sorban dan pakaian serba putih? Jika hal itu alasannya maka saya tidak keberatan meski tidak disebut seorang ulama atau pun wali. Karena tujuan saya bukanlah ingin mendapat julukan dan dielu-elukan banyak orang. Namun tujuan utama saya adalah berdakwah di tanah Jawa ini agar orang mau berbondong-bondong masuk Islam, tanpa harus dibatasi oleh cara berpakaian dan latar belakang budaya yang mereka anggap asing.” urai Sunan Kalijaga.
“Untuk keberhasilan dakwah saya rela menanggalkan jubah putih, serta berbaur dengan rakyat jelata. Itu cara saya. Jika cara saya berbeda dengan Kanjeng Sunan Giri itu hanyalah masalah teknis, bukankah aqidah kita tetap sama?” Sunan Giri sejenak terdiam. Dahinya tampak dikerutkan, seakan-akan merenungi ucapan Sunan Kalijaga. Belum juga dia berbicara, Sunan Kalijaga melanjutkan perkataannya. “Bukankah rakyat kebanyakan berbondong-bondong masuk Islam, mereka tidak segan lagi bersama-sama saya untuk melakukan shalat berjamaah? Lantas sasaran Kanjeng Sunan Giri sangatlah terbatas, dengan hitungan tidak terlalu banyak dan ekslusif. Karena Kanjeng Sunan Giri menerapkan metode dakwah serta sasaran tertentu menurut Kanjeng.” ujar Sunan Kalijaga.
“Setelah saya renungkan dan saya pikirkan, baiklah kita tidak harus saling memaksaan dalam urusan metode dakwah.” Sunan Giri mencair. “Saya kira andika telah menyimpang dari Islam seiring dengan ditanggalkannya jubah putih, ternyata hanya cara yang berbeda.”
“Kenapa saya harus mengingkari ajaran Islam? Padahal dengan susah payah saya meraihnya. Tidak mungkin saya melepaskan ajaran Islam dari diri saya seperti halnya saya menanggalkan jubah putih. Itu berbeda, Kanjeng Sunan Giri.” tukas Sunan Kalijaga. “Saya lebih memilih melakukan pendekatan budaya, ketimbang menggunakan tata cara yang bersipat asing bagi mereka.” Masjid Demak Bintoro sejenak dalam keadaan hening. Tidak terdengar lagi suara yang bercakap-cakap, selain bergeraknya tasbih di tangan para wali.
***
“Inilah padepokanku, Kisanak!” ucap Syekh
Siti Jenar. “Indah dan asri pemandangannya, Syekh.” Kebo Benowo
tercengang melihat keindahan Padepokan Syekh Siti Jenar. Udaranya sejuk,
keadaannya tenang, pohon hijau berselang dengan tanaman hias memagari
jalan setapak yang sedikit menanjak menuju gerbang padepokan. “Tentu
saja harus indah dan asri, karena Allah itu Maha Indah. Kita selaku
umatnya sudah seharusnya menciptakan suatu keindahan, agar kita mudah
menyatukan diri dengannya. Kita berdialog dengan Allah, yang memiliki
segala hal dan menciptakan segala makhluk.” terang Syekh Siti Jenar.
“Masuklah kisanak!” “Terimakasih, Syekh.” Kebo Benowo, masuk lebih dulu
diikuti kedua teamnnya. “Sebab jika kita merasa tertarik pada sesuatu,
tentu saja kita akan selalu ingin memandangnya dan merasa kerasan untuk
menikmatinya.” Syekh Siti Jenar duduk bersila di atas tikar pandan.
Dihadapannya Kebo Benowo dan kedua temannya.
“Sungguh benar yang Syekh katakan.” ucap Kebo Benowo datar. “Namun ruangan ini cukup luas, banyakkah orang yang berkumpul disini dan berguru pada, Syekh?” matanya mengitari seluruh ruangan. “Untuk apa saya membuat ruangan sebesar ini jika tidak ada orang yang mau menempatinya.” Syekh Siti Jenar melirik ke arah gerbang padepokan. “Lihatlah disana!” “Banyak sekali orang yang sedang menju ke padepokan ini?” Kebo Benowo dan dua temannya tercengang, melihat rombongan orang yang berduyun-duyun memasuki gerbang padepokan. “Jika demikian, bukanlah kami ini murid Syekh yang pertama.” “Itulah sebuah kenyataan.” ujar Syekh Siti Jenar tenang. “Jika demikian saya tidak akan bisa berkonsentrasi menyerap ilmu yang akan diajarkan Syekh?” wajah Kebo Benowo menggambarkan kekhawatiran. “Mengapa tidak, Kisanak? Sebab saya tidak memiliki ilmu apa pun, dan tidak pula menganggap istimewa satu sama lainnya. Karena mereka memiliki asal yang sama dan kembali pada tempat yang sama.” terang Syekh Siti Jenar. “O,…” Kebo Benowo dan temannya mengangguk-anggukan kepala. Namun tetap dalam hatinya merasa keberatan jika harus berjubel dan belajar dengan banyak orang. Karena tujuan mereka berguru ingin memiliki ilmu lebih dibandingkan dengan orang lain, tujuannya pun untuk menguasai orang lain. ——————- Pengikut dan murid Syekh Siti Jenar yang jumlahnya cukup banyak mulai memasuki ruang padepokan. Satu persatu mulai mengambil tempat duduknya masing-masing. Duduk bersila, berjejer memadati ruangan, pandangannya luru ke depan, memandang Syekh Siti Jenar dengan takjub. “Baiklah, jika semuanya sudah berkumpul kita mulai pelajaran ini.” Syekh Siti Jenar mulai mengajarkan ilmunya. “Saya akan memulai dengan pertanyaan. Darimanakah asalnya manusia?” matanya mulai memandang muridnya satu persatu. “Tentu saja manusia berasal dari kedua orang tuanya.” jawab Loro Gempol. “Terutama sekali ibunya yang melahirkan. Saya rasa semua orang juga tahu, Syekh.” urainya sangat percaya diri. “Jika jawabannya seperti itu, semua orang tahu. Maka saya tidak perlu memberitahukannya lagi.” terang Syekh Siti Jenar. “Lalu bagaimana menurut, Syekh?” Kebo Benowo menindaklanjuti pertanyaan temannya. “Secara lahiryah, manusia dilahirkan oleh seorang ibu. Ibu pun tidak akan bisa melahirkan tanpa pasangannya yang bernama suami.” sejenak menghentikan ucapannya. Matanya mulai menyisir wajah para muridnya yang dengan khusu memperhatikannya. “Ya, kami tahu.” Loro Gempol yang tidak sabaran selalu menyela. “Syekh, kedatangan kami kesini bukan untuk mempelajari ilmu seperti itu. Tapi kami meminta kesaktian yang Syekh punyai.” Loro Gempol seraya bangkit dari duduknya, tabiat rampoknya mulai tumbuh kembali. Andika terlalu tergesa-gesa, Kisanak.” Syekh Siti Jenar mengayunkan telunjuk dari tempat duduknya. ”Akkkhhhhh! Tolong!” tiba-tiba Loro Gempol terbanting, dan roboh di atas lantai. “Bukankah saya belum selesai berbicara?” Syekh Siti Jenar tidak mengubah posisi duduknya, “Mana bisa orang mendapatkan ilmu ma’rifatullah jika tidak bisa mengendalikan emosi.” “Aduhhhh…” Loro Gempol memijat-mijat bokongnya yang terasa sakit akibat benturan. “Maafkan saya, Syekh.” “Kembalilah andika ke tempat duduk!” perintah Syekh Siti Jenar. Sementara yang lainnya tidak ada yang berani menentang, apalagi berujar yang tidak karuan di depan orang yang memiliki tingkat kesaktian tinggi. Mereka termasuk para murid yang taat, karena sudah mulai mendalami sebagian ilmu yang diajarkannya. “Kenapa andika ceroboh, Gempol?” Kebo Benowo berbisik pada Loro Gempol yang telah duduk kembali disampingnya. “Bukankah andika sudah tahu, bagaimana kehebatan Syekh Siti Jenar ketika kita rampok. Masih untung andika tidak diusir dari padepokan ini.” “Memang saya ceroboh, Ki Benowo. Tapi saya tidak akan mengulang kesalahan ini,” bisik Loro Gempol. “Jika andika mengulang kesalahan, kemungkinan besar kita akan ditolak menjadi murid beliau.” Kebo Benowo merasa khawatir kalau tidak memperoleh kesaktian yang dimiliki Syekh Siti Jenar. ”Lupakanlah peristiwa tadi.” Syekh Siti Jenar menghela napasnya. ”Kita kembali pada pertanyaan semula. Darimana asalnya manusia?” “Darimanakah itu Syekh? Saya kira Syekhlah yang lebih tahu.” ujar Kebo Benowo. “Manusia berasal dari Allah. Dari dzat Allah yang menciptakannya. Seluruh manusia yang belum lahir kedunia ini berada pada suatu tempat yang bernama ‘bahrul hayat’.” berhenti sejenak. “Apakah itu, Syekh?” tanya Kebo Benowo. “Yaitu tempat hidup dan kehidupan. Disitu manusia merasakan kenikmatan yang tidak ada taranya. Manusia tidak pernah merasakan lapar, sakit, sedih, duka, lara, bahkan bahagia. Itu karena sangking nikmatnya kehidupan sebelum lahir ke dunia. Kita merasakan penderitaan, kesedihan, kemiskinan dan sebangsanya karena telah terlahir ke dunia ini. Bukankah sebelumnya kita tidak pernah merasakan penderitaan dan kemiskinan…” urai Syekh Siti Jenar. Para murid Syekh Siti Jenar sejenak merenungkan uraian gurunya. Mereka ada yang bisa mencerna dan memikirnnya, namun ada juga yang belum memahami maksud uraian tadi. “Jadi dunia ini tempatnya kita menjalani kesedihan, kemiskinan, kemelaratan, penderitaan, tertawa, bergembira. Setelah semuanya secara berurutan atau tidak kita alami, maka kembali berputar. Setelah sedih kita akan bahagia, setelah bergembira kita akan menangis….dan seterusnya.” Syekh Siti Jenar memandang ke setiap sudut. ——————- “Jika demikian kehidupan dunia ini berbeda dengan alam asal muasal kita, yang didalamnya tidak pernah terasa kesedihan, tidak pernah pula setelah bergembira kemudian bersedih. Bukankah disana nyaris kita tidak pernah merasakan apa pun, Syekh?” ujar Kebo Benowo, seraya menatap wajah Syekh Siti Jenar yang memancarkan cahaya. “Benar. Alam asal muasal manusia adalah alam milik dzatnya. Sehingga kita pun berada didalam kenikmatannya. Berbeda dengan alam yang sedang kita jalani sekarang.” lanjut Syekh Siti Jenar, tangan kanannya tetap memegang tasbih, sementara tatapan matanya terus berputar. Waktu terus merangkak pelan, menggiring para murid Syekh Siti Jenar pada ajarannya. Mereka semakin khusuk mendengarkan, hati mulai terbuka akan segala hal yang sebelumnya tidak diketahui.
“Sungguh benar yang Syekh katakan.” ucap Kebo Benowo datar. “Namun ruangan ini cukup luas, banyakkah orang yang berkumpul disini dan berguru pada, Syekh?” matanya mengitari seluruh ruangan. “Untuk apa saya membuat ruangan sebesar ini jika tidak ada orang yang mau menempatinya.” Syekh Siti Jenar melirik ke arah gerbang padepokan. “Lihatlah disana!” “Banyak sekali orang yang sedang menju ke padepokan ini?” Kebo Benowo dan dua temannya tercengang, melihat rombongan orang yang berduyun-duyun memasuki gerbang padepokan. “Jika demikian, bukanlah kami ini murid Syekh yang pertama.” “Itulah sebuah kenyataan.” ujar Syekh Siti Jenar tenang. “Jika demikian saya tidak akan bisa berkonsentrasi menyerap ilmu yang akan diajarkan Syekh?” wajah Kebo Benowo menggambarkan kekhawatiran. “Mengapa tidak, Kisanak? Sebab saya tidak memiliki ilmu apa pun, dan tidak pula menganggap istimewa satu sama lainnya. Karena mereka memiliki asal yang sama dan kembali pada tempat yang sama.” terang Syekh Siti Jenar. “O,…” Kebo Benowo dan temannya mengangguk-anggukan kepala. Namun tetap dalam hatinya merasa keberatan jika harus berjubel dan belajar dengan banyak orang. Karena tujuan mereka berguru ingin memiliki ilmu lebih dibandingkan dengan orang lain, tujuannya pun untuk menguasai orang lain. ——————- Pengikut dan murid Syekh Siti Jenar yang jumlahnya cukup banyak mulai memasuki ruang padepokan. Satu persatu mulai mengambil tempat duduknya masing-masing. Duduk bersila, berjejer memadati ruangan, pandangannya luru ke depan, memandang Syekh Siti Jenar dengan takjub. “Baiklah, jika semuanya sudah berkumpul kita mulai pelajaran ini.” Syekh Siti Jenar mulai mengajarkan ilmunya. “Saya akan memulai dengan pertanyaan. Darimanakah asalnya manusia?” matanya mulai memandang muridnya satu persatu. “Tentu saja manusia berasal dari kedua orang tuanya.” jawab Loro Gempol. “Terutama sekali ibunya yang melahirkan. Saya rasa semua orang juga tahu, Syekh.” urainya sangat percaya diri. “Jika jawabannya seperti itu, semua orang tahu. Maka saya tidak perlu memberitahukannya lagi.” terang Syekh Siti Jenar. “Lalu bagaimana menurut, Syekh?” Kebo Benowo menindaklanjuti pertanyaan temannya. “Secara lahiryah, manusia dilahirkan oleh seorang ibu. Ibu pun tidak akan bisa melahirkan tanpa pasangannya yang bernama suami.” sejenak menghentikan ucapannya. Matanya mulai menyisir wajah para muridnya yang dengan khusu memperhatikannya. “Ya, kami tahu.” Loro Gempol yang tidak sabaran selalu menyela. “Syekh, kedatangan kami kesini bukan untuk mempelajari ilmu seperti itu. Tapi kami meminta kesaktian yang Syekh punyai.” Loro Gempol seraya bangkit dari duduknya, tabiat rampoknya mulai tumbuh kembali. Andika terlalu tergesa-gesa, Kisanak.” Syekh Siti Jenar mengayunkan telunjuk dari tempat duduknya. ”Akkkhhhhh! Tolong!” tiba-tiba Loro Gempol terbanting, dan roboh di atas lantai. “Bukankah saya belum selesai berbicara?” Syekh Siti Jenar tidak mengubah posisi duduknya, “Mana bisa orang mendapatkan ilmu ma’rifatullah jika tidak bisa mengendalikan emosi.” “Aduhhhh…” Loro Gempol memijat-mijat bokongnya yang terasa sakit akibat benturan. “Maafkan saya, Syekh.” “Kembalilah andika ke tempat duduk!” perintah Syekh Siti Jenar. Sementara yang lainnya tidak ada yang berani menentang, apalagi berujar yang tidak karuan di depan orang yang memiliki tingkat kesaktian tinggi. Mereka termasuk para murid yang taat, karena sudah mulai mendalami sebagian ilmu yang diajarkannya. “Kenapa andika ceroboh, Gempol?” Kebo Benowo berbisik pada Loro Gempol yang telah duduk kembali disampingnya. “Bukankah andika sudah tahu, bagaimana kehebatan Syekh Siti Jenar ketika kita rampok. Masih untung andika tidak diusir dari padepokan ini.” “Memang saya ceroboh, Ki Benowo. Tapi saya tidak akan mengulang kesalahan ini,” bisik Loro Gempol. “Jika andika mengulang kesalahan, kemungkinan besar kita akan ditolak menjadi murid beliau.” Kebo Benowo merasa khawatir kalau tidak memperoleh kesaktian yang dimiliki Syekh Siti Jenar. ”Lupakanlah peristiwa tadi.” Syekh Siti Jenar menghela napasnya. ”Kita kembali pada pertanyaan semula. Darimana asalnya manusia?” “Darimanakah itu Syekh? Saya kira Syekhlah yang lebih tahu.” ujar Kebo Benowo. “Manusia berasal dari Allah. Dari dzat Allah yang menciptakannya. Seluruh manusia yang belum lahir kedunia ini berada pada suatu tempat yang bernama ‘bahrul hayat’.” berhenti sejenak. “Apakah itu, Syekh?” tanya Kebo Benowo. “Yaitu tempat hidup dan kehidupan. Disitu manusia merasakan kenikmatan yang tidak ada taranya. Manusia tidak pernah merasakan lapar, sakit, sedih, duka, lara, bahkan bahagia. Itu karena sangking nikmatnya kehidupan sebelum lahir ke dunia. Kita merasakan penderitaan, kesedihan, kemiskinan dan sebangsanya karena telah terlahir ke dunia ini. Bukankah sebelumnya kita tidak pernah merasakan penderitaan dan kemiskinan…” urai Syekh Siti Jenar. Para murid Syekh Siti Jenar sejenak merenungkan uraian gurunya. Mereka ada yang bisa mencerna dan memikirnnya, namun ada juga yang belum memahami maksud uraian tadi. “Jadi dunia ini tempatnya kita menjalani kesedihan, kemiskinan, kemelaratan, penderitaan, tertawa, bergembira. Setelah semuanya secara berurutan atau tidak kita alami, maka kembali berputar. Setelah sedih kita akan bahagia, setelah bergembira kita akan menangis….dan seterusnya.” Syekh Siti Jenar memandang ke setiap sudut. ——————- “Jika demikian kehidupan dunia ini berbeda dengan alam asal muasal kita, yang didalamnya tidak pernah terasa kesedihan, tidak pernah pula setelah bergembira kemudian bersedih. Bukankah disana nyaris kita tidak pernah merasakan apa pun, Syekh?” ujar Kebo Benowo, seraya menatap wajah Syekh Siti Jenar yang memancarkan cahaya. “Benar. Alam asal muasal manusia adalah alam milik dzatnya. Sehingga kita pun berada didalam kenikmatannya. Berbeda dengan alam yang sedang kita jalani sekarang.” lanjut Syekh Siti Jenar, tangan kanannya tetap memegang tasbih, sementara tatapan matanya terus berputar. Waktu terus merangkak pelan, menggiring para murid Syekh Siti Jenar pada ajarannya. Mereka semakin khusuk mendengarkan, hati mulai terbuka akan segala hal yang sebelumnya tidak diketahui.
***
“Syekh, andika membawa ajaran Islam.
Padahal agama yang saya kenal sebelumnya adalah Hindu dan Budha.” ujar
Kebo Kenongo. “Namun stelah saya perhatikan ternyata inti dari ke tiga
agama tersebut memiliki kesaamaan.” “Benar, Ki Ageng Pengging.” ucap
Syekh Siti Jenar, matanya menatap tajam wajah lelaki yang masih
keturunan Majapahit. “Semua agama sebenarnya dari asal yang satu. Itulah
tadi yang saya uraikan.” “Saya paham dan tertarik untuk mengambil
kesamaan dari ke tiga ajaran tadi.” tambah Kebo Kenongo. “Hanya yang
membedakan agama-agama tadi adalah lelaku lahiryahnya saja.” “Benar, Ki
Ageng Pengging. Sebab hakikatnya sama, mencari yang namanya Sang
Pencipta, Sang Pemilik, Sang Maha Perkasa.” ujar Syekh Siti Jenar,
seraya jari jemari tangannya memberi gambaran simbol pada Kebo Kenongo.
“Kita hanya bisa merasakan nikmat saat bergumul dengan Dzat Yang Maha
Kuasa. Mungkin syariat dari ajaran Hindu dan Budha bersemadi, mungkin
orang Islam dengan tata cara berdzikir, berdoa, dan Shalat. Tapi semua
itu hanyalah bentuk pendekatan secara jasadiah saja, sedangkan batinnnya
tertuju pada Yang Maha Segalanya.” urai Syekh Siti Jenar. “Benar,
Syekh.” Kebo Kenongo sejenak memandang ke arah puncak gunung,
“Kenikmatan kita saat bersemadi ketika wujud kita telah menyatu
dengannya.” “Itulah Manunggaling Kawula Gusti.” terang Syekh Siti Jenar
pelan. Lalu bangkit dari duduknya, melangkah pelan menyusuri jalan
setapak di ikuti Kebo Kenongo menuju padepokan. “Mereka sedang
memperbincangkan apa di atas sana?” Loro Gempol melirik ke arah Kebo
Benowo yang sedang berdiri di halaman padepokan. “Kelihatannya sangat
serius.” “Apalagi yang mereka perbincangkan kalau bukan masyalah ilmu.”
jawab Kebo Benowo datar. “Mengapa mereka kelihatannya khusuk dan serius.
Mungkinkah karena Syekh Siti Jenar berbincang-bincang dengan keturunan
Majapahit? Sehingga dia memperlakukan Ki Ageng Pengging lebih istimewa
dibandingkan dengan kita, mantan rampok.” tatapan mata Loro Gempol
tertuju kembali pada Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenongo, mereka sedang
menuruni bukit menuju padepokan. “Andika jangan berprasangka buruk,
Gempol!” Kebo Benowo memberi apalagi mengistimewakan satu dengan
lainnya. Hanya Syekh Siti Jenar akan mudah diajak berbincang-bincang
jika kita memahami yang dibicarakannya. Kita belum bisa dianggap selevel
dengan Ki Ageng Pengging. Karena kita latar belakangnya rampok dan
tidak pernah mengenal ajaran agama apalagi filsafat, sedangkan Ki Ageng
Pengging sudah mengenal agama-agama sebelum datang ajaran Syekh Siti
Jenar, ditambah lagi dia orang cerdas.” urai Kebo Benowo. “Mungkin
ya…mungkin tidak?” Loro Gempol menghentikan pembicaraannya, karena
mereka sudah mendekat. “Andika berdua memperbincangkan saya?” Syekh Siti
Jenar menatap Kebo Benowo dan Loro Gempol. Keduanya hanya mengangguk
dan selanjutnya menundukan kepala. Karena mereka baru menyadari kalau
Syekh Siti Jenar memiliki ilmu batin yang sangat hebat. “Tidak mengapa,
jika memang pertemuan saya dengan Ki Ageng Pengging menjadi bahan
perbincangan andika berdua.” ujar Syekh Siti Jenar enteng. “Andika pun
hendaknya bisa mencapai tahapan yang sedang kami perbincangkan.”
melanjutkan langkahnya, di belakangnya Kebo Kenongo mengiringi. “Inti
dari ajaran Manunggaling Kawula Gusti?” Kebo Kenongo memulai lagi
perbincangan, setelah beberapa langkah jauh dari Loro Gempol dan Kebo
Benowo. “Ya, ketika kita menyatu dengan Dzat Sang Pencipta, Allah.”
terang Syekh Siti Jenar. “Disitu terjadi penyatuan antara Gusti dan
abdinya. Setelah kita menyatu dengannya, apa masih perlu yang namanya
dzikir, shalat, ritual?” ——————- “Bukankah tujuan dari dzikir, shalat,
dan ritual itu untuk mendekatkan diri kita dengan Yang Maha Agung?”
timpal Kebo Kenongo. “Benar sekali Ki Ageng Pengging.” langkahnya
terhenti di tepi jalan, sejenak, lalu memandang awan yang berserak di
langit biru. “Jika kita sudah dekat apalagi menyatu dengannya masihkah
kita perlu melakukan upaya dan tata cara pendekatan?” “Tentu saja
jawabnya tidak.” Kebo Kenongo menatap keagungan sinar yang terpancar
dari wajah Syekh Siti Jenar. “Upaya pendekatan apalagi yang harus kita
lakukan, jika kita sudah melebihi dari dekat. Apa pun yang kita inginkan
bisa terwujud hanya dengan kalimatnya. Kun, jadi. Maka terjadilah!”
tambah Syekh Siti Jenar. “Namun ketika kita sudah berada pada tahapan
tadi, mana mungkin akan tertarik pula dengan urusan dunia dan seisinya.
Karena lebih nikmat didalam kemanunggalan tadi dibandingkan dengan dunia
dan segala isinya.” “Mungkin juga, Syekh.” Kebo Kenongo mengerutkan
dahinya, mencoba mencerna uraian Syekh Siti Jenar. “Untuk meyakinkan
segala hal yang saya katakan sebaiknya Ki Ageng Pengging mencobanya.”
saran Syekh Siti Jenar. “Saya sering melakukan semedi dan tapabrata,
Syekh. Namun yang dikatakan kemanunggalan kita dengan Sang Pencipta itu
di sisi mana?” tanya Kebo Kenongo. “Ketika wah’datul wujud.” Syekh Siti
Jenar menghela napas dalam- dalam. “Saya baru bisa menjelaskan lebih
mendalam jika Ki Ageng Pengging mencoba, lalu ada perbedaan dari
sebelumnya. Maka hal itu baru saya uraikan kembali menuju Manunggaling
Kawula Gusti. Sebab tidak mungkin saya mengurai sebuah persoalan jika
seandainya Ki Ageng tidak menjelaskan terlebih dahulu hal yang mesti
dibahas.” Saya paham maksud, Syekh.” Kebo Kenongo menganggukan kepala.
***
“Saya mendapat kabar tentang pesatnya
ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar.” ujar Sunan Bonang, duduk
bersila di hadapan Sunan Kalijaga. “Saya juga demikian, Kanjeng.” Sunan
Kalijaga mengamini. “Kenapa dia bisa berhasil dengan pesat dalam
penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Padahal dia bukanlah seorang
wali?” Sunan Giri menyela. ”Benar, Kanjeng. Penyebaran ajaran dengan
pesat di sini bukan berarti mayoritas, sebab Kanjeng Sunan Kalijaga pun
cukup berhasil dalam upaya ini.” terang Sunan Bonang. “Tidak lupa pula
para wali yang lain.” ”Bukankah kita pun sebagai para wali telah
menyisir seluruh pulau Jawa dalam upaya penyebaran ajaran Islam?” ujar
Sunan Giri. Sunan Bonang menatap Sunan Kalijaga, berbicara melalui
batinnya. ’Bukankah maksud kita bukan urusan pesatnya penyebaran yang
akan dibicarakan. Tetapi tentang isi ajaran yang disampaikannya.’
‘Itulah yang membuat saya khawatir, Kanjeng Sunan Bonang. Namun
mudah-mudahan yang kita khawatirkan itu tidak..’ “Kenapa andika berdua
terdiam?” Sunan Giri menatap Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. “Ada apa?”
”Tidak, Kanjeng Sunan Giri. Kita hanya memaklumi saja kemampuan seorang
rakyat jelata seperti Syekh Siti Jenar mampu mengembangkan dan menyebar
luaskan ajarannya. Itu yang sedang kami renungkan.” terang Sunan
Bonang. “Tetap saja pesatnya ajaran yang dia bawa penyebarannya tidak
akan seluas para wali, termasuk pengaruh dan wibawanya. Mungkin hanya
sekelompok kecil saja yang kemungkinan terserak di pelosok Negeri Demak
Bintoro.” ujar Sunan Giri. “Namun itu bukan sebuah persoalan selama dia
tidak menyimpang dari aturan para wali.” ‘Apa boleh buat, justru itulah
nantinya akan menuai persoalan.’ batin Sunan Bonang. ——————- ‘Namun
biarlah waktu yang menjawab, Kanjeng. Sebab kita tidak mungkin bisa
merubah alur kehidupan yang akan terjadi. Bukankah kita hanya sebatas
mengetahui dengan keterbatasan ilmu kita, Kanjeng.’ urai Sunan Kalijaga
dengan bahasa batinnya.
***
Prajurit Demak yang pernah berhadapan
dengan Syekh Siti Jenar, si Kerempeng dan si Tambun sedang
berbincang-bincang di bawah pohon beringin menunggu giliran berjaga di
gerbang alun-alun Demak Bintoro. “Syekh Siti Jenar ternyata temannya
para wali.” ujar si Tambun. “Namun apakah dia juga termasuk salah
seorang wali di antara wali songo?” matanya menatap si Kerempeng.
“Tanyakan saja pada Kanjeng Sunan Kalijaga. Jangan pada saya!” jawab si
Kerempeng tinggi. “Tapi jika melihat kesaktian dan kehebatan ilmunya
saya yakin bahwa dia masih termasuk wali.” si Tambun mengerutkan
dahinya, coba menebak-nebak. “Buktinya dengan Sunan Kalijaga sangat
akrab, terkadang bicara melalui tatapan matanya. Tentang pembicaraannya
tidak kita pahami.” “Andika sepertinya tertarik oleh Syekh Siti Jenar,
Gendut?” si Kerempeng berdiri. “Benar,” jawab si Tambun tenang. “Saya
jadi ingin memiliki ilmunya.” “Kenapa mesti berguru pada Syekh Siti
Jenar yang tidak jelas asal usulnya? Bukankah Kanjeng Sunan Kalijaga
juga sangat sakti dan beliau jelas asal usulnya.” terang si Kerempeng.
“Ya, tetapi tidak mudah untuk mendapatkan ilmu dari para wali tanpa
melalui tahapan-tahapan yang berat.” ujar si Tambun. “Apa bedanya dengan
Syekh Siti Jenar?” si Kerempeng menyandarkan punggung ke pohon
beringin. “Jelas beda. Kalau Syekh Siti Jenar sangat mudah memberikan
ilmu,” tambah si Tambun. “Tahu dari mana?” si Kerempeng penasaran. “Itu
dugaan saya.” jawab si Tambun. “Lha, baru menduga-duga. Saya kira sudah
tahu dan yakin.” ucap si Kerempeng. “Meskipun hanya berupa dugaan tapi
saya yakin.” si Tambun membetulkan penutup kepalanya. “Jika Syekh Siti
Jenar sangat mudah memberikan ilmu. Makanya ingin membuktikannya, kalau
tahu tempat tinggalnya atau padepokannya akan saya datangi.” jelas si
Tambun seraya mengangkat tombak, langkah kakinya pelan menuju gerbang
alun-alun Demak Bintoro untuk melaksanakan tugas mengganti yang lain.
“Cari saja kalau mau!” ujar si Kerempeng melangkah dibelakangnya. “Saya
rasa mudah mencari tempat tinggal orang sakti seperti Syekh Siti Jenar.
Tentu orang-orang Demak Bintoro pada kenal seperti halnya para wali.”
sama-sama menuju gerbang alun-alun. “Pasti.” si Tambun
mengangguk-anggukan kepala. “Karena dia salah seorang dari wali, hanya
saja tidak termasuk wali sembilan. Mungkin karena tidak tinggal di pusat
kota Demak Bintoro. Mungkin juga dia punya tugas lain di pedesaan dalam
penyebaran agama Islam?” langkahnnya terhenti tepat di depan gerbang
alun-alun Demak Bintoro. “Kenapa andika punya dugaan, bahwa Syekh Siti
Jenar seolah-olah ditugaskan menyebarkan ajaran Islam di Pedesaan?”
tanya Si Kerempeng. “Pertama karena dia jarang berkumpul di dalam masjid
Demak. Keduanya dia sangat terlihat akrab dengan Kanjeng Sunan Kalijaga
yang memilki kesaktian seimbang dengannya.” terang si Tambun. “Bisa
jadi?” si Kerempeng mengerutkan dahinya. “Namun meskipun Kanjeng Sunan
Kalijaga orang sakti tapi pembicaraannya tentang agama bisa dipahami
oleh kita, berbeda dengan Syekh Siti Jenar yang kadang-kadang ucapannya
membingungkan kita?” ——————- “Itulah bedanya Kanjeng Sunan Kalijaga
dengan Syekh Siti Jenar.” ujar si Tambun, berdiri tegak sambil memegang
tombak. “Maksud andika?” “Kalau belajar dengan Kanjeng Sunan Kalijaga
untuk sampai pada tahap atas harus bertahap, tidak bisa langsung.
Sedangkan Syekh Siti Jenar bisa loncat pada tingkatan yang kita
inginkan, buktinya dia berbicara yang tidak bisa kita pahami, berarti
sudah bisa loncat.” si Tambun mencoba menerangkan. “Cerdas juga andika,
Gendut.” ujar si Kerempeng. “Saya yakin Kanjeng Sunan Kalijaga
mengajarkan dengan bertahap karena beliau melihat kemampuan orang yang
menerima. Sedangkan Syekh Siti Jenar tidak, makanya pembicaraannya
kadang-kadang melantur.” “Melantur itu menurut kita, karena kita ilmunya
masih rendah. Coba saja jika kita sudah berada pada tahapan atas
mungkin sangat paham pada setiap ucapan Syekh Siti Jenar.” bela si
Tambun. “Tida mungkin,” si Kerempeng mengerutkan dahinya. “Masa dia
pernah bilang kalau Allah itu punya empat prajurit? Bukankah Allah itu
punya para Malaikat? Kenapa mesti ada lagi prajurit, aneh bukan?”
tambahnya. “Justru itulah, kisanak.” si Tambun tersenyum. “Saya
penasaran dengan yang disebut empat prajurit Allah oleh Syekh Siti
Jenar. Siapakah itu? Dan mengapa prajurit Allah bisa diperintah juga
oleh Syekh Siti Jenar. Kalau saya memiliki ilmu seperti itu dan
menguasai prajurit Allah seperti dia tentu pangkat akan naik. Tdak lagi
jadi prajurit tapi jadi Raja…hahaha.” “Mengkhayal,” si Kerempeng
mencibir.
***
***
“Syekh, saya telah mencoba untuk menuju
‘manunggaling kawula gusti’.” Kebo Kenongo menghampar serban di
depannya. Lalu berdiri. “Andika sekarang akan shalat?” Syekh Siti Jenar
duduk bersila di sampingnya. “Bukankah andika telah mencoba menuju
maunggaling kawula gusti?” “Benar, namun saya belum sampai. Sekarang
saya akan shalat.” terang Kebo Kenongo. “Tujuan andika shalat?” Syekh
Siti Jenar tersenyum. “Bukankah shalat jalan kita untuk menuju
manunggaling kawula gusti, Syekh?” Kebo Kenongo mengerutkan dahinya.
“Bukan.” ujarnya pendek. Syekh Siti Jenar memutar tasbih seraya mulutnya
komat-kamit berdzikir. “Apakah harus berdzikir menuju maunggaling
kawula gusti, Syekh?” tanyanya kemudian. “Tidak juga.” jawab Syekh Siti
Jenar pendek. “Lantas, untuk apa shalat dan berdzikir?” kerutnya.
“Bukankah Syekh pernah mengatakan kalau semua itu upaya untuk
mendekatkan diri dengan Allah?” “Jika itu jawaban Ki Ageng Pengging
benar adanya.” Syekh Siti Jenar sejenak memejamkan mata, kemudian
membukanya lagi dan menatap Kebo Kenongo yang masih berdiri hendak
shalat. “Bukankah mendekatkan diri kepada Allah sama saja dengan menuju
manunggaling kawula gusti?” tanya Kebo Kenongo selanjutnya. “Tidak juga,
Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar. “Lantas?” “Manunggaling kawula gusti
sangat berbeda dengan mendekatkan diri kepada Allah.” terang Syekh Siti
Jenar. “Perbedaannya?” keningnya semakin berkerut. “Karena yang namanya
dekat berbeda dengan manunggal. Manunggal bukanlah dekat. Dekat bukanlah
manunggal.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak. “Namun sekarang
sebaiknya Ki Ageng Pengging shalatlah dulu, berceritalah setelah selesai
mendirikannya.” tambahnya. “Baiklah, Syekh.” Keadaan di padepokan Syekh
Siti Jenar sore itu terasa segar. Panas matahari tidak menyengat
seiring dengan bayang-bayang manusia yang kian meninggi. ——————- Udara
pegunungan terasa sejuk, pepohonan dan tumbuhan berdaun lebat menambah
suasana asri. Padepokan yang ditata sedemikian rupa menambah khusuk para
pencari ilmu. “Syekh…” Kebo Kenongo mendekat, “Shalat saya sudah
selesai.” “Baiklah,” Syekh Siti Jenar bangkit dari duduknya, “Apa yang
andika rasakan saat shalat?” “Tidak ada.” “Tidakah merasakan sejuknya
udara pegunungan? Tidakkah andika melihat kain serban yang terhampar di
tempat sujud?” lanjut Syekh Siti Jenar. “Tidak,” jawab Kebo Kenongo.
“Tidakkah andika mendekati Allah?” tanyanya kemudian. “Saya tidak
merasakannya. Tidak pula menjumpainya.” ujar Kebo Kenongo. “Mungkin
shalat saya terlalu khusuk.” Syekh Siti Jenar menengadah ke langit, lalu
duduk bersila di atas rumput hijau yang dihampari tikar pandan.
Gerak-geriknya tidak luput dari pandangan Kebo Kenongo. “Lihatlah!”
kedua tangannya ditumpuk di bawah dada. Tiba-tiba tubuhnya mengangkat
dari tikar yang didudukinya dengan jarak satu jengkal, dua jengkal, satu
hasta, dua depa. “Apa yang terjadi, Syekh?” Kebo Kenongo garuk-garuk
kepala, keningnya berkerut-kerut. “Ini hanyalah bagian terkecil akibat
dari pendekatan dengan Allah…” dalam keadaan melayang, matanya menatap
tajam ke arah Kebo Kenongo. “Hasil pendekatan? Jadi bukan manunggaling
kawula gusti?” dengan menahan kedip Kebo Kenongo bertanya. “Saya belum
menerangkan tentang manunggaling kawula gusti. Namun kita tadi berbicara
tentang upaya pendekatan…” terang Syekh Siti Jenar, perlahan menurukan
kaki satu persatu hingga akhirnya kembali menyentuh tanah. “Dengan jalan
shalatkah?” tanya Kebo Kenongo. “Bukankah saya tadi waktu shalat tidak
menemukan apa pun, bahkan tidak bisa melakukan seperti yang Syekh
perlihatkan.” “Jangan salah ini bukan shalat! Namun shalat adalah salah
satu upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Shalat tadi merupakan
syari’at bagi pemeluk Islam, juga ibadah bagi hamba atau abdi Allah.
Maka hukumnya wajib.” urai Syekh Siti Jenar, “Namun ketika orang belum
lagi menemukan hakikat dari shalat, itulah seperti yang Ki Ageng
Pengging rasakan.” “Hampa.” desis Kebo Kenongo, seraya menatap Syekh
Siti Jenar dengan penuh kekaguman. “Kebanyakan orang adalah seperti itu,
Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar melangkah pelan. “Jika demikian
saya baru berada pada tahapan syari’at. Bisakah saya menemukan hakikat
yang dimaksud oleh Syekh Siti Jenar?” Kebo Kenongo seakan-akan
kehilangan gairah. “Hakikat menuju pada pendekatan sebelum manunggaling
kawula gusti, maka seperti yang pernah saya jelaskan pada Ki Ageng. Kita
meski berbeda agama namun bukanlah andika harus memaksakan syari’at
ajaran yang saya miliki untuk Ki Ageng kerjakan. Karena kebiasaan andika
adalah bersemadi. Bukankah dengan cara itu andika merasakan hal yang
berbeda, terutama dalam upaya pendekatan.” Syekh Siti Jenar kembali
mengurainya. ——————- “Benar, Syekh.” sejenak Kebo Kenongo merenung.
***
“Syekh, maafkan kami menghadap.” ujar
Kebo Benowo dan dua temannya. “Katakanlah!” Syekh Siti Jenar menatap
Kebo Benowo dan teman-temannya. “Kalau boleh, saya menginginkan ilmu
yang Syekh miliki. Namun hendaknya Syekh tidak marah terhadap permintaan
saya.” Kebo Benowo dengan nada pelan. “Jika seandainya saya memiliki
ilmu maka tidaklah keberatan untuk memberikan. Sudah sepatutnya ilmu itu
diamalkan.” jawab Syekh Siti Jenar. “Ilmu jika semakin sering diamalkan
dan diajarkan maka akan semakin bertambah. Namun sebaliknya jika ilmu
itu tidak pernah diamalkan (dibagikan) apalagi kikir untuk
mengajarkannya, secara perlahan akan hilang dari diri kita. Hendaklah
tidak ditukar dengan emas atau uang, apalagi dijual belikan, kalau tidak
ingin hilang hakikatnya.” urainya kemudian. “Ya, Syekh. Jadi kalau
begitu saya bisa memohon kepada Syekh untuk diajari ilmu.” Kebo Benowo
semeringah kegirangan. “Ternyata Syekh sangatlah baik, berbeda dengan
orang-orang yang memiliki ilmu tinggi lainnya. Mereka selalu meminta
imbalan, kalau tidak berupa tumbal.” “Apa yang andika inginkan dari
ketidaktahuan saya?” tanya Syekh Siti Jenar. “Syekh selalu merendah.
Saya menginginkan ilmu untuk bertarung, dan ilmu untuk mengubah daun
menjadi emas.” ujar Kebo Benowo. “Bukankah andika sudah jago bertarung?
Mengapa mesti saya yang mengajari?” Syekh Siti Jenar membetulkan
duduknya. “Untuk apa bisa mengubah daun menjadi emas?” “Dalam urusan
bertarung secara fisik saya bisa. Namun saya masih kalah dengan ilmu
Syekh waktu bertarung saat itu.” Kebo Benowo menelan ludah. “Juga jika
saya bisa mengubah daun menjadi emasmaka saya akan menjadi orang kaya
raya seantero negeri Demak Bintoro.” “Baiklah, pelajarilah itu.” ujar
Syekh Siti Jenar. “Bagaimana cara mempelajarinya?” tanya Kebo Benowo
mengerutkan keningnya. “Dekatkanlah diri andika pada Sang Pencipta,
niscaya apa pun yang andika inginkan akan terkabul. Karena Sang
Penciptalah yang memiliki segalanya.” terang Syekh Siti Jenar. “Caranya
itu yang susah, Syekh. Harus bagaimana?” ——————- “Banyak cara untuk
menuju Allah. Laksanakanlah itu, baru andika akan bisa. Mintalah apa
yang andika inginkan.” terang Syekh Siti Jenar. “Saya tidak mengerti dan
paham, Syekh.” Kebo Benowo garuk-garuk kepala. “Saya ingin langsung
bisa tanpa harus melalui tahapan rumit yang Syekh sebutkan. Mustahil
Syekh tidak bisa memberikannya.” “Tidak mustahil bagi Allah. Jika memang
Dia menghendaki. Jadi, maka jadilah.” ujar Syekh Siti Jenar. “Saya
sudah bisa?” Kebo Benowo bangkit dari duduknya, lalu memetik selembar
daun basah dan diusapnya dengan kedua telapak tangan. “Wahhh…benar-benar
hebat ilmu yang Syekh berikan. Saya sudah bisa mengubah daun menjadi
emas. Terimakasih Syekh!” berjingkrak-jingkrak kegirangan. “Saya juga,
Syekh?” Loro Gempol bangkit dan mencabut golok dari sarungnya, “Lego
Benongo, babatlah tubuh saya dengan golok ini. Cepat!” menyodorkan golok
pada temannya. “Baik, bersiaplah!” tanpa ragu-ragu lagi Lego Benongo
membabatkan golok pada Loro Gempol yang berdiri tegak.
“Hiaaaaaaattttt….!!!” “Hebat, benar-benar hebat.” Loro Gempol ternyenyum
bahagia, ketika tubuhnya dibabat oleh Lego Benongo tidak merasakan apa
pun bahkan seperti membabat angin. “Sudah, Benongo. Cukup!” lalu duduk
bersila dihadapan Syekh Siti Jenar. “Itu yang kalian inginkan. Sudah
saya berikan.” Syekh Siti Jenar menggenggam tasbih dengan tangan
kirinya. “Terimakasih, Syekh. Syekh telah mengajarkan dan mengamalkan
ilmu kepada kami semua dengan satu kalimat, hingga keinginan kami
tercapai.” Kebo Benowo tampak senang, begitu juga temannya. “Kami tidak
akan pernah melupakan jasa baik Syekh, yang telah kami anggap sebagai
guru. Untuk itu izinkanlah kami pulang kampung.” “Kembalilah, karena
hanya itu yang kalian ingin raih.” Syekh Siti Jenar masih dalam keadaan
bersila, terdengar mulutnya komat-kamit membacakan dzikir, sambil
memutar tasbih. Perlahan-lahan tubuhnya samar dari pandangan Kebo Benowo
dan temannya. Hingga akhirnya tidak terlihat. “E..eh, menghilang!” Kebo
Benowo menggosok-gosok kedua matanya, begitu juga ke dua temannya.
“Aneh, kemana beliau?” “Ya, hebat.” Loro Gempol memutar matanya menatap
ke segala arah, menyisir keberadaan Syekh Siti Jenar, “Benar-benar
lenyap.” “Tidak jadi soal. Karena apa yang kita inginkan telah kita
peroleh. Disamping itu kita pun sudah meminta izin untuk kembali ke
kampung. Menghilangnya Syekh Siti Jenar berarti merestui kita semua.
Mari kita turun dari padepokan ini!” Kebo Benowo bangkit dari duduknya,
diikuti temannya. Mereka pun turun dari padepokan menuju kampungnya.
***
“Kalian orang-orang miskin! Sebaiknya
tunduk dan takluk pada saya.” Loro Gempol berkacak pinggang di hadapan
orang-orang yang berbondong-bondong menuju tempa sabung ayam. “Keparat!
Apa maumu?” Joyo Dento pemimpin kelompok sabung ayam “Masa andika tidak
mendengar? Bukankah saya menyuruh andika dan kawan-kawan agar tunduk!?”
Loro Gempol dengan sorot mata meremehkan. “Tunduk? Jangan harap,
keparat!” Joyo Dento mencabut keris dari sarungnya. “Memangnya andika
seorang senapati? Enak saja.” “Hahaha…ternyata andika punya keberanian
Joyo Dento?” Loro Gempol tidak bergeming melihat ketajaman ujung keris
yang terhunus. “Kawan-kawan, habisi dia!” perintah Joyo Dento pada
temannya. “Majulah kalian semua! Buktikan kehebatan kalian jika memang
sanggup membunuhku…hahaha!” Loro Gempol tertawa renyah. “Matilah andika
keparat!” Joyo dento menyodokan keris ke arah uluhati. Diikuti empat
orang temannya, menyodok perut, membabat leher, punggung, kepala, dan
kaki. “Hahahaha….hanya ini kemampuan kalian!” Loro Gempol menanatang.
“Ayo teruskan…hahaha!” sedikit pun tidak beranjak dari tempatnya
berdiri. Membiarkan lawan melakukan serangan. “Gila?” Joyo Dento
menghentikan gerakan, tenaganya merasa terkuras. Begitu pula
teman-temannya. “Ilmu apa yang dimiliki si Loro Gempol? Rampok kampungan
ini mendadak punya kesaktian yang luar biasa. Seluruh senjata yang kita
gunakan untuk mecabik-cabik tubuhnya, laksana menghantam angin?”
mengerutkan keningnya. “Percaya kalian sekarang dengan kesaktian saya?”
Loro Gempol dengan tangan kiri berkacak pingging, tangan kanannya
memutar kumis. “Darimana andika punya ilmu sihir?” tanya Joyo Dento.
——————- “Hahaha…ini bukan ilmu sihir bodoh! Tapi ilmu miliknya orang
sakti yang berasal dari Sang Pencipta Alam Semesta.” ujar Loro Gempol.
“Percaya kalian sekarang pada saya? Jika percaya dan tidak punya lagi
keberanian sebaiknya jadi pengikut saya! Tunduk pada saya!” “Mana
mungkin saya harus tunduk pada andika? Sedangkan saya belum andika
kalahkan.” tantang Joyo Dento. “Jadi kalian mau saya musnahkan ketimbang
tunduk pada saya?” Loro Gempol menghunus goloknya. “Sebaiknya kita
ikuti saja keinginannya.” ujar teman Joyo Dento, meringis ketakutan.
“Benar, Kang. Sebaiknya kita jadi pengikutnya saja ketimbang dihabisi.”
bisik yang lainnya. “Benar juga. Ketimbang kita mati mengenaskan.” jawab
Joyo Dento, seraya kakinya mundur beberaba langkah. “Ayo pikirkan
sekali lagi! Saya masih memberi kesempatan pada kalian. Pilih mati atau
jadi pengikut saya?” ujar Loro Gempol sembari menyilangkan golok di
depana dadanya. “Kami menyerah saja, Ki.” ujar Joyo Dento serempak.
“Hahaha…bagus. Kenapa tidak dari tadi kalau mau menyerah, untung saja
golok ini belum bersarang pada leher kalian.” Loro Gempol kembali
menyarungkan goloknya. “Ikutlah kalian ke tempat saya.”
***
“Syekh, ternyata saya lebih bisa
merasakan mendekati Sang Pencipta dengan cara bersemadi.” Kebo Kenongo
melangkah pelan di samping Syekh Siti Jenar. “Karena Ki Ageng Pengging
sudah terbiasa dengan cara itu.” ujar Syekh Siti Jenar pandangannya
tertunduk ke ujung kaki. “Benar, seperti Syekh sampaikan. Cara
pendekatan dan kebiasaan ternyata tidak mudah untuk dirubah. Namun
ketika kita menggunakan jalan yang berbeda ternyata memiliki tujuan
sama.” Kebo Kenongo menghela napas dalam-dalam. “Kenapa? Ya, karena
itulah yang disebut manunggal. Satu.” terang Syekh Siti Jenar,
menghentikan langkahnya seraya matanya menatap puncak gunung yang
berkabut. “Benar, Syekh. Orang melakukan tata cara dan ritual dalam
wujud pisik yang berbeda namun tujuannya tetap satu. Sang Pencipta.”
tambah Kebo Kenongo. “Satu harapan untuk mendapatkannya. Mendekatkannya,
meraihnya, dan manunggal.” terang Syekh Siti Jenar. “Namun belum
manunggaling kawula gusti, yang akhirnya wahdatul wujud.” “Lantas?”
“Mereka mendekatkan diri kepadanya bukan untuk tujuan manunggal, tetapi
untuk mengajukan berbagai macam permohonan dan keinginan. Karena mereka
lebih mencintai urusan lahiriyah yang cenderung duniawi ketimbang urusan
alam kembali, akhirat.” Syekh Siti Jenar melirik ke arah Kebo Kenongo.
“Bukankah ada juga orang yang tidak terlalu tertarik pada urusan
lahiriyah saja? Namun mereka menginginkan kesempurnaan hidup dan masuk
dalam tahap akrab dengan Sang Pencipta?” kerut Kebo Kenongo, tatapannya
mendarat pada wajah Syekh Siti Jenar yang bercahaya. “Itulah yang
jumlahnya sangat sedikit, Ki Ageng Pengging.” lalu Syekh Siti Jenar
memberi isyarat dengan jari jemari tangannya. “Kecenderungan orang
melakukan pendekatan pada Allah karena mengharapkan sesuatu, atau orang
tadi dalam keadaan susah. Ketika mereka merasa senang dan bahagia,
lupalah kepadanya.” “Mengapa, Syekh?” ——————- “Karena tujuan pendekatan
mereka untuk meraih dan memohon kebaikan lahiriyah saja.” terang Syekh
Siti Jenar. “Ketika merasa sudah terkabul keinginannya, kemudian
melupakan Allah.” “Bukankah tidak semua orang seperti itu, Syekh?” tanya
Kebo Kenongo. “Tidak, hanya hitungannya lebih banyak.” Syekh Siti Jenar
melipat jari jemarinya. “Sangat sedikit orang yang punya kecenderungan
untuk mengikat keakraban dengan Sang Pencipta. Padahal tahap terkabulnya
permohonan mereka bukan karena akrab, tapi dalam upaya mendekat dan
kemahamurahannya saja. Jika seandainya mereka sudah merasa akrab dan
berada dalam keakraban tidak mungkin melepas ikatannya semudah itu.”
urainya. “Jika sudah akrab saya kira tidak mungkin orang untuk menjauh.
Karena untuk mengakrabi perlu upaya mendekatan yang memerlukan waktu
tidak sebentar.” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepala. “Ya, maka
tahap akrab dengan Allah itulah ketika orang dalam keadaan ma’rifat.
Ketika kita tidak memiliki lagi garis pemisah untuk saling bertemu.
Kapan pun, dimanapun, tidak ada lagi sekat-sekat dan ruang kosong
sebagai jeda untuk mengakrabinya.” Syekh Siti Jenar menghela napas
dalam-dalam. “Ya, ya, benar, Syekh.” Kebo Kenongo berkali-kali
mengangguk-anggukan kepalanya. “Nah, pada tahap akrab itulah kita
meminta apa pun tidak mungkin tertolak. Mana ada keakraban tanpa adanya
keterikatan kasih sayang?” Syekh Siti Jenar perlahan melangkah lagi.
“Tentu, Syekh. Saya sangat paham.” Kebo Kenongo terkagum-kagum dengan
uraian Syekh Siti Jenar. “Keakraban dengan Allah tidak mudah. Namun
ketika kita sudah berada dalam lingkarnya tidak mudah pula untuk
melepas.” Syekh Siti Jenar berdiri mematung di bawah pohon kenanga.
“Benar, meski saya pun dengan susah payah mendekat untuk meangkrabinya
belum juga sampai. Karena upaya saya bukan hanya untuk mendekat dan
mengajukan berbagai permohonan. Namun ingin mengakrabinya.” ujar Kebo
Kenongo. “Jika dalam keadaan sangat akrab bukankah tidak memohon pun
akan diberinya?” “Ya,” ujar Syekh Siti Jenar. “Berjuanglah dan
bergeraklah ke arah sana. Jika sudah tercapai, keinginan lahiryah pun
secara perlahan tidak lagi menjadi persoalan yang sangat istimewa. Itu
semua dirasakan hanyalah sebagai pelengkap lahiryah saja. Sebagai syarat
hidup.” ——————- “Benar, Syekh.” Kebo Kenongo kembali mengiringi langkah
Syekh Siti Jenar. “Padahal tidak hanya Raden Patah yang memiliki darah
biru dan sekarang menjadi Penguasa Demak Bintoro. Saya pun masih
keturunan Majapahit. Namun saya tidak punya hasrat sedikit pun untuk
menjadi penguasa. Tujuan saya bukan itu, tetapi seperti Syekh terangkan
tadi.” “Keinginan lahiryah itulah yang memenjarakan kita menuju
ma’rifat. Ruang kosong, antara, jarak, jeda, pemisah, yang merintangi
keakraban kita dengan Sang Pencipta.” terang Syekh Siti Jenar.
“Perintang tadi berupa semua keinginan lahiryah yang distimewakan oleh
nafsu keduniawian, karena ingin berkuasa, ingin kekayaan, dan banyak
keinginan. Itu semua yang dinomor satukan. Lahirnya keserakahan.” “Jika
itu yang masuk ke dalam jiwa dan pikiran, hati ini akan terasa gelap.”
ujar Kebo Kenongo. “Mana mungkin menuju akrab untuk mendekat pun kita
harus mencari cahaya jika tidak tentu membabi buta.” “Nah, itulah
penggoda manusia untuk meraih keakraban dengan Allah. Jernihkan hati,
tenangkan jiwa, damaikan gejolak nafsu, merupakan upaya untuk membuka
jalan keakraban.” tambah Syekh Siti Jenar. “Manusia terkadang sangat
sulit menyusuri jalan yang penuh dengan godaan tadi. Karena dalam
dirinya memiliki nafsu yang sangat sulit untuk dikendalikan. Itulah
upaya perjuangan menuju keridloannya. Menuju akrab pada Allah. Terkadang
manusia hanya sebatas berucap dibibir, bahwa dirinya telah akrab tetapi
dalam kenyataannya tidak. Lalu mengakui bahwa saya telah ma’rifat.
Sebenarnya ma’rifat bukan sebuah pengakuan, tetapi realitas dalam
tahapan akrab. Terbelenggulah dengan ikatan kata-kata.” “Ya.” Kebo
Kenongo menghentikan langkahnya seiring dengan Syekh Siti Jenar. “Adakah
perbedaan antara ma’rifat dengan akrab? Atau memang sama ma’rifat
adalah akrab, sedangkan akrab adalah ma’rifat?” tanyanya kemudian.
“Orang yang sudah ma’rifat tentu akrab. Orang yang sudah akrab tentu
sudah ma’rifat.” terang Syekh Siti Jenar, jubahnya yang berwarna hitam
berlapis kain merah tersibak angin pegunungan. “Ma’rifat itu sendiri?”
kerut Kebo Kenongo. “Tahu, Mengetahui.” berhenti sejenak. “Namun tidak
cukup itu, tentu saja harus diurai dengan maksud dan makna yang terarah.
Mengetahui tentang apa? Tahu tentang apa? Tentu saja tentang dirinya
dan Tuhannya. Bukankah terkait dengan makna akrab. Sehingga ada istilah
kalau ingin mengenal Gustimu, Allahmu, maka harus mengenal dirimu
sendiri.” Lanjut Syekh Siti Jenar. “Saya pernah mendengar, Syekh.” Kebo
Kenongo merenung. “Bukankah Tuhan itu lebih dekat dari pada urat leher
dan lehernya, bola mata putih dengan hitamnya?” “Tentu,” Syekh Siti
Jenar melirik ke samping. “Namun itu sifatnya umum. Tidak masuk ke dalam
makna akrab. Bahkan ma’rifat juga mungkin tidak.” “Bukankah untuk
menuju ma’rifat pun tidak mudah, Syekh? Tetapi ada tahapannya, yaitu
Syariat, hakikat, tharikat, dan akhirnya ma’rifat.” ujar Kebo Kenongo.
——————- “Harusnya demikian.” Syekh Siti Jenar memutar lehernya seiring
dengan tatapan matanya, tertuju ke puncak pegunungan. “Bukan berarti
orang harus memahami tahapan tadi. Karena tanpa memahami tahapan tadi
pun orang bisa berada dalam tingkat ma’rifat, disadari atau diluar
kesadarannya. Sebab tidak semua orang wajib tahu tentang sebuah istilah,
yang penting adalah sebuah pencapaian, lantas bisa merasakannya.”
“Bukankah istilah tadi hanya ada dalam agama Islam yang dianut Syekh
sendiri.” tambah Kebo Kenongo. “Sedangkan dalam agama yang saya pahami
tentu saja punya nama yang berbeda.” “Benar,” timpal Syekh Siti Jenar.
“Namun tetap maksudnya sama. Hanya sebutannya saja yang berbeda.
Sehingga saya tadi mengurai seperti itu.” “Ya.” Kebo Kenongo
menganggukkan kepala. *** “Ki, saya sudah berhasil mengumpulkan
orang-orang untuk dijadikan pengikut kita.” ujar Loro Gempol menjatuhkan
patatnya di atas kursi rotan. “Saya juga sama, Ki.” timpal Lego
Benongo. “Mau kita apakan mereka, Ki?” “Menurut kalian?” Kebo Benowo
balik bertanya. “Ki, bukankah andika masih keturunan dari raja-raja yang
ada di tanah Jawa?” Loro Gempol menatap wajah Kebo Benowo. “Siapa
turunan raja? Raja rampok yang andika maksud?” Kebo Benowo tersenyum.
“Kenapa andika pun berbicara seperti itu, Gempol?” “Maksud saya, tidak
lain mengumpulkan banyak pengikut tidak untuk dijadikan rampok, tapi
mereka kita jadikan prajurit yang tangguh.” terang Loro Gempol. “Jadikan
prajurit? Memang andika mau mengadakan pemberontakan pada raja Demak
yang sah?” tatap Kebo Benowo. “Benar, rajanya andika, Ki.” Loro Gempol
menganggukan kepala. “Saya jadi patih, sedangkan Lego Benongo sebagai
Senapati. Joyo Dento kita angkat sebagai Panglima.” terangnya. “Andika
ini tidakkah sedang bermimpi disiang bolong, Gempol.” Kebo Benowo
terkekeh. “Mengapa bertanya seperti itu, Ki?” Loro Gempol mengerutkan
dahinya. “Bukankah andika layak menjadi seorang raja. Kita sudah banyak
pengikut. Kita punya kesaktian dan uang, yang belum kita miliki adalah
kekuasaan dan wilayah, karena saat ini sedang dikuasai Demak. Tidak ada
salahnya jika Raden Patah kita taklukan, berada dalam perintah kita.”
urainya. “Gempol, andika jangan berpikir terlampau jauh.” Kebo Benowo
bangkit dari duduknya. “Kenapa aki selalu berbicara seperti itu.
Tidakkah aki yakin pada kekuatan kita, bukankah banyak pengikut, bisa
menciptakan uang, dan ilmu yang tinggi.” Loro Gempol meninggi. “Bukan
demikian maksud saya, Gempol.” Kebo Benowo diam sejenak. “Meski kita
punya banyak pengikut, menciptakan uang dan emas, serta ilmu tinggi,
tentu saja semuanya tidak sebanding dengan kekuatan Penguasa Demak,
Raden Patah. Selain itu mereka memiliki para wali yang selalu
mendampingi dan memakmurkan masjid demak. Mereka semua memiliki ilmu
yang cukup tinggi, kita tidak ada apa-apanya dibanding mereka.” urainya.
“Benar juga ya, Ki.” Loro Gempol mengerutkan dahinya. “Namun untuk
menghadapi para wali bukankah kita punya guru yang hebat, Syekh Siti
Jenar, beliau bisa menghadapi para wali.” “Andika jangan berpikir
seperti itu, Gempol.” Kebo Benowo bangkit dari duduknya. “Karena Syekh
Siti Jenar bukan orang yang gila kekuasaan. Mana mungkin dia mau
melakukan pemberontakan dan meraih kekuasaan. Syekh Siti Jenar adalah
orang yang sangat bersahaja, tidak tertarik pada urusan duniawi apalagi
kedudukan dan kekuasaan. Beliau adalah ulama yang telah menyatu dengan
Sang Pencipta. Mustahil tertarik dengan hal-hal yang berbau lahiryah.
Karena menurut beliau kesenangan lahiryah hanyalah sekejap, yang paling
nikmat adalah ketika beliau berada dalam tahap manunggaling kawula
gusti. Bukan begitu? Tentu berbeda dengan kecenderungan kita.”
terangnya. “Baru terpikirkan, Ki.” Loro Gempol membetulkan duduknya.
“Namun aki sendiri apakah punya keinginan untuk meraih kekuasaan dan
menikmati kesenangan dunia?” ——————- “Tentu saja. Karena saya orang
biasa dan seperti halnya orang lain, punya ambisi. Sebab saya bukanlah
Syekh Siti Jenar.” ujar Kebo Benowo. “Namun seandainya kita memiliki
keinginan seperti andika jelaskan tadi tentunya harus dengan cara lain.”
“Cara lain?” Loro Gempol meletakan telunjuk di keningnya. “Ya, karena
jika ingin memberontak. Kita harus mengukur kekuatan pasukan kita, lalu
bandingkan dengan kekuatan Demak. Pikirkan pula tentang logistik kita
selama berperang, selain itu ilmu kadigjayaan kita sudah sejauhmana,
mungkinkah bisa mengalahkan para wali yang berilmu tinggi?” ujar Kebo
Benowo. “Benar juga, Ki.” Loro Gempol mengangguk-anggukan kepala.
“Itulah yang mesti kita pertimbangkan sebelum bertindak.” timpalnya.
“Kita haruslah berpikir matang jika tidak ingin mati sia-sia, seperti
halnya anai-anai menyambar api.” “Jika demikian harus bagaimana caranya,
Ki?” Loro Gempol menatap Kebo Benowo, seraya dahinya mengkerut. “Itulah
yang mesti kita pikirkan…” Kebo Benowo memijit dahinya. Keadaan hening
sejenak, pikiran mereka menerawang ke alam kejadian yang akan datang.
Berbagaimacam cara mereka olah dan cerna, demi tercapainya ambisi
kekuasaan.
***
“Lantas ketika Syekh melayang apa yang
terjadi?” tanya Kebo Kenongo. “Saya bisa melayang karena bisa mengatur
berat tubuh.” Syekh Siti Jenar menatap langit, “Lihatlah di sana, Ki
Ageng! Mengapa burung itu bisa beterbangan, lalu saling kejar di
ketinggian yang tidak bisa kita jangkau karena keterbatasan.” “Tapi
kenapa syekh sendiri bisa meloncati keterbatasan tadi?” “Sebenarnya
bukan saya bisa meloncati keterbatasan, namun kita bisa mengatur batas,
menjauh dan mendekatkan.” terang Syekh Siti Jenar. ——————- “Maksud
Syekh?” kerut Kebo Kenongo. “Samakah dengan yang saya dengar tentang
Isra Mi’rajnya Nabi Muhammad?” “Ya, namun berbeda.” “Maksudnya?” “Jika
Rasululah Isra Mi’raj dengan kehendak dan kekuasaan Allah. Sedangkan
saya tidak.” ujar Syekh Siti Jenar. “Saya kurang paham, Syekh?” Kebo
Kenongo memijit keningnya. “Ya, saya tidak bisa seperti Rasulullah.
Sebab saya bukan beliau…” terang Syekh Siti Jenar. “Namun saya bisa
menyatu dengan kekuatannya dan dzatnya. Hingga ketika saya menghendaki
berada di pusat Negeri Demak dengan sekejap itu bukan persoalan yang
mustahil.” tambahnya. “Benarkah itu, Syekh?” Kebo Kenongo semakin
mengkerutkan dahinya. “Jika Ki Ageng Pengging ingin bukti, maka tataplah
saya! Jangan pula Ki Ageng berkedip! Karena kepergian saya ke pusat
kota Demak Bintoro bagaikan kedip, kembali pun dihadapan Ki Ageng
seperti itu pula. Saya dari pusat Kota Demak Bintoro akan membawa
makanan segar.” usai berkata-kata, samarlah wujud Syekh Siti Jenar,
hingga akhirnya lenyap dari pandangan Kebo Kenongo. “Lha,” Kebo Kenongo
menggosok-gosok kedua matanya. “Benarkah yang sedang terjadi dan
kuperhatikan ini?” “Inilah makan segar dari pusat kota Demak Bintoro, Ki
Ageng.” “Lha, aih..aih..!” Kebo Kenongo terperanjat, ketika
dihadapannya Syekh Siti Jenar sudah berdiri kembali seraya menyodorkan
makanan hangat dengan bungkus daun pisang. “Itulah yang bisa saya
lakukan, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar, seraya duduk bersila di atas
hamparan tikar pandan, dihadapannya terhidang dua bungkus makanan hangat
yang beralaskan daun pisang. “Sekarang marilah kita makan alakadarnya.”
“Ya,” Kebo Kenongo hanya menjawab dengan anggukan. “Saya tidak sanggup
untuk memikirkannya, Syekh? Kenapa andika hanya dalam kedip pergi ke
pusat kota Demak Bintroro untuk mendapatkan hidangan makan pagi. Padahal
jika kita bejalan dari padepokan ini ke pusat kota Demak memakan waktu
satu hari satu malam?” ——————- “Benar, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti
Jenar mengangguk. “Namun bukankah kita tidak sedang berbicara tentang
perjalanan jasad?” “Maksud, Syekh?” “Ingatkah Ki Ageng Pengging ketika
saya pernah bercerita tentang Kanjeng Nabi Sulaiman AS.?” ujar Syekh
Siti Jenar. “Yang pernah Syekh baca dari ayat suci Alquran itu? Saya
agak lupa.” Kebo Kenongo menempelkan telunjuk didahinya. “Ketika Kanjeng
Nabi Sulaiman meminta kepada para pengagung negaranya untuk memindahkan
kursi Ratu Balqis ke istananya. Siapakah yang bisa memindahkan
singgasana Ratu Balqis dalam waktu yang sangat cepat, hingga jin Iprit
menyanggupi.” “Ya, saya ingat, Syekh.” Kebo Kenongo tersenyum. “Namun
bukankah Jin Iprit itu terlalu lama menurut Kanjeng Nabi Sulaiman,
karena dia meminta waktu saat Baginda Nabi bangkit dari tempat duduk
maka singgasana akan pindah…” “Benar, waktu seperti itu lama menurut
Kanjeng Nabi Sulaiman. Karena bangkit dari duduk memerlukan waktu
beberapa saat. Hingga berkatalah seorang ulama serta mengungkapkan
kesanggupannya, yaitu hanya sekejap. Kanjeng Nabi Sulaiman berkedip maka
Singgasana Ratu Balqis pun akan berhasil dia bawa. Hanya satu kedipan.”
terang Syekh Siti Jenar. “…dan terbuktilah kehebatan ulama tadi.” “Ya,
benar, Syekh.” ujar Kebo Kenongo, “Itulah ilmu Allah. Mana mungkin bisa
dicerna dan dipahami dengan keterbatasan berpikir manusia.” “Tidak semua
manusia seperti itu, Ki Ageng.” terang Syekh Siti Jenar. “Itulah
manusia kebanyakan, terkadang perkataannya dan pendalamannya dibidang
ilmu dangkal. Namun meski pun memiliki kedangkalan berpikir terkadang
dalam dirinya mencuat pula rasa angkuh dan sombongnya. Jika hal itu
terjadi maka akan gelap untuk meraba dan meraih yang saya maksud.”
——————- “Benar, Syekh. Hanya kejernihan berpikir dan menerima yang bisa
membukakan kebodohan dan kekurangan diri kita…” timpal Kebo Kenongo.
“Namun dalam uraian tadi apa yang membedakan kehebatan ilmu yang
dimiliki oleh Jin Iprit dan Ulama?” “Tentu saja sangat berbeda.” Syekh
Siti Jenar bangkit dari duduknya, seraya menatap langit. “Jin itu
makhluk gaib, tidak aneh bagi bangsa mereka terbang, melayang-layang di
angkasa, melesat secepat angin, menembus lubang sekecil lubang jarum,
bahkan merubah wujud berbentuk apa pun yang dikehendakinya.” “Bisa pula
tidak terlihat oleh manusia?” “Sangat bisa. Ya, karena memiliki sifat
ghaib itulah. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menembus alam
jin. Sebaliknya hanya jin tertentulah yang bisa menampakan diri pada
manusia.” terang Syekh Siti Jenar. “Sehebat apa pun bangsa jin tentunya
tidak bisa melebihi manusia.” “Bukankah pada zaman ini banyak pula
orang-orang yang memiliki ilmu jin bahkan mengabdikan diri, karena ingin
mendapat kesaktiannya.” timpal Kebo Kenongo. “Para dukun sakti saya
rasa tidak terlepas dari kekuatan dan kesaktian atas bantuan bangsa jin
yang dijadikan tuannya.” “Itulah kedangkalan berpikir manusia, Ki Ageng.
Mereka tidak melihat asal usul, jika manusia itu makhluk yang paling
mulia di banding yang lainnya. Termasuk jin.” “Jika demikian, Syekh.
Berarti kita harus menaklukan jin agar bisa memerintah mereka dan
memanpaatkan kekuatannya. Namun apa mungkin kita bisa menaklukan jin?”
“Kenapa tidak mungkin. Bukankah Kanjeng Nabi Sulaiman sendiri
prajuritnya terdiri dari bangsa jin, selain binatang dan manusia?” “Tapi
untuk menaklukan bangsa jin tentu saja ilmu kita harus di atas mereka,
Syekh?” “Tentu saja, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar. “Namun jika kita
sudah memiliki ilmu dan kesaktian sebetulnya menjadi tidak perlu
memiliki dan menaklukan jin. Karena kita bukan raja seperti Kanjeng Nabi
Sulaiman, yang memerlukan prajurit dan abdi setia. Untuk dijadikan
balatentara dan membangun negara, dengan arsitek-arsitek yang kokoh. Jin
dijaman Nabi Sulaiman di suruh menyelami laut untuk mengambil mutiara,
di suruh membangun keraton berlantaikan kaca yang membatasi kolam
dibawahnya.” “Meski bukan raja kita juga butuh prajurit pengawal,
Syekh?” “Saya rasa tidak perlu bangsa jin yang dijadikan prajurit
pengawal. Bukankah Kanjeng Nabi Muhammad juga tidak dikawal oleh bangsa
jin, namun selalu disertai oleh Malaikat Jibril kemana pun beliau
pergi.” “Lalu haruskah Kanjeng Nabi menundukkan Malaikat agar
mengawalnya? Sakti mana dengan jinnya Kanjeng Nabi Sulaiman?” “Tentu
saja Malaikat itu lebih sakti dari bangsa jin. Karena yang mencabut
nyawa jin juga Malaikat seperti halnya nyawa manusia. Kanjeng Nabi
Muhammad pun tidak perlu menundukan Malaikat, karena dengan sendirinya
Malaikat akan di utus oleh Allah untuk menyertai orang-orang shalih.
Apalagi Malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu Allah yang disampaikan
kepada Kanjeng Nabi Muhammad.” urai Syekh Siti Jenar. “Syekh sendiri
siapa yang mengawal?” “Karena saya manusia biasa, bukan nabi dan juga
keshalihannya tidak saya ketahui, entahlah. Mungkinkah Allah mengutus
Malaikat untuk mengawal atau tidak saya tidak tahu. Yang jelas saya
tidak dikawal oleh bangsa jin…” Syekh Siti Jenar kembali duduk bersila.
“Tapi kenapa Syekh memiliki kesaktian?” ——————- “Ya, itu sedikit ilmu
yang saya pelajari dari keMaha Besaran Allah. Mungkin yang mengawal saya
kemana pun pergi adalah ilmu yang saya miliki. Sehingga dengan ilmu itu
saya pun bisa memanggil prajurit Allah yang empat.” tambah Syekh Siti
Jenar. “Prajurit Allah?” kerut Kebo Kenongo. “Apakah para Malaikat?
Kalau di dalam agama saya para Dewa dan Hyang Jagatnata, penguasa
triloka.” ”Prajurit Allah bukan Malaikat. Saya tidak akan berbicara
tentang para Dewa.” berhenti sejenak, lalu tatapan matanya menyapu wajah
Kebo Kenongo. “Namun yang akan saya bicarakan prajurit Allah. Ingat
bukan Malaikat,” “Kenapa bukan Malaikat? Bukankah Malaikat bisa mencabut
nyawa manusia dan bangsa jin yang goib?” tanya Kebo Kenongo. “Meskipun
demikian Malaikat hanyalah makhluk Allah, tidak beda dengan kita. Hanya
yang membedakan kita dengan Malaikat, dia adalah goib. Malaikat memiliki
keimanan tetap dan tidak pernah berubah, berbeda dengan bangsa manusia
dan jin. Namun meski bagaimana pun tetap saja manusia makhluk yang
paling mulia, tetapi sebaliknya derajat kemulian yang diberikan Allah
kepada manusia akan lenyap. Bahkan manusia akan didapati sebagai makhluk
yang lebih rendah dan hina dibawah binatang.” urai Syekh Siti Jenar.
“Lalu prajurit yang dimaksud?” ”Yang dimaksud prajurit tentu saja
penyerang, penghancur, perusak, dengan segala tugas yang diembannya.”
“Mungkinkah mirip dengan Dewa Syiwa?” “Mungkin, Ki Ageng.” Syekh Siti
Jenar berhenti sejenak. “Sedangkan prajurit Allah yang empat disini pun
fungsi dan tugasnya untuk menghancurkan, merusak, dengan tujuan manusia
berbalik pada jalan lurus. Mengingatkan kekeliruan yang pernah diperbuat
oleh para khalifah bumi. Tujuannya tentu saja menyadarkan, jika yang
menedapatkan taufiq dan hidayah. Adzab dan siksa bagi mereka yang tidak
pernah mau bertobat dan kembali kepada jalan yang lurus.” “Lalu siapa
yang dimaksud dengan prajurit Allah yang empat tadi, Syekh?” ——————-
“Prajurit Allah yang empat itu diantaranya…” Syekh Siti Jenar
melangkahkan kakinya perlahan. “…pertama adalah angin. Lihatlah angin
yang lembut dan sepoi-sepoi, namun perhatikan pula jika angin itu mulai
dahsyat serta bisa memporak-porandakan bangunan sehebat apa pun,
menghancurkan pohon-pohon yang tertancap kokoh, menerbangkan segala hal
yang mesti diterbangkannya, bahkan menghancurkan sebuah kota atau
perkampungan. Lantas ketika angin mengamuk siapa yang bisa membendung
dan menghalang-halangi?” “Tidak ada, Syekh.” “Itulah kehebatan prajurit
Allah yang disebut manusia, angin pada syariatnya. Padahal angin itu
hakikatnnya membawa pesan pada manusia, pada para khalifah bumi, agar
menyadari kekeliruan yang pernah diperbuatnya. Manusia yang melakukan
keruksakan di muka bumi maka akan kembali pada perbuatannya, akibatnya.
Namun dalam hal ini manusia hanya memandang sebelah mata pada hakikat
angin. Mereka lebih banyak bercerita dan memandang akan hal yang berbau
logika dan penalaran semata, karena itu semua akibat dari keterbatasan
ilmu yang dimilikinya. Ilmu yang manusia miliki tidak mencakup berbagai
hal, namun terbatas hanya pada bidangnya saja. Sehingga manusia
terkadang melupakan Allah yang memiliki lautan ilmu.” urai Syekh Siti
Jenar, seraya langkahnya terhenti. Sejenak berdiri di tepi jalan,
matanya menyapu tingginya puncak gunung yang diselimuti awan putih yang
berlapis-lapis. “Bukankah manusia akan selalu merasa pintar jika
seandainya berhasil menangani sedikit persoalan saja, Syekh?” “Itulah
manusia. Namun tidak semuanya seperti itu. Tetapi itulah watak orang
kebanyakan. Maka jika demikian tertutuplah pintu ilmu berikutnya,
terhalang oleh keangkuhan dan kecongkakan yang terselip dalam batinnya.”
ujar Syekh Siti Jenar. “Berbeda jika dibandingkan dengan manusia yang
batinnya terang. Dia tidak akan pernah berbuat congkak, apalagi sombong,
yang bisa membutakan mata hatinya. Sehingga orang seperti itu akan
selamanya sanggup memahami segala hal dengan jernih….” ——————- “…sangat
sulit, Syekh.” Kebo Kenongo menarik napas dalam-dalam. “…pantas saja
diri Syekh bisa terangkat pada derajat ma’rifat, karena telah sanggup
membersihkan batin dari noda-noda tadi. Mungkin saya sulit mencapai
ma’rifat tadi karena batin ini masih dijejali dan dikotori hal-hal yang
membutakan, menghalangi, mengganggu dan merintangi. Pada intinya masih
berbau keangkuhan, kesombongan, angkara, rasa iri dan dengki. Namun
rasanya sulit untuk melepaskan hal-hal tadi, Syekh. Mungkin karena
kesulitan itu datang akibat kita berada dalam hiruk pikuk kemewahan
duniawi, yang selalu hadir di sisi kiri, kanan, depan, dan belakang
kita?” “…jangan salah, Ki Ageng. Bukankah setiap manusia hidup
memerlukan kebutuhan jasadiyah?” timpal Syekh Siti Jenar. “Duniawi
adalah kebutuhan lahiriyah, sedangkan menuju ma’rifat adalah proses
perjalanan batin menuju akrab.” “Benar, Syehk. Namun jika gangguan
duniawi sangat terlalu kuat, bisa menggelapkan mata batin. Sehingga kita
selalu memperjuangkan kepentingan jasadiyah tanpa kendali dan melupakan
kebutuhan batinnya. Nah, untuk menyeimbangkan itulah yang sangat
sulit.” “Sebetulnya kita tidak perlu seimbang dulu. Namun itu terlalu
berat untuk kebanyakan orang dan tidak mungkin dapat tercapai. Sebab
bagi yang telah ma’rifat dan akrab tidak perlu jauh melangkah tinggal
mengatakannya, apa yang diinginkan akan datang atau berada dalam
genggaman.” terang Syekh Siti Jenar, lantas membuka telapak tangannya
dan diacungkan ke langit, lalu dikepalkan. “…lihatlah! Inikah yang Ki
Ageng inginkan?” “Benar, Syekh. Andika selain bisa membaca keinginan
batin saya juga dapat membuktikannya hanya dengan mengepalkan tangan.”
Kebo Kenongo menggeleng-gelengkan kepala, seraya memujinya.
***
“Sudahkah andika menemukan cara yang
tepat untuk menguasai Demak?” Loro Gempol menatap wajah Kebo Benowo.
——————- “Meski saya telah berkali-kali memikirkannya belum juga
menemukan cara yang tepat, Gempol.” Kebo Benowo menempelkan telunjuk
dikeningnya. Lalu bangkit dari duduknya, menggendong kedua tangannya
dibelakang, dahinya berkerut-kerut, kakinya melangkah pelan.
“….bagaimana…cara termudah?” “Bolehkah saya berbicara?” Joyo Dento
mengangkat kepalanya. “Apa yang akan andika katakan, Dento? Bantulah
saya berpikir!” tatap Kebo Benowo. “Menurut hemat saya, negara Demak
Bintoro kini dalam keadaan tenang dan tentram. Namun bukan berarti
ketenangan ini tidak bisa diusik.” “Semua orang tahu! Apa maksud
andika!” timpal Loro Gempol meninggi. “Mohon maaf, Ki Gempol. Bukankah
saya belum selesai bicara?” “Lanjutkan, Dento!” ujar Kebo Benowo
mengacungkan telapak tangannya, seraya menatap Loro Ge,pol agar memberi
kesempatan bicara pada Joyo Dento. “Negeri Demak Bintoro kini dalam
keadaan tenang dan tentram. Sangat sulit bagi kita untuk melakukan
pemberontakan apalagi penggulingan kekuasaan. Namun bukan berarti
suasana tenang dan tentram ini tidak bisa diubah, menjadi kacau balau
dan carut marut.” Joyo Dento berhenti sejenak, matanya merayap
mengelilingi ruang pertemuan. Kembali tatapannya tertuju pada Kebo
Benowo. “Maksud andika?” Loro Gempol tidak sabar. “Maksud saya, untuk
merubah suasana tenang dan tentram ini harus menciptakan keadaan
sebaliknya.” “Mengacau ketenangan masyarakat?” tatap Kebo Benowo. “Jika
itu dilakukan berarti tindakan kita untuk menggulingkan Raden Patah
tidak akan berhasil, bahkan akan mendapat kecaman dari rakyat. Karena
mereka tahu bahwa kita pengacau. Sedangkan yang kita harapkan dukungan
rakyat, yang membetulkan tindakan kudeta. Jadi pada intinya tindakan
kita harus mendapat simpati dari rakyat.” “Benar, maksud saya itu.” ujar
joyo Dento. “Maksud andika jelas salah, Dento! Tidakah andika
membayangkan jika kita merampok rakyat, mengganggu rakyat, sebaliknya
mereka akan lebih simpati pada Sultan.” sela Loro Gempol. “Tentu, jika
kita salah dalam melakukan tindakan.” terang Joyo Dento. “Saya meskipun
sehari-hari berada di pasar dan melakukan perbuatan sabung ayam, hanya
untuk melampiaskan hobi saja. Andika belum paham jika saya dulu pernah
mengabdi di Kadipaten Majapahit. Bahkan saya pun banyak belajar tentang
politik dan ketatanegaraan. Namun orang-orang Majapahit kini tidak mau
lagi memperlihatkan diri dan merasa antipati terhadap Raja Demak
Bintoro, karena membaca kekuatan sendiri. Jika melakukan hal tadi
berarti akan ditangkap, termasuk Ki Ageng Pengging, beliau lebih memilih
hidup menjadi seorang petani, dengan nama lain.” Mendengar uraian Joyo
Dento yang membuka jatidirinya dan mengurai keahliannya, Kebo Benowo,
Loro Gempol, Lego Benongo, juga seluruh peserta sidang pada kesempatan
itu terkagum-kagum. “Pantas saja, andika berbeda.” Kebo Benowo
menggelengkan kepala. “Jika demikian lanjutkanlah rencana dan dasar
pemikiran andika. Andika mulai hari ini saya angkat sebagi penasehat
saya dan yang lainnya.” ——————- “Terimakasih, Ki Benowo.” Joyo Dento
menghela napas, “Saya sebetulnya sejak dulu mencari teman dan orang yang
ingin melakukan pemberontakan, sekaligus penggulingan kekuasaan
terhadap Raden Patah. Namun kini saya baru menemukan orang yang
benar-benar punya niat dan tujuan yang sama dengan saya. Jadi tidak ada
salahnya jika saya pun mendukung gerakan ini.” “Kita tidak salah
bergabung, Dento.” ujar Kebo Benowo. “Hanya sayang, yang semestinnya Ki
Ageng Pengging yang harus maju dan bergabung dengan kita sama sekali
tidak tertarik. Ki Ageng Pengging sesungguhnya memiliki darah biru yang
sangat kuat, karena beliau keturunan raja Majapahit.” Joyo Dento
berhenti sejenak, “Namun meski pun demikian andikalah yang ternyata
berani maju, Ki Benowo. Tidak ada salahnya, saya akan mendukung. Hanya
dalam hal ini kita harus punya strategi yang tepat. Seperti yang saya
uraikan pertama kali.” ”Ya, tentang pembicaraan semula. Lanjutkan apa
rencana tadi?” pinta Kebo Benowo. “Baiklah,” ujar Joyo Dento.
***
”Dengarkan para pengemis!” teriak Kebo
Benowo, matanya menyapu para pengemis yang bersila di pinggir jalan
menuju pasar. “Kenapa andika semua mesti jadi pengemis? Tidak inginkah
hidup mewah seperti para penduduk kota Demak Bintoro? Tidak inginkah
kalian menjadi orang kaya, seperti para pejabat negara? Bukankah mereka
itu manusia seperti kita? Harus sadar pula bahwa kita pun memiliki hak
yang sama seperti mereka. Tidak sadarkah jika para pejabat Negeri Demak
telah mendzalimi kalian semua? Membiarkan kalian terlantar dipinggiran
jalan. Sementara mereka bersenang- senang di pusat kota Demak Bintoro.
Tidak sadarkah bahwa mereka telah melupakan kita selaku rakyat? Mereka
telah menelantarkan kita dalam lingkaran kemiskinan dan penderitaan.
Kalian harus paham akan semua itu. Sesungguhnya hak kalian telah
dirampas oleh mereka.” “Jadi kami mesti bagaimana, Ki? Sedangkan kami
pun tidak ingin menjadi orang miskin.” ujar seorang pengemis paruhbaya.
“Ingatlah, bahwa kalian memiliki hak yang sama seperti para penguasa
negeri ini. Mintalah hak kalian!” ujar Kebo Benowo. “Tidak mungkin?
Mustahil keinginan kita dikabulkan oleh para penguasa dzalim yang tidak
peduli akan nasib rakyatnya, yang miskin seperti kami.” ujar si pengemis
paruhbaya. “Jika tidak mungkin menurut kalian, tidak perlu menyesal
dengan nasib yang dialami. Karena kehidupan dunia ini hanyalah sekejap,
setelah itu kita akan mati. Untuk itu biarkanlah mereka itu menikmati
hidupnya sebagai penguasa, karena mereka hanyalah mayat-mayat hidup yang
menunggu kematian. Sedangkan kematian merupakan pertemuan kita dengan
Sang Pencipta, untuk menemui kenikmatan yang abadi.” urai Kebo Benowo.
“Benarkah kematian itu merupakan kenikmatan yang abadi dibandingkan
dengan para penguasa yang sekarang sedang menikmati kesenangan?” kerut
pengemis paruhbaya. “Benar, karena mereka pun akan mati. Setelah mati
maka ditangisi oleh keluarganya, lalu harta yang mereka agung-agungkan
ditinggalkan untuk diperebutkan oleh keturunannya. Jadi apa artinya
harta kekayaan juga kekuasaan. Toh, kita pun akan mati dan meninggalkan
semua kesenangan duniawi yang bersifat sekejap. Bayangkanlah kesenangan
setelah kematian. Bukankah nenek moyang kalian tidak pernah ingin
kembali ke dunia ini dari kuburnya? Mengapa demikian? Karena mereka
menikmati kematian yang teramat menyenangkan dan menentramkan.” Kebo
Benowo yang memahami secara dangkal ajaran Syekh Siti Jenar, mencoba
mengurai sesuka hatinya. “Benar juga yang andika katakan, Ki.” si
pengemis paruhbaya mengagguk-anggukan kepala, begitu juga yang lainnya.
“Memang kehidupan ini hanyalah samsara, penderitaan dan kesengsaraan.
Sedangkan kematian merupakan nirwana, kesenangan yang teramat
membahagiakan. Karena bisa melepaskan kita dari berbagai penderitaan.”
”Itu benar, Kisanak.” Kebo Benowo mengacungkan jempolnya. “lihatlah
mereka yang tadinya hidup susah, lalu dalam keadaan sakit dan sekarat,
akhirnya mati tersenyum. Mereka mengakhiri segala penderitaan dengan
kematian. Untuk apa kita hidup di negeri mayat, jika itu bukan mayat
yang sesungguhnya. Mereka semua hanyalah mayat-mayat berjalan, tidak
memiliki rasa dan kepekaan. Meskipun punya jabatan dan kekayaan namun
tidak bisa mereka nikmati. Maka kematianlah sesungguhnya kenikmatan
setiap manusia, yang harus kita raih dan dapatkan.” ——————- “Saya
setuju, Ki.” pengemis paruhbaya bangkit. “Jika demikian marilah kita
songsong kematian…saya ingin mati!” teriaknya. Selanjutnya diikuti oleh
para pengemis lainnya. Para pengemis bangkit dari duduknnya seraya
berjalan-jalan keliling sambil berteriak-teriak menyongsong kematian.
Ada juga yang nekad membenturkan kepalanya ke atas batu hingga pecah dan
meninggal, ada juga yang terus berjalan menunggu ajal tanpa makan.
“Hahahaha…mungkin itulah yang dimaksud Joyo Dento.” Kebo Benowo
mengawasi para pengemis sambil tersenyum.
***
“Hebat andika Joyo Dento.” puji Kebo
Benowo seraya menepuk-nepuk bahunya. “Sekarang keadaan negeri Demak
Bintoro akan dilanda oleh kekacauan, serta krisis kepercayaan. Itu semua
alhasil dari hasutan kita agar masyarakat miskin antipati terhadap
penguasa. Benar-benar cerdik daya pemikiran andika, Dento.” “Itulah yang
harus kita ciptakan. Strategi pertama untuk menggoncang keaadaan
negara. Setelah ini berhasil dan di dengar beritannya oleh para penguasa
negeri Demak Bintoro, maka pertama-tama mereka akan mencari tahu
penyebabnya.” ujar Joyo Dento. “Mungkinkah mereka akan menangkap kita
sebagai penghasut?” tanya Loro Gempol. “Sangat tidak mungkin, Ki.” jawab
Joyo Dento yakin. “Kenapa? Bukankah kita penghasutnya?” timpal Kebo
Benowo. “Karena kita bukan menghasut tapi berbicara berdasarkan
kenyataan. Mereka pun tidak mudah menuduh kita sebagi pengasut, dalam
menciptakan kekacauan di negeri Demak Bintoro tanpa adanya bukti yang
kuat.” terang Joyo Dento. “Benar juga, Dento.” Kebo Benowo menganggukan
kepala. “Jika keadaan negara sudah kacau balau, rakyat tidak percaya
lagi pada penguasa, maka mereka akan sibuk. Dalam keadaan seperti itulah
kita mengadakan tindakan.” Joyo Dento mengepalkan tangannya. “Melakukan
kudeta?” celetuk Loro Gempol. “Apa mungkin kita mampuh menggulingkan
kekuasaan Raden Patah?” kerut Kebo Benowo. “Karena kekacauan seperti ini
tidak seberaba, jika dibanding dengan kekuatan negara Demak Bintoro
yang sesungguhnya. Lalu kita juga harus berkaca, apa mungkin kekuatan
kita sudah cukup untuk melakukan penyerangan?” ——————- “Apa salahnya
jika kita mencoba? Siapa tahu menang.” tambah Loro Gempol seraya
menggenggam gagang goloknya. “Benar, kita mesti mencoba dan berusaha.
Untuk mengukur kekuatan kita, sudah semestinya begitu.” terang Joyo
Dento. “Namun dalam tindakan percobaan kita harus menciptakan strategi
penyerangan yang berbeda. Agar kita pada waktunya tidak konyol dan
membahayakan diri sendiri.” “Jika demikian ijinkan saya menyiapkan
pasukan untuk menyerbu Demak Bintoro, Ki Benowo.” Loro Gempol Bangkit
dari duduknya, langkahnya berat dan pasti. “Tunggu dulu, Gempol!” Kebo
Benowo berteriak. “Kenapa mesti menunggu lagi? Bukankah kita akan
mencoba kekuatan?” langkah Loro Gempol terhenti di depan pintu. “Benar,
Ki Gempol. Namun ingatlah yang saya katakan tadi. Meski dikalangan
rakyat miskin sedang terjadi kekacauan, namun itu belum seberapa.”
terang Joyo Dento. “Kekacauan tadi hanya bersifat lokal, sangat kurang
berpengaruh terhadap stabilitas keamanan negeri Demak Bintoro. Sebaiknya
sebelum melakukan penyerangan sebarkan dulu kekacauan tadi hingga
merebak seantero negeri Demak Bintoro.” urainya. “Benar, Gempol. Apa
yang dikatakan Joyo Dento sebaiknya diikuti, karena dia sudah saya
angkat sebagai penasihat.” ujar Kebo Benowo, seraya menepuk bahu Loro
Gempol. “Baiklah jika itu perintah Ki Benowo.” Loro Gempol menganggukan
kepalanya, seraya kembali ke tempat duduknya. ——————- “Baguslah jika
andika setuju.” Kebo Benowo tersenyum bahagia, lalu melirik ke arah Joyo
Dento, dalam benaknya menaruh berjuta harapan demi cita-citanya
menggenggam kekuasaan di negeri Demak Bintoro. “Apa rencana berikutnya,
Dento?” “Baiklah, kita menyusun strategi berikutnya.” Joyo Dento
menempelkan jari dikeningnya seakan-akan berpikir sangat keras.
***
“Syekh, rasanya sangat berat untuk
menempuh jalan ma’rifat.” Kebo Kenongo nampak tidak ceria. “Ya, tentu
saja.” “Mungkinkah saya harus bertahap? Menurut tahapan ilmu, Syekh?”
“Tidak selalu, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar perlahan bangkit
dari duduknya. “Bukankah saya menyarankan jika seandainya andika
kesulitan mengikuti ilmu Islam, hendaknya ikutilah ajaran agama yang
andika anut. Bukankah andika tinggal satu atau dua langkah lagi menuju
ma’rifat, setelah itu akrab. Orang yang akrab dengan Allah itulah
seperti yang pernah saya uraikan sebelumnya.” “Ya,” Kebo Kenongo
menggeleng, “Itu dibicarakan sangatlah mudah, Syekh. Namun untuk
melaksanakannya terasa berat, dan sulit untuk membuka tabirnya. Jika
sekali saja tabir itu sudah terbuka tentulah berikutnya akan lebih
mudah.” “Benar,” Syekh Siti Jenar terdiam sejenak, matanya yang sejuk
dan tajam beradu tatap dengan Kebo Kenongo. “Ya, hanya Sunan Kalijaga
yang bisa…” gumamnya. “Sunan Kalijaga?” “Tidak perlu dipikirkan! Apalagi
mempertanyakannya.” Syekh Siti Jenar kembali ke tempat duduknya. ***
“Kanjeng Sunan Giri, tahukah anda tentang Syekh Siti Jenar?” tanya
seorang jemaah paruhbaya, usai melaksanakan sholat zuhur di masjid
Demak. “Ya,” Sunan Giri menatapnya, “Memang kenapa dengan Syekh Siti
Jenar, Ki Demang?” “Dia telah meresahkan.” jawab Ki Demang.
“Meresahkan?” “Ya,” “Memang apa yang telah dia perbuat, Ki Demang?”
“Syekh Siti Jenar telah mengacaukan keadaan rakyat negeri Demak Bintoro,
Kanjeng.” “Maksud, Ki Demang?” Sunan Giri mengerutkan dahinya. ——————-
“Namun sebelumnya saya ingin tahu dulu.” “Tentang apa?” “Apakah Syekh
Siti Jenar juga seorang wali seperti anda?” “Bukan! Dia hanyalah sosok
yang tidak jelas asal usulnya. Juga ilmu yang didalaminya entah dari
mana sumbernya.” “Tapi bukankah dia juga seorang ulama yang memiliki
ilmu tinggi?” “Mungkin saja, Ki Demang. Tetapi dia bukan wali seperti
saya dan yang lainnya. Selain asal usulnya tidak jelas, dia juga
mempelajari ajaran Islamnnya entah dari mana?” “Berkaitan dengan itulah
yang kini meresahkan dikalangan rakyat negeri Demak Bintoro, Kanjeng.”
“Maksud, Ki Demang?” Sunan Giri menatap tajam wajah Demang Bintoro,
dahinya dikerutkan. “Apakah Syekh Siti Jenar membuat ulah?” “Kemungkinan
besar itulah yang sedang terjadi, Kanjeng.” “Tolong jelaskan, Ki
Demang! Apa yang terjadi?” “Syekh Siti jenar telah menyebarkan ajaran
sesat, Kanjeng.” “Ajaran sesat?” Sunan Giri terperanjat. “Benar,”
“Maksud Ki Demang ajaran sesat seperti apa?” “Kehidupan ini adalah
kematian…kematian adalah keabadian….” “Lalu?” “Lantas mereka banyak yang
melakukan bunuh diri. Karena punya anggapan bahwa kehidupan ini adalah
penderitaan. Buktinya mereka banyak yang miskin dan menjadi gelandangan.
Sedangkan kematian itu adalah indah dan menyenangkan.” Demang Bintoro
menghela napas, “Mereka punya anggapan dengan jalan kematian bisa
terlepas dari semua penderitaan dan kesengsaraan…” “Celaka!” Sunan Giri
menepuk keningnya. “Sehingga banyak yang berteriak-teriak seperti orang
gila mencari kematian dan keindahan abadi yang diharapkannya. Lalu bunuh
diri…” tambah Demang Bintoro. “Saya pun datang ke mesjid Demak dari
kademangan tidak lain hanya ingin menyampaikan kabar ini kepada para
wali.” “Ini merupakan hal yang sangat serius yang bisa mengancam
ketentraman dan keamanan negeri Demak Bintoro.” Sunan Giri bangkit dari
duduknya, lalu matanya menatap para wali lain yang sedang melakukan
wirid. Dipanggilnnya mereka untuk berundingsejenak. “Jangan dulu pulang
Ki Demang, andika harus menyampaikan kejadian ini pada para wali.”
——————- “Baiklah, Kanjeng.” Demang Bintoro menganggukan kepala, seraya
menatap para wali yang mulai duduk berkeliling di tengah masjid sesuai
permintaan Sunan Giri.
***
‘Bagaimana pun juga aku harus menghadap
Ki Ageng Pengging. Meskipun dia tidak berambisi untuk menjadi penguasa
negeri Demak Bintoro. Namun aku tidak rela jika bekas para abdi
Majapahit berada dibawah bayang-bayang kekuasaan Raden Patah.’ ujar hati
Joyo Dento, seraya tangannya menggenggam tali kendali kuda yang
ditungganginya, berjalan pelan mendekati padepokan Syekh Siti Jenar.
‘Siapa tahu Ki Ageng berubah pikiran mendukung perjuangan ini, apalagi
jika Syekh Siti Jenar turun tangan untuk membantu. Aku yakin
pemberontakan ini tidak akan terlalu berat, karena mereka orang-orang
sakti dan cerdas. Jauh berbeda dibanding dengan Kebo Benowo mantan
rampok bego, hanya punya ambisi semata dan kekuatan yang belum tentu
bisa menandingi para wali.’ Joyo Dento menghentikan langkah kuda, lalu
dikatnya pada sebuah pohon di tepi jalan. ‘Tunggu saja kamu disini kuda.
Karena tidak mungkin sanggup menaiki jalan yang menyerupai tangga. Biar
aku berjalan kaki saja untuk menemui mereka. Joyo Dento meluruskan
pandangannya ke depan, usai mengikat kuda tunggangannya. Lalu melangkah
pelan, menaiki jalan yang dipapas menyerupai tangga. ‘Banyak juga jumlah
anak tangga ini,’ tangannya menyeka keringat yang mulai membasahi
keningnya. ‘…tapi akhirnya aku sampai juga dipuncak…eh…ternyata masih
ada jalan lurus membentang menuju padepokan.’ Joyo Dento berhenti
sejenak menikmati sejuknya udara pegunungan dan hijau ranumnnya
dedaunan, serta pemandangan puncak gunung yang tersaput mega putih.
“Indah!” gumamnya. “Tempat ini di tata sangat bagus, membuat orang
kerasan. Kanan kiri jalan dihiasi oleh pepohonan hijau, rerumputan…Syekh
Siti Jenar menyukai keindahan dan keasrian alam.” Joyo Dento
menghentikan langkahnya di depan pintu pagar padepokan, “Sampurasun!”
“Masuklah Joyo Dento!” terdengar suara yang menyebut namanya, sedangkan
wujudnnya entah dimana. “Syekh Siti Jenarkah yang memanggil saya?” Joyo
Dento memutar pandanganya, suara itu seakan-akan datang dari segala
arah. “Bukankah aku ini sedang berada di depan pintu pagar padepokan?”
gumamnnya. “Benar,” “Baiklah.” Joyo Dento membuka pintu pagar, seraya
berdiri di depan pintu padepokan dan mendorongnya pelan. “Kenapa didalam
tidak ada orang? Lantas Syekh Siti Jenar memanggil saya dari mana?”
“Bukalah mata hati andika, Dento!” “Ki Agengkah itu?” Joyo Dento
membelalakan matanya, menelisik ruang kosong, di depannya hanya terdapat
hamparan tikar. “Benar, ini saya.” “Namun Ki Ageng tidak saya temukan,
begitu juga Syekh Siti Jenar? Padahal suaranya seperti berada didepan
saya.” Joyo Dento memijit-mijit dahinya. “Tataplah dengan mata terbuka,
jangan dengan mata tertutup.” “Tapi saya sudah menatapnnya dengan mata
terbuka, Ki Ageng Pengging. Namun saya tidak bisa menemukan keberadaan
andika selain suara. Dan ruangan ini kosong, hampa, tidak ada orang?”
Joyo Dento semakin kebingungan. Namun matanya merayap dan tertuju pada
dua hamparan tikar yang berada dihadapannya. ——————- “Bukankah saya ada
dihadapan andika, Dento?” ujar Kebo Kenongo, seiring dengan bergeraknya
hamparan terusik angin sepoi tikar. Pelan-pelan wujud keduanya yang
sedang duduk bersila mulai tampak. “Ki Ageng, terimalah sembah hormat
hamba!” Joyo Dento langsung saja menekuk lututnya seraya mengacungkan
kedua tangannya menyembah. “Begitu juga pada Syekh Siti Jenar, seorang
wali yang memiliki kesaktian tinggi. Ijinkanlah hamba pada saat ini
menghadap!” “Saya ijinkan, Dento.” Kebo Kenongo tersenyum. “Terimakasih,
Ki Ageng.” lalu melirik ke arah Syekh Siti Jenar, wajahnya tampak
memancarkan cahaya yang menyilaukan matanya, hingga tidak sanggup
menatapnya. Joyo Dento pun menunduk. “Saya mohon maaf Syekh Siti Jenar
karena telah lancang datang ke padepokan yang indah dan asri ini. Karena
hamba punya maksud dan tujuan….” “Saya memaklumi, dan tahu akan tujuan
dari kehadiran andika ke padepokan ini. Bukankah untuk meminta restu
serta bantuan kami berdua atas upaya ambisi menggulingkan kekuasaan
Raden Patah.” terang Syekh Siti Jenar. “Duh, mohon maaf Syekh. Ternyata
andika memiliki ilmu sangat tinggi. Pantas saja Kebo Benowo dan
kawan-kawannya sakti.” Joyo Dento semakin merunduk dan tercengang, atas
kehebatan Syekh Siti Jenar yang tahu akan maksud kedatangannya. “Namun
tidakah Syekh….” “Tidak, karena saya mengajarkan ilmu pada siapa saja
yang mengingkannya. Kebo Benowo dan kawan-kawan mantan rampok yang
memiliki ambisi untuk menggulingkan kekuasaan Raden Patah serta
bermimipi ingin menjadi penguasa negeri Demak Bintoro adalah sebuah
taqdir.” Syekh Siti Jenar seakan-akan sudah mengetahui setiap rencana,
bahkan yang belum terujar masih tersimpan di dalam hati pun bisa
diketahuinya. Lebih dari itu dia pun seakan-akan tahu masa depan yang
akan terjadi. “Baik saya atau pun Ki Ageng Pengging tidak akan melarang
tindakan andika, merestui pun tidak. Merestui atau pun tidak saya dan Ki
Ageng Pengging adalah bagian dari taqdir andika semua.” “Lantas?” Joyo
Dento bergumam, sudah kehabisan kata-kata. Sebab semua yang akan
diucapkannya sudah mereka ketahui. “Jika saya sudah tahu seperti ini
mungkin tidak akan berkunjung ke padepokan ini. Cukup dari kejauhan saya
minta restu.” “Andika tidak perlu menyesal datang ke padepokan ini.
Karena ini adalah perjalanan lahiriyah andika selaku manusia.” Syekh
Siti Jenar menatap. “Sedangkan keinginan andika untuk membangkitkan
kembali kekuatan Majapahit yang telah runtuh itu pun hak andika. Ki
Ageng Pengging junjungan andika tidak mau terlibat bahkan memilih
sebagai petani dan hidup di pedesaan itu pun bagian dari taqdir. Ki
Ageng dan saya berbuat seperti ini karena sudah tahu apa yang akan
terjadi dan teralami berikutnya.” “Saya tidak paham, Syekh.” Joyo Dento
Semakin menunduk. “Namun meski pun kurang paham akan semuanya. Saya
tidak akan surut untuk terus berjuang bersama yang lainnya demi
kembalinya kekuasaan Majapahit. Tetapi bolehkah saya mengetahui apa yang
akan terjadi pada saya dan lainnya?” “Tidak hanya andika yang terbunuh.
Saya dan Ki Ageng Pengging pun akan mengalami hukuman mati.” jelas
Syekh Siti Jenar dengan wajah tenang. “Kenapa? Benarkah itu? Tapi tidak
mungkin saya menghentikan rencana ini, Syekh?” Joyo Dento garuk-garuk
kepala, dalam benaknya muncul pemikiran antara percaya dan tidak
terhadap ujaran Syekh Siti Jenar. “Bukankah Syekh ini orang sakti? Tidak
bisakah menghentikan taqdir itu?” ——————- “Sudahlah! Andika tidak perlu
bertanya lagi tentang taqdir. Jalani saja ambisi dan rencana semula.
Jika ingin berhenti silahkan!” “Tapi tidak mungkin saya menghentikan
rencana ini. Sebab kesempatan dan peluang baik seperti sekarang hanya
datang satukali, mengingat dukungan penuh Kebo Benowo juga para pejuang
Majapahit yang tidak menyukai bayang-bayang kekuasaan Raden Patah.”
“Sudah terjawab bukan? Apa yang saya maksudkan tadi?” “Terjawab?” Joyo
Dento semakin mengkerutkan dahinya. “Dento,” ujar Kebo Kenongo lirih.
“Ya, Ki Ageng.” tatapan Joyo Dento penuh pertanyaan ke arah Kebo
Kenongo. “Saya mohon diri, juga Syekh Siti Jenar. Niat dan rencana saya
sudah bulat untuk meruntuhkan kekuasaan Raden Patah demi kembalinya
kekuatan Majapahit.” lalu perlahan bangkit dari duduknya. Joyo Dento
sudah meninggalkan padepokan Syekh Siti Jenar, langkahnya pelan mulai
menginjak tangga paling atas, lalu ujung kakinya yang tidak lepas dari
tatapannya menurun, menginjak yang berikutnya. Hingga akhirnya habis dan
kembali ke sebuah pohon yang dijadikan tempat menambat kudanya. Sejalan
dengan itu benaknya terus berpikir, mencerna setiap perkataan Syekh
Siti Jenar begitu pula Kebo Kenongo. “Mereka berdua seakan-akan sudah
tidak peduli pada urusan duniawi dan kekuasaan. Padahal mereka memiliki
kemampuan dan ilmu yang cukup tinggi. Benar benar tidak habis pikir.
Masih hidup malah berpikir dihukum mati. Kenapa bisa bilang akan kena
hukuman mati? Bukankah itu ucapan seorang pengecut? Belum bertindak
sudah takut pada hukuman mati yang dicap sebagai pemberontak dan
mengganggu kesetabilan pemerintahan. Dia juga menyebut bahwa aku akan
bertemu dengan kematian artinya kegagalan. Tidak mungkin? Bukankah aku
suda memiliki strategi yang cukup hebat. Demak Bintoro sebentar lagi
akan kacau dan goncang….” Joyo Dento telah berada di atas punggung kuda,
lalu tangannya memegang tali kekang. Kuda pun dicambuk hingga berlari
kencang meninggalkan padepokan Syekh Siti Jenar. Seiring dengan
terbukanya sayap malam, yang diawali senja teramat singkat, ditandai
warna langit yang memerah laksana darah peperangan. Taubah angkara yang
mengundang banjir darah, hingga menciprat di atas lapisan awan putih.
***
“Para wali yang saya hormati, itulah
alasannya kenapa pada hari ini ada persidangan.” ujar Sunan Giri.
“Haruskah kita melaporkan hal ini pada Sinuhun agar langsung mengirim
prajurit ke Kademangan Bintoro untuk menangkap mereka.” timpal Sunan
Muria. “Menurut hemat saya, sebaiknya kita selidiki dulu.” Sunan
Kalijaga memutar pandanganya, lalu beradu tatap dengan Sunan Bonang.
‘Kanjeng, terjadi juga hal yang akan menyulitkan Syekh Siti Jenar.
Rasanya perjalan waktu terlalu cepat untuk hal ini.’ batinnya. ‘Benar,
Kanjeng.’ Sunan Bonang membalas tatapan Sunan Kalijaga, seraya bercakap
dengan batin. ‘Cepat atau lambat itulah taqdir Syekh Siti Jenar. Namun
bukan hari ini…masih ada beberapa saat..’ “Ada apa Kanjeng Sunan Bonang
dan Kanjeng Sunan Kalijaga?” tatap Sunan Giri. “Maaf, Kanjeng Sunan
Giri. Saya pun sependapat dengan Kanjeng Sunan Kalijaga, alangkah lebih
baiknya sebelum bertindak dan melakukan penangkapan diadakan
penyelidikan terlebih dahulu.” ujar Sunan Bonang. “Saya setuju,
Kanjeng.” timpal Sunan Kudus. Ucapan itu diikuti oleh para wali yang
sedang bersidang. “Ki Demang,” Sunan Giri memutar pandanganya ke arah
Demang Bintoro. “Itulah keputusan kami selaku para wali. Semoga Ki
Demang memaklumi.” “Terimakasih, Kanjeng.” Demang Bintoro mengagukan
kepala, seraya menunduk hormat. “Laporan saya telah ditanggapi dan
langsung dibawa ke mahkamah persidangan para wali. Serta kami sangat
memaklumi sekali atas segala putusan yang telah para wali ambil.
Sehingga saya pun akan melakukan penyelidikan yang lebih mendalam,
mengenai ajaran Syekh Siti Jenar yang tersebar di Kademangan. Namun
dalam hal ini kami bukanlah seorang ulama dan tidak terlalu paham akan
ajaran Islam. Semoga bersedia kiranya para wali mengutus seorang ulama
atau siapa saja yang paham betul akan ajaran Islam, sehingga dalam
mengukur kesesatan ajaran yang disebarluaskan Syekh Siti Jenar tahu
batasannya.” ——————- “Baiklah, Ki Demang.” ujar Sunan Giri, seraya
memutar pandangannya pada para wali dan ulama yang berkumpul dalam
persidangan di dalam masjid Demak. “Mungkin tidak wali yang pergi ke
kademangan. Siapakah di antara ulama yang siap melakukan tugas ini,
menyertai Ki Demang?” Keadaan hening sejenak, para wali dan ulama saling
tatap satu sama lain. Etah apa yang terbersit dalam benak dan pikiran
mereka masing-masing, seraya mengelus dada dan menarik napas
dalam-dalam. Sepertinya dalam hati mereka ada sesuatu yang mengganjal,
seandainya Syekh Siti Jenar dan pengikutnya benar-benar menyebarkan
ajaran sesat dan menyesatkan, tentu saja akan mendapat hukuman yang
sangat berat. Lantas yang mereka pikirkan, tegakah berbuat seperti itu?
Meski disisi lain mungkin harus juga kebenaran itu ditegakan. Lalu
barometer kesalahan dan kebenaran yang berlandaskan pada apa? “Adakah
yang sanggup?” suara Sunan Giri memecah keheningan. “Saya kira para
ulama merasa berat hati untuk menyampaikannya, Kanjeng.” Sunan Kalijaga
menatap Sunan Giri. “Bagaimana jika saya saja?” “Jangan dulu, Kanjeng!”
potong Sunan Giri. “Mengapa persoalan kecil ini mesti seorang yang
berpangkat wali turun tangan? Jika yang lain tidak ada yang mampu saya
kira barulah wali turun tangan. Masa diantara para ulama yang hadir
disini tidak ada yang sanggup?” “Mohon maaf, Kanjeng Sunan Giri.” ujar
Demang Bintoro. “Mungkin saya telah merepotkan yang hadir disini.
Biarlah saya saja dan ahli agama yang ada di Kademangan melakukan
penyelidikan ini. Semoga ilmu dia bisa saya andalkan, sehingga kami
tidak keliru memberikan laporan. Selanjutnya saya mohon diri.” tanpa
menunggu perkataan lebih lanjut dari Sunan Giri Demang Bintoro bangkit
dari duduknya, setelah mengucapkan salam menghilanglah dibalik pintu
masjid Demak Bintoro. ‘Bukankah tidak hari ini, Kanjeng?’ batin Sunan
Bonang, matanya beradu dengan tatapan Sunan Kalijaga. ‘Ya, itulah sebuah
kenyataan. Itu juga ada rentang waktu dan perjalanan bagi semuanya…..’
balas batin Sunan Kalijaga. ‘Bukankah Syekh Siti Jenar juga….’ ‘Ya, saya
sangat paham akan dia…’ “Baiklah, para wali yang saya hormati. Mungkin
untuk tindakan selanjutnya kita menunggu penyelidikan Ki Demang
Bintoro.” Sunan Giri menutup persidangan.
***
“Ki Benowo,” Joyo Dento duduk di atas
kursi yang berada di samping Loro Gempol, tatapan matanya menyapu wajah
Kebo Benowo. “Seperti yang saya duga, ternyata benar.” “Heran?” Kebo
Benowo memijit keningnya. “Mengapa Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng
Pengging tidak tertarik pada kekuasaan. Padahal kalau seandainnya kita
berhasil meruntuhkan kekuasaan Raden Patah, sudah barang tentu mereka
berdua akan mendapat kedudukan yang pantas. Disamping dukungan mereka
yang sangat kita butuhkan dalam lingkaran perjuangan ini.” “Jangankan
andika, Ki Benowo. Saya sendiri sangat kaget akan prilaku junjungan saya
sendiri Ki Ageng Pengging.” ujar Joyo Dento. “Dia seakan-akan tidak
peduli lagi pada tanah leluhurnya yang telah dikuasai Raden Patah, meski
hampir ada keterkaitan darah. Namun Ki Ageng sendiri punya wewenang
untuk menjadi penguasa, mengapa beliau rela berada dibawah bayang-bayang
kekuasaan Raden Patah, yang seharusnnya kebalikannya.” “Mungkinkah
Junjunganmu itu terpengaruh oleh ilmu Syekh Siti Jenar, sehingga dia
tunduk dan setia sebagai pengikutnya?” timpal Loro Gempol. ——————-
“Janganlah andika berkata demikian, Gempol!” tatap Kebo Benowo.
“Bukankah Syekh Siti Jenar juga guru kita dan telah mengajarkan ilmu
yang kita pinta, sehingga memiliki kesaktian tak terbatas.” “Namun
menurut hemat saya, mereka itu telah benar-benar mempelajari ilmu yang
di anut Syekh Siti Jenar?” kerut Joyo Dento. “Bukankah kita juga
mempelajari ilmu beliau?” tukas Loro Gempol, “Tapi kita tidak berlaku
seperti mereka?” “Karena jiwa kita belum sempurna, Gempol.” “Maksud, Ki
Benowo?” “Yang kita pelajari dari Syekh Siti Jenar bukanlah ilmu
kebhatinan menuju jalan ma’rifat. Tetapi yang kita pelajari dari beliau
adalah ilmu kesaktian dan keduniawian, bagaimana kita menjadi perkasa
dan penguasa.” terang Kebo Benowo. “Ya, benar itu, Ki Benowo.” Joyo
Dento menganggukan kepala. “Meskipun saya hanya sebentar berada di
padepokan Syekh Siti Jenar, sudah paham betul keadaan di sana. Mereka
tidak memiliki ambisi untuk menjadi apa pun di dunia ini. Saya yakin
mereka punya anggapan bahwa dunia ini tidak berarti apa-apa jika
dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa yang sedang mereka rasakan pada
saat ini.” “Tidak masuk akal!” Loro Gempol garuk-garuk kepal. “Bukankah
orang menjadi sakti dan menuntut ilmu itu demi kekuasan, harta
berlimpah, dan mendapatkan perempuan-perempuan cantik?” “Sudahlah,
Gempol! Kita tidak perlu ambil pusing dengan mereka. Karena kita bukan
mereka, mereka bukan kita. Tujuannya pun berbeda, mereka mendapatkan
ilmu demi tercapainnya ma’rifat dan kemanunggalan dengan Gusti.
Sedangkan bagi kita itu semua tidak mendapatkan tempat dihati, yang
harus kita dapat adalah kekuasaan negeri Demak Bintoro.” tandas Kebo
Benowo. “Benar, sangat jernih pemikiran andika, Ki Benowo.” Joyo Dento
mengacungkan jempolnya.
***
Matahari senja di langit sebelah barat
tampak menyipratkan warna merah, mengubah putihnya awan menjadi jingga.
Seakan-akan cipratan darah di atas serpihan kain putih. Ki Bisono, Ki
Donoboyo, Ki Chantulo, Ki Pringgoboyo, Ki Ageng Tingkir dan para murid
lainnya menyaksikan peristiwa itu dari ketinggian tangga yang menuju
padepokan Syekh Siti Jenar. “Seperti suatu pertanda, Ki Bisono?” tatap
Ki Donoboyo pada rekannya. “Namun pertanda apakah gerangan jika memang
itu sebuah pertanda?” Ki Bisono mengerutkan dahinya. “Saya kira itu hal
biasa, Ki.” Ki Pringgoboyo seakan tidak tertarik dengan fenomena alam
tersebut. “Benar,” Ki Ageng Tingkir menimpali, namun sejenak dahinya
mengkerut. “Meskipun ini sebuah kejadian biasa, bahwa setiap senja
matahari akan menyipratkan warna jingga? Tetapi ada hal yang aneh….”
“Maksud, Ki Ageng Tingkir?” Ki Bisono menatap. “Seperti sebuah
pertanda.” “Pertanda?” para murid Syekh Siti Jenar serempak bertanya,
jiwa dan pikirannya terhanyut oleh perkataan Ki Ageng Tingkir.
“Tafsirkanlah dengan batin, sahabatku.” Ki Ageng Tingkir kembali menatap
langit jingga. Sejenak tidak lagi ada yang berbicara, lalu semuanya
mengangkat kepala mendongak ke langit. Mata dan batinnya mulai terusik
untuk menoba mentafsirkan fenomena alam yang sedang terjadi. Raga mereka
seakan-akan tidak merasakan hembusan angin senja itu, semuanya berdiri
laksana patung. Jasad mereka sama sekali tidak bergeming dari tempatnnya
berdiri, namun jiwa dan rasa menyatu bersama batin, seraya berusaha
keras membuka tabir dan membaca alam. Mereka memiliki satu tujuan
mencoba menafsirkan dan menterjemah ilmu hamamayu hayuning bawana,
setelah berupaya memakmurkan bumi, maka jiwa menyatu dengan bumi. Sukma
meresap dengan alam, batin menembus setiap serpih dan gerak, yang ada di
alam raya. Pertautan antara alam raya dan ruh. “Ya, rasanya ini benar,
Ki Ageng Tingkir.” Ki Bisono memecah keheningan. “Begitu juga yang saya
rasakan, Ki Bisono.” Ki Ageng Tingkir menarik napas dalam-dalam,
jasadnya mulai merasakan lagi semilir angin pegunungan. Pertautan jiwa
dengan alam telah kembali pada raganya masing-masing. ——————- “Meskipun
kita bisa merasakan belumlah bisa mentafsirkan tentang pesan yang alam
sampaikan.” tambah Ki Ageng Tingkir. “Benar, Ki Ageng Tingkir.” Ki
Chantulo menarik napas dalam-dalam. “Meski sukma kita sanggup
berkomunikasi dengan alam, bertaut, dan bergumul. Rasanya sulit untuk
meterjemah dan menafsirkan sabda alam?” “Padahal kita tahu maksud alam
dengan kabaran dan berita yang dibawanya?” tambah Ki Donoboyo, “…itu
sebuah pertanda buruk. Namun dalam hal ini kita sangat kesulitan untuk
mengurai pesan tadi.” “Meski kita tidak bisa mengurai pesan yang
disampaikan alam, yang penting kita paham pada pesan yang
disampaikannya.” tukas Ki Bisono, “Disamping kita pun sudah sanggup
mengamalkan ilmu hamamayuning bawana yang diajarkan Syekh Siti Jenar.
Kekurangan kita kembali pada diri kita sendiri, karena tahapan kita
belumlah bisa menyamai guru kita Syekh Siti Jenar.” “Ya, walau pun
beliau sangat murah hati untuk memberikan ilmu apa saja yang kita
pinta.” tambah Ki Ageng Tingkir, mulai melangkahkan kaki pelan,
disampingnya Ki Bisono dan Ki Chantulo, yang lainnya mengikuti
dibelakang. “Hanya kita yang menerimanya ternyata berat untuk
mengamalkan dan menguasainya, meski pun kita secara bertahap dan
berangsur-angsur sanggup menggenggamnya.” “Tidak ada salah, Ki Ageng
Tingkir. Jika sekalian dalam pertemuan hari ini di aula padepokan
fenomena alam yang kita lihat tadi, juga pesannya kita kemukakan kepada
Syekh Siti Jenar.” ujar Ki Donoboyo. “Saya setuju, Ki.” Ki Chantulo
mengangguk seraya mengacungkan ibu jarinya. “Saya juga.” begitu pun Ki
Pringgoboyo dan yang lainnya menyetujui, seiring dengan langkah kakinya
yang dipercepat menuju aula padepokan. Matahari semakin merendah,
perlahan menyelinap di balik punggung gunung dengan warnanya yang
semakin memerah. Para murid Syekh Siti Jenar satu persatu mulai memasuki
aula padepokan, dan mengambil tempat duduk masing-masing bersila di
atas tikar pandan yang terhampar. “Sebentar lagi senja berganti malam.”
ujar Syekh Siti Jenar, matanya menyapu setiap wajah yang duduk bersila
memenuhi aula padepokan. “…warna jingga, merah darah yang menciprat di
antara serpihan awan pun akan hilang…semuanya ditelan gelap malam. Tanpa
cahaya, tanpa ada redup, tanpa ada remang, sama sekali dalam gelap
tidak akan pernah ada yang terlihat setitik bentuk pun. Kecuali hanya
warna pekat yang disebut gelap gulita.” “Sungguh hebat beliau, Ki Ageng
Tingkir?” Ki Bisono berbisik pada Ki Ageng Tingkir yang duduk
disampingnya. ——————- “Benar, Ki Bisono. Baru saja kita akan bertanya
tentang sabda alam dan pesannya, beliau sudah mengawali kalimat dengan
yang akan kita tanyakan.” bisik Ki Ageng Tingkir, “Syekh Siti Jenar
benar-benar waspada permana tinggal.” berdecak kagum. “Hamamayu hayuning
bawana, yang telah andika amalkan belumlah cukup. Sehingga alam pun
tidak utuh memberikan sabdanya, namun meskipun demikian andika telah
sanggup menyatu dengan alam meski belum sempurna.” Syekh Siti Jenar
memutar tasbih dengan tangan kirinya sambil duduk bersila, sorot matanya
yang penuh wibawa seakan-akan sanggup menembus relung hati para
muridnya. Bibirnya selalu meluncurkan dzikir, istigfar, dan takbir pada
setiap sela-sela perhentian bicara. “Namun tidaklah terlalu jauh, hanya
tinggal satu tingkat lagi. Akhirnya andika pun akan sampai pada tingkat
penyatuan dengan alam. Ketika ingin menyatu dengan setiap heningnya
malam, tetesnya embun, semilirnya angin, jingganya matahari, bukan soal
yang berat. Andika semua akan bisa mencapai tahapan tadi, hanya tinggal
selangkah.” “Benar, Syekh.” Ki Bisono menganggukan kepala. “Namun
sesungguhnya kami telah berada pada tahap rahmatan lil alaminkah atau
belum, Syekh?” “Andika sebetulnya tidak harus mendapat penilaian
dariku.” tatapan Syekh Siti Jenar menyapu wajah Ki Bisono yang langsung
menunduk, tidak sanggup beradu tatap. “Biarlah Allah SWT. yang
memberikan penilaian. Namun dalam hal ini saya hanya memberikan
barometer bagi andika tentang rahmatan lil alamin atau hamamayu hayuning
bawana.” “Saya pun berpikir, Syekh. Sudahkah saya ini menjadi manusia
yang telah memberikan rahmat bagi alam.” Ki Bisono mengerutkan dahinya,
“…atau mungkin sebaliknya hanya menjadi laknatan lil alamin. Padahal
banyak orang bilang jika dirinya sedang menebarkan rahmatan lil alamin,
tetapi dalam kenyataannya mereka malah menciptakan sebuah keruksakan dan
kehancuran.” “Benar, Syekh. Seperti yang dikatakan Ki Bisono,
kebanyakan orang seperti itu, antara ucapan dan perbuatannya
kontroversi.” tambah Ki Chantulo. “Andika tidak harus membicarakan orang
lain.” Syekh Siti Jenar menghela napas dalam-dalam, “Biarlah mereka
seperti itu, karena mereka berbuat demikian maka hasilnya pun akan
mereka tuai pula. Namun sebaliknya, meski pun kita berusaha mengamalkan
hamamayu hayuning bawana, tidaklah selalu menuai hasil baik….” “Maksud,
Syekh?” para murid Syekh Siti Jenar serempak bertanya dan terkejut.
——————- “Tidakkah andika melihat sabda alam tadi?” Syekh Siti Jenar
membelokkan tatapannya melalui jendela padepokan ke arah mentari yang
hampir menghilang di balik punggung gunung. “Alam memberikan pesan
berdarah?” “Saya belum paham?” Ki Chantulo garuk-garuk kepala. “Artinya
berujung pada kematian. Namun andika jangan takut akan kematian, sebab
cepat atau pun lambat pasti akan datang.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah
murid-muridnya dengan tatapan mata tenang dan penuh wibawa, “Makanya
saya ajarkan hamamayu hayuning bawana, agar memudahkan jiwa ini menyatu
dengan alam dan kembali padanya. Orang takut akan kematian karena mereka
menduga bahwa mati itu sangat sakit dan mengerikan. Padahal itu semua
tidak benar, mereka yang merasakan sakit akan mati karena sebuah
ketakutan dan ketidaksiapan. Padahal kapan pun dan dimana pun kita bisa
menemuinya. Tidak harus sakit atau menyakiti. Hal mati itu sangatlah
nikmat dan menyenangkan. Karena kematian itu sesungguhnya menyatunya
kembali jiwa kita pada dzat sebelumnya. Bukankah ketika kita belum lahir
ke dunia ini, apalagi belum beranjak menjadi manusia dewasa yang
mengerti baik dan buruk, ilmu dan akal, miskin dan kaya, senang dan
duka, bukankah hal itu tidak pernah kita rasakan sebelumnya? Itulah
karena kita berada dalam dzatnya, yang teramat tentram dan tidak terusik
oleh sesuatu dan apa pun.” urainya. “Bukankah kematian itu banyak orang
yang tidak mengharapkannya?” ujar Ki Pringgoboyo. “Ya,” Syekh Siti
Jenar berhenti sejenak, “Karena mereka tidak paham dan mengerti akan
kematian.” “Mungkin mereka takut mati karena terlalu sayang pada istri,
anak-anak, dan jabatannya?” Ki Bisono angkat bicara, “Sehingga dirinya
diliputi rasa takut akan meninggalkan orang-orang yang dicintainya,
serta harta benda dan kedudukannya. Akhirnya mati itu dibuatnya menjadi
sesuatu yang menakutkan dan menyakitkan, Syekh.” “Andika tidak salah, Ki
Bisono.” Syekh Siti Jenar menyapa wajah Ki Bisono dengan sorot matanya
yang teduh dan tenang. “Terlalu mencintai kehidupan duniawi, yang
bersifat fana dan sejenak. Lalu mereka lupa pada kehidupan hakiki,
kehidupan yang sesungguhnya, setelah melewati pintu mati. Padahal
kematian itu hanyalah sebuah pintu menuju keabadian yang didalamnya bisa
berbalut dengan kenikmatan, penderitaan, kesedihan, tawa, duka,
nestapa, itu semua tergantung kita menanamnya pada kehidupan sebelumnya,
yaitu di dunia ini. Hasil pekerjaan apa pun yang pernah kita perbuat di
dunia fana ini akan kembali kita tuai dan nikmati di alam sana. Bisa
bermacam-macam. Namun bagi kita yang mempelajari hamamayu hayuning
bawana tidaklah seperti itu. Apalagi kematian itu bukanlah suatu hal
yang menakutkan apalagi menyakitkan, tetapi kematian itu sesuatu yang
teramat indah dan menyenangkan. Jika mereka tidak bisa menemui ajal
kapan pun dan dimana pun, tetapi kita sebaliknya.” “Bisakah kita
menentukan ajal sendiri? Setidaknya mengetahui datangnya ajal?” tanya Ki
Bisono. “Tentu saja. Karena kita berbeda dengan orang kebanyakan yang
tidak mengetahui sama sekali akan ilmu hamamayu hayuning bawana.” Syekh
Siti Jenar menghela napas sejenak, “Bukankah telah saya katakan bahwa
ketika kita berada pada tahapan ma’rifat semuanya menjadi tampak. Lalu
kita berada dalam akrab. Setelah itu barulah manunggaling kawula gusti.”
“Ya, saya telah merasakannya pada tahapan ma’rifat. Semuanya jadi
tampak, tetapi saya kesulitan menuju tahapan akrab dan manunggaling
kawula gusti.” Kebo Kenongo berucap, “Meski pun demikian saya sedang
berupaya menuju ke tahap yang ingin saya capai.” ——————- “Itu pasti akan
tercapai, Ki Ageng Pengging. Selama kita tidak berhenti berusaha.”
terang Syekh Siti Jenar. “Syekh, saya ingin kembali menanyakan tentang
sabda alam tadi.” “Silahkan, Ki Chantulo!” “Maksud dari berita kematian
itu seperti apa? Bukankah kita semua pasti akan mati?””Benar, Ki
Chantulo. Namun maksudnya disini ada keterkaitan dengan Kerajaan Demak.
Kematian yang dimaksud disini terkait dengan para penguasa negeri Demak
Bintoro.” Syekh Siti Jenar menghentikan bicaranya, seraya jari-jemari
tangannya memainkan untaian mata tasbih, dari mulutnya meluncur dzikir,
istigfar, tahmid, tahlil dan tasbih. “Terkait pula dengan persoalan
keyakinan, terkait pula dengan kekacauan yang mengancam keamanan dan
ketentraman negara, terkait pula dengan banyak persoalan.” “Kenapa mesti
beritanya sampai kepada kita? Seakan-akan itu semua akan kita alami?”
“Ya,” “Jadi?” “Tidak perlu takut, bukankah saya sudah membekali andika
semua dengan ilmu sehingga tidak menjadikannya aneh dan menakutkan.
Sebaliknya kenikmatanlah yang akan kita sambut.” “Mengapa hal itu mesti
harus menimpa kita, Syekh? Bukankah kita tidak melakukan kesalahan?”
“Lupakah andika pada uraian saya tadi. Disini tidak lagi berbicara siapa
yang benar dan salah? Karena ini semua sudah menjadi kehendak alam,
sunatullah. Karena kehendak alam, makanya ilmu hamamayu hayuning bawana
sebagai penyempurnanya.” “Saya kurang paham?” Ki Biosono memijit
keningnya yang dikerutkan, lalu menatap tikar pandan yang didudukinya.
——————- “Rasanya, tidak perlu dipahami untuk saat ini. Pemahaman tentang
hal tadi akan andika genggam menjelang peristiwa itu mendekat.” terang
Syekh Siti Jenar tenang. “Meski andika tahu akan hal tadi, amalkanlah
hamamayu hayuning bawana. Bertebaranlah seperti sebelumnya andika di
atas tanah jawa dwipa ini untuk menyebarluaskan ajaran agama Islam.”
“Baiklah, Syekh. Saya tetap akan menebar rahmat bagi sekalian alam.
Rahmatan lil alamin, hamamayu hayuning bawana.” ujar Ki Bisono. “Karena
apa pun yang saya lakukan dalam penyebaran agama Islam ini bukan untuk
mencari popularitas, bayaran, apalagi jabatan atau kekuasaan, serta
pengaruh, namun itu semua saya dasari dengan keikhlasan dan
keridlaannya. Semoga pula Allah SWT. meridloinya.” “Amin.”
***
“Malam ini cuaca cerah. Lihatlah
bintang-gemintang berkedap-kedip di langit!” Joyo Dento mengangkat
kepalanya mendongak ke langit, ” Persiapkanlah diri kalian, senjata,
kuda, dan akal.” lalu menatap pasukan berpakaian serba hitam yang
berbaris rapih. Mereka sejumlah pasukan pemberontak yang telah mendapat
gemblengan olah kanuragan dari para pendekar berlatar rampok, Kebo
Benowo dan kawan-kawan. Disamping ilmu keprajuritan dari Joyo Dento.
“Bagaimana kesiapan andika semua?” Kebo Benowo keluar dari sebuah
pendopo yang dijadikan markas. Tempat yang mereka diami terpencil dari
penduduk, karena berada tepat di pinggiran hutan. “Saya kira mereka suda
siap, Ki Benowo.” ujar Joyo Dento mendekat. “Baguslah jika telah siap.”
Kebo Benowo mengangguk-angukan kepala. “Sasaran pertama?” “Tentu saja
sesuai dengan rencana.” Joyo Dento setengah berbisik, “Malam ini kita
harus bisa melumpuhkan Kademangan Bintoro. Jika sudah berhasil, langsung
kita duduki dan kuasai. Disanalah selanjutnya pusatkan sebagian
kekuatan kita, lalu perlebar sayap.” “Hahaha….andika memang cerdas,
Dento.” raut wajah Kebo Benowo berseri, “Namun sudah memungkinkankah
kita menggempur Kademangan Bintoro?” “Saya kira mungkin, Ki Benowo.
Sebab kekuatan Kademangan Bintoro sudah melemah. Daya pikir rakyatnya
sudah terpengaruh dengan ajaran hidup untuk mati. Yang andika ajarkan
dari Syekh Siti Jenar itu, sehingga mereka banyak yang bunuh diri dan
tidak semangat hidup.” terang Joyo Dento, “Apalagi membela negerinya
dari serangan kita, memikirkan diri sendiri pun sudah tidak tenang.”
“Benar, Dento.” seringai Kebo Benowo, “Hebat juga pengaruh ilmu Syekh
Siti Jenar jika demikian…terutama untuk membuat kekacauan.” “Kapan kita
akan berangkat?” Loro Gempol menyilangkan golok di dadanya, “Rasanya
saya sudah tidak sabar ingin memenggal leher penguasa Kademangan
Bintoro!” ——————- “Kita akan melakukan penyerangan jelang tengah malam.”
jawab Joyo Dento. “Ketika mereka lengah dan baru saja menuju tempat
tidur untuk bercengkrama dengan mimpi-mimpinya.” “Ya, saya setuju!” ujar
Loro Gempol diiringi tawanya yang berderai. “Hai, para pasukan gelap
sewu! Andika dalam penyerangan nanti jangan ragu-ragu untuk membunuh.
Tidak perlu kalian mengasihani musuh sebelum mereka bertekuk lutut!”
“Siap!” jawab pasukan gelap sewu serempak. “Hahaha…bagus jika andika
semua sudah siap! Kita akan bergerak dan bertindak sesuai rencana yang
telah disusun Joyo Dento.” terang Loro Gempol. Mereka percaya sepenuhnya
pada setiap nasehat Joyo Dento. Malam semakin larut, udara terasa
semakin dingin, mengusik pori-pori kulit meski berpakaian tebal tetap
terasa. Meski berada dalam ruangan tetap angin malam menyelinap melalui
lubang-lubang angin yang membentengi pendopo Kademangan Bintoro. Di
ruang pendopo Kademangan Bintoro tampak Ki Demang, Ki Sakawarki, ulama
yang dianggap berilmu paling tinggi di Kademangan, juga beberapa
santrinya, dan ditambah beberapa prajurit senior. “Itulah hasil
perundingan saya dengan para wali dan ulama di masjid Demak, Ki
Sakawarki.” ujar Ki Demang Bintoro. “Jika memang demikian keputusan
sidang para wali, insya Allah saya mulai besok akan melakukan
penyelidikan yang lebih mendalam tentang ajaran Syekh Siti Jenar.” ujar
Ki Sakawarki. “Mohon maaf, Guru.” ujar Santri penuh hormat, “Menurut
yang saya ketahui, sesungguhnya bukan hanya rumor. Namun benar bahwa
ajaran Syekh Siti Jenar yang menyesatkan telah tersebar di Kademangan
Bintoro.” “Benarkah?” “Benar, Guru. Kemarin saya melewati pasar, di sana
banyak orang miskin yang berbicara ngelantur. Serta dari mulutnya
komat-kamit menyebut nama syekh Siti Jenar.” “Apa yang dibicarakannya?”
Ki Sakarwaki menyapu wajah santri dengan tatapan matanya, “Ngelanturnya
seperti apa sehingga andika menyimpulkan sesat?” “Mereka berbicara bahwa
hidup itu lebih indah dari pada mati. Tidak ada artinya kita hidup jika
hak kita dirampas oleh penguasa Demak. Hidup untuk mati, mati itu
indah, hidup Syekh Siti Jenar!” ki santri berhenti sejenak, “Itulah yang
saya dengar dan lihat, Guru.” “Mati itu indah? Celaka!” Ki Sakawarki
terperanjat. “Yang paling celaka, mereka telah berani mengatakan bahwa
hak hidup mereka dirampas oleh penguasa Demak.” Ki Demang tersentak,
mukanya berubah angker, “Beraninya Syekh Siti Jenar mengajari rakyat
Kademangan Bintoro untuk berkata lancang! Jelas selain menyesatkan juga
punya tujuan makar terhadap pemerintahan yang syah.” “Benar pendapat, Ki
Demang!” Ki Sakawarki menganggukkan kepala, tangannya terkepal giginya
gemeretak. “Sudah sepantasnya kita mengadakan tindakan dengan segera!”
“Ya, Ki Sakawarki. Saya kira alasan seperti itu sudah cukup untuk
melakukan penangkapan terhadap Syekh Siti Jenar dan pengikutnya.” Ki
Demang Bintoro bangkit dari duduknya, tangannya dikepalkan sekuat
tenaga. “Karena mereka telah melakukan dua kesalahan. Pertama
menyampaikan ajaran sesat, kedua telah berani mempengaruhi rakyat untuk
berbuat makar.” “Apakah kita akan langsung menangkap Syekh Siti Jenar?
Atau segera melaporkan hal ini pada Para Wali dan Raden Patah?” “Sebelum
melaporkan ke kerajan Demak dan para Wali sebaiknya kita melakukan
penangkapan terlebih dahulu pada pengikutnya. Agar pelaporan kita
disertai oleh bukti yang meyakinkan.” ujar Ki Demang. “Besok pagi saya
akan memerintahkan beberapa orang prajurit untuk melakukan penangkapan!
Saya minta agar Ki Sakawarki beserta para santri menyertainya!”
“Baiklah, Ki Demang. Besok pagi akan saya kerahkan para santri menyertai
para prajurit kademangan untuk melakukan penangkapan.” ——————- “Bagus.”
“Serbuuuuuuu!!!!” tiba-tiba terdengar teriakan di halaman kademangan,
dibarengi suara benturan senjata. “Ada apa diluar sana?” Ki Demang
Bintora tersentak kaget, belum juga mulutnya terkatup sudah diusik oleh
suara yang menganggetkan. “Sepertinya ada peretempuran, Ki Demang?” Ki
Sakawarki bangkitdari duduknya seraya menghunus keris, begitu juga para
santrinya. “Ke….” belum juga Ki Demang melanjutkan perkataannya, dengan
tergesa masuklah seorang prajurit penjaga. Langsung merunduk di hadapan
Ki Demang seraya menghaturkan sembah. “Mohon ampun, Ki Demang.” “Apa
yang terjadi diluar sana?” “Celaka, Ki Demang. Kademangn kita telah
diserbu para murid Syekh Siti Jenar….” “Murid Siti Jenar?” Ki Sakawarki
tercengang. “Itulah yang mereka sebut-sebut ketika melakukan penyerangan
di luar sana.” terang prajurit. “Berarti itu bukan hanya dugaan, Ki
Sakawarki. Tetapi benar yang kita simpulkan tadi. Mau tidak mau sekarang
juga harus bertindak dan mengadakan perlawanan.” Ki Demang segera
memasuki kamarnya, seraya kembali menghunus pedang dan mengenakan
pakaian perang. “Seluruh prajurit harus berperang dan menumpas
antek-antek Syekh Siti Jenar. Jangan segan-segan untuk bertindak tegas!”
selanjutnya keluar dari ruangan, diikuti Ki Sakawarki beserta para
santrinya dan pasukan prajurit. ——————- Dalam keremangan malam yang
diterangi kerlap-kerlipnya bintang di langit. Bulan belum lagi menjadi
purnama, di pelataran kademangan Bintoro tampak berkelebatannya bayangan
prajurit dan pasukan Gelap Sewu yang sedang bertarung. “Hahaha…..jangan
sisakan yang tidak mau menyerah. Ilmu Syekh Siti Jenar menyertai kita!”
teriak Loro Gempol yang berada di atas punggung kuda, menerobos pasukan
lawan sambil membabatkan goloknya. “Tobaattttt….!” teriak seorang
prajurit yang terkena sabetan golok Loro Gempol, terhuyung dan roboh
dengan luka parah di lambungnya. “Hahaha….perlihatkanlah kehebatan
kalian para prajurit dan petinggi negeri Demak! Saya yakin ilmu para
wali tidak akan bisa mengalahkan ilmu guru kita, Syekh Siti Jenar yang
agung.” Loro Gempol terus mengamuk, menerjang gelombang pasukan prajurit
Kademangan Bintoro yang berlapis-lapis. “Ki Demang, dengarlah teriakan
lelaki yang sedang mengamuk dan berusaha menerobos lapisan prajurit
kita!” bisik Ki Sakawarki. “Benar, ternyata dia murid Syekh Siti Jenar.”
Ki Demang Bintoro menggeleng-gelengkan kepala. “Betapa angkuhnya dengan
kesaktian yang dimilikinya, Ki Sakawarki?” “Mengagunggkan Syekh Siti
Jenar dan merendahkan para wali terhormat, Ki Demang.” “Sanggupkah
kiranya kita mengalahkan mereka?” “Tidak perlu ragu, Ki Demang. Saya
punya keyakinan Allah SWT. akan melindungi kita. Lihatlah jumlah pasukan
kita lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan pasukan musuh yang
berpakaian serba hitam.” “Saya kira pasukan mereka harus ditutup ruang
geraknya. Lalu robohkan pimpinannya yang sedang mencoba menembus lapisan
pertahanan para prajurit. Jika pimpinannya roboh mereka akan mundur.”
ujar Ki Demang Bintoro. “Biar saya yang akan loncat dan merobohkannya!”
ujar Ki Sakawarki seraya bersiap-siap untuk loncat. “Kelihatannya dia
bukanlah orang yang mudah dikalahkan. Karena tebasan senjata para
prajurit seakan-akan tidak bisa melukai tubuhnya.” “Ki Demang, saya kira
di dunia ini tidak ada orang yang hebat kecuali Allah. Tidak ada
salahnya jika saya mencoba menghadapinya demi mempertahankan tanah
tercinta dari kedzaliman. Maka jihadlah jalan keluarnya.” Ki Sakawarki
tanpa menunggu ucapan Ki Demang berikutnya, seraya dirinya menghunus
keris dan melesat ke angkasa melewati barisan prajurit yang
berlapis-lapis. “Hiaaaaattttt…….!!!!” “Pasukan pemanah bersiaplah kalian
di belakangku! Jika pasukan terdesak, bertindaklah kalian!” “Siap, Ki
Demang!” pasukan pemanah bersiap, untuk melepas anak panah. Busurnya
sudah dipegang dengan kuat, talinya ditarik, anak panahnya dipasangkan,
tinggal melepas sesuai perintah. Tubuh Ki Sakawarki yang melayang di
angkasa terlihat sangat enteng dan ringan, bagaikan burung elang dengan
sorot matanya yang tajam. Lalu menukik ke bawah, berbarengan dengan
tendangan kaki kanannya yang menghantam dada Loro Gempol. ——————-
“Aduhhhh….!!!” betapa terperanjatnya Loro Gempol, ketika ada lelaki
berjubah putih yang turun dari langit dan mengirimkan tendangan keras ke
arah dadanya, hingga dirinya terpental dan jatuh dari punggung kuda.
“Makhluk apakah yang menendang dadaku hingga terasa sesak dan
panas….membakar sekujur tubuhku….” “Bukankah andika murid Syekh Siti
Jenar yang sakti?” Ki Sakawarki melayang dan berdiri dihadapan Loro
Gempol yang terhuyung, seraya tangan kirinya memegang dada. “Siapa
andika? Mengapa bisa terbang seperti Syekh Siti Jenar guru saya?” “Saya
Sakawarki, muridnya Sunan Kalijaga. Andika mengaku muridnya Syekh Siti
Jenar dan menganggap remeh para wali. Ternyata ilmu yang andika pelajari
dari Syekh Siti Jenar tidak seberapa?” Ki Sakawarki mendekat, “Andika
harus ditangkap karena telah berani melakukan pemberontakan dan……”
Hiatttt….belum juga Ki Sakawarki selesai berbicara, Kebo Benowo dengan
cepat menyambar tubuh Loro Gempol yang terhunyung-huyung. Dinaikan ke
atas kuda dan melarikan diri dari pertempuran. “Mundurrrrrrr!!!!” teriak
Kebo Benowo, seraya memacu kudanya dengan cepat. “Jangan lari keparat!”
Ki Sakawarki bersiap untuk mengejar, namun Lego Benongo menghadangnya.
“Kematian itu indah, kehidupan ini adalah penderitaan. Karena kematian
lebih baik dari hidup miskin dan terjajah, hamamayu hayuning bawana.”
ujar Lego Benongo, seraya menyilangkan golok di dadanya. “Tidak salah
yang andika ucapkan, Ki Sanak?” Ki Sakawarki mengurungkan gerakan
silatnya, sejenak berdiri dan mencerna ucapan Lego Benongo. “Mungkin
inikah yang dinamakan sesat?” “Siapa yang sesat? Andikalah dan para
wali, juga penguasa negeri Demak Bintoro yang sesat?” lalu Lego Benongo
menyelinap di antara lautan prajurit yang merangsek, setelah itu
melarikan diri. “Aku jadi kehilangan kejaran.” Ki Sakawarki mengincar
salah seorang pasukan gelap sewu untuk ditangkap. Mereka terlihat
berlarian dari medan tempur setelah pimpinannya menghilang ditelan
gelapnya malam. “Sulit juga menangkapnya. Mereka pintar menyelinap!”
“Kademangan Bintoro telah terbebas dari pemberontak!” teriak para
prajurit. Sebagian berjaga-jaga, yang lainnya menolong yang terluka,
serta mengangkut korban tewas. “Ki Sakawarki, benar bukan mereka
muridnya Syekh Siti Jenar?” Ki Demang Bintoro berdiri di samping Ki
Sakawarki. “Ya, namun mungkinkah beliau mengajarkan ajaran seperti ini?”
“Mengapa tidak mungkin?” ujar Ki Demang, “Bukankah kita sudah berhasil
menangkap hidup-hidup salah seorang muridnya yang mengaku anggota
pasukan gelap sewu. Orang ini kita bawa ke pusat kota Demak untuk
memasuki persidangan para wali sebagai saksi dan bukti.” “Dimana dia?”
“Dia berada dalam penjagaan para prajurit.” Ki Demang menunjuk ke utara,
seraya kakinya melangkah pelan. “Mari kita tanyai!” ——————- “Baiklah,
mudah-mudahan bisa memperkuat dugaan kita dalam persidangan di majelis
para wali.” Ki Sakawarki melangkah pelan disamping Ki Demang Bintoro.
Ketika langkah keduanya hampir mendekat, para prajurit penjaga
berteriak. Menyampaikan kabar bahwa, murid Syekh Siti Jenar bunuh diri
dengan membenturkan kepalanya ke dinding hingga kepalanya pecah.
Mendengar kabar demikian, Ki Sakawarki dan Ki Demang terkejut. Keduanya
saling tatap seraya mengurut dada dan menarik napas dalam-dalam. “Sangat
kuat pengaruh ajaran Syekh Siti Jenar, Ki Sakawarki.” Ki Demang Bintoro
menggeleng-gelengkan kepala saat melihat jasad anggota pasukan Gelap
Sewu yang terbujur kaku dengan kepala pecah, berlumuran darah. “Ajaran
hidup mati, mati hidup.” “Ki Demang, kita sudah bisa mengambil
kesimpulan bahwa benar ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat dan
menyesatkan.” Ki Sakawarki berjongkok disamping jasad. “Cukup bukti kita
untuk kembali melaporkan hal ini ke hadapan para wali, Ki Sakawarki.”
“Benar, kita harus segera melapor ke pusat kota Demak!” Demang Bintoro
menganggukan kepala. “Sebagai bukti tidak ada salahnya jika jasad ini
dibawa.” “Menurut hemat saya sebaiknya jasad ini kuburkan saja di sini
selayaknya. Kasihan jika harus dibawa ke Demak, sebab perjalanan kita
memakan waktu hampir seharian. Setelah itu baru keesokan harinya kita
bisa menguburkan setelah diperiksa para wali.” terang Ki Sakawarki.
“Tidak ada salahnya jika jasad ini dikuburkan berbarengan dengan korban
lainnya.” “Tapi dia beraliran sesat, Guru?” ujar seorang santri yang
berjongkok disampingnya. “Ajarannya yang kita anggap sesat. Bukankah
jasadnya tetap perlu kita hormati dengan penguburan yang selayaknnya.”
terang Ki Sakawarki. “Saya setuju,” Demang Bintoro menganggukan kepala,
“Prajurit kuburkanlah mereka dengan layak, begitu juga para korban tewas
lainnya.” lalu memerintah.
***
Padepokan Syekh Siti Jenar yang berada di
kaki bukit Desa Khendarsawa, tampak hening. Matahari pagi mulai
meninggi, kirimkan sinar terang dan kehangatannya. Cahayanya menerobos
setiap celah dan ruang yang berada di atas bumi, tidak ada kecuali,
tidak pula membeda-bedakan, seluruhnya terbagi sesuai dengan ketinggian
matahari berada. Nun jauh di atas jalan yang terbentang panjang dan
penuh kelokan, dua orang penunggang kuda bergerak cepat. Jalan yang
membelah Desa Khendarsawa akan melintas ke arah padepokan Syekh Siti
Jenar. ——————- Penunggang kuda yang berada disampingkanannya tampak
tegap dan kuat, tangan kirinya menuntun kuda disebelahnya, tampak
terhuyung. Meringis kesakitan, tangannya berkali-kali memijit dadanya.
“Aduhhhhh…..sakit…sesak….” keluhnya. “Tenang, Gempol. Padepokan Syekh
Siti Jenar telah dekat.” ujar Kebo Benowo, mempercepat langkah kuda yang
ditungganginya. “Saya sudah tidak kuat lagi, Ki Benowo.” keluh Loro
Gempol, “Punya ajian apa sesungguhnya Kiai Kademangan Demak itu?” “Saya
juga tidak tahu, Gempol.” terang Kebo Benowo, “Kita tanyakan semua ini
pada guru kita di padepokan nanti. Hussss…hiahhh!” Kuda yang ditunggangi
Kebo Benowo dan Loro Gempol, berhenti di kaki bukit, persis di depan
jalan menanjak. Tanah bukit yang dipapas menyerupai anak tangga
bertingkat itu tepat berada di bawah padepokan Syekh Siti Jenar. Kebo
Benowo loncat dari atas kuda, perlahan menurunkan Loro gempol yang
terhuyung. Keduanya menaiki tangga dengan berat, setelah mengikat kedua
kuda tunggangannya di bawah pohon rindang. “Keparat!” geram Loro Gempol,
“Keterlaluan Syekh Siti Jenar ini, tinggal di dataran tinggi…..”
keningnya meneteskan keringat dingin, tangannya memijat dada, langkahpun
tidak seimbang. “Tidak perlu bicara seperti itu, Gempol.” bisik Kebo
Benowo. “Adikan masih tidak menyadari juga kalau guru kita ini memiliki
kesaktian tinggi? Apa pun yang kita bicarakan meskipun jauh beliau bisa
mendengarnya.” “Omong kosong! Jika memang demikian tentu dia tahu ketika
kita berada dalam kesulitan….” gerutu Loro Gempol. “Sssssssttttttt…”
Kebo Benowo meletakan telunjuk dimulutnya. “Andika belum paham juga
dengan ajaran hamamayu hayuning bawana.” terdengar suara Syekh Siti
Jenar tepat ditelinga keduanya, “….bukankah kalian tidak boleh menebar
kerusakan dimuka bumi ini, justru harus sebaliknya.” “Syekh?” Kebo
Benowo terperanjat, begitu juga Loro Gempol. “Tuh, benar yang saya
katakan, Gempol?” “Ya,…..” wajah Loro Gempol mendadak pucat dan cemas.
“Maafkan saya, Syekh. Tidak ada maksud untuk menjelekan…” lalu memutar
kepalanya, mencari wujud yang memiliki suara. ——————- “Andika tidak akan
bisa melihat saya di sana. Karena wujud saya tidak di sana.” suara
Syekh Siti Jenar semakin menempel di dalam gendang telinga keduanya.
“Dimanakah, Syekh?” teriak Kebo Benowo, tidak menghentikan langkahnya.
Hingga keduanya telah berada di atas tangga terakhir, dalam jarak
beberapa depa dari gerbang padepokan. “Itu beliau, sedang
berbincang-bincang dengan Ki Ageng Pengging.” matanya terbelalak. “Lalu
suara tadi?” Loro Gempol menggeleng-gelengkan kepala. “Bukankah yang
berada di halaman padepokan itu Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng pengging?
Sedang bercakap-cakap. Mengapa suaranya…..” “Syekh, ketika saya sudah
berada dalam tahapan ma’rifat, sangatlah sulit untuk mengungkapkannya
dengan kalimat.” Kebo Kenongo berdiri dihadapan Syekh Siti Jenar.
“Tadinya saya ragu, tidak bisa mencapainya.” “Ya, itulah ma’rifat.”
Syekh Siti Jenar menganggukan kepala, “Terasa lebih nikmat dibanding
berada pada tahapan thariqat.” “Benar, Syekh.” Kebo Kenongo menganggukan
kepala, “Kenikmatan dalam ma’rifat sepertinya sangat indah. Dunia ini
terasa sangatlah kecil dan tidak berarti….” “Ma’rifat itu berada dalam
alam jiwa, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar mengibaskan jubah hitam
yang berlapis kain merah di dalamnya. “Sedangkan kita sekarang berada
dalam alam jiwa dan jasad. Jasad tetap harus terbungkus pakaian dan
jubah, meski bukan kepuasan, tetapi hanyalah syarat yang dinamakan
kehidupan bagi orang kebanyakan. Satukanlah jiwa dan jasad itu, maka
disitulah ma’rifat seutuhnya akan terwujud.” “Jadi ma’rifat yang saya
alami belum utuh, Syekh?” “Tentu.” Syekh Siti Jenar menganggukan kepala.
“Kita sebelum mengenal Gusti dan menuju akrab, hendaklah mengenali dulu
diri sendiri. Ki Ageng Pengging, saat ini sudah masuk pada tahapan yang
saya maksud.” “Jadi saya baru mengenal diri?” “Setelah itu kenalilah
Gustimu, barulah akrab. Sebelum akrab ma’rifatlah seutuhnya.” terang
Syekh Siti Jenar, “Satukanlah yang tercabik, genapkanlah yang ganjil,
dekatkanlah yang jauh, rapatkanlah yang renggang. Hingga manunggaling
kawula wujud.” “Manunggaling kawula wujud?” “Maunggaling kawula wujud,
ma’rifat seutuhnya. Tahapan orang yang mengenal dirinya, hingga
berikutnya manunggaling kawula gusti. Wujud adalah jiwa, jiwa adalah
jasad, jasad maujud jiwa, jiwa maujud jasad.” Syekh Siti Jenar berhenti
sejenak, perlahan tubuhnya menembus pohon, lalu mengeluarkan sebelah
tanganya dari dalam. “Saya berada dalam pohon, setelah itu kembali.”
“Ya, Allah.” Kebo Kenongo terkagum-kagum, matanya seakan-akan tidak bisa
berkedip, menyaksikan Syekh Siti Jenar yang telah keluar dari dalam
batang pohon. “Betapa hebatnya ilmu yang Syekh miliki.” “Ilmu itu milik
Allah. Saya adalah manusia biasa, itu hanya menjelaskan manunggaling
kawula wujud. Hingga wujud ini bisa menjadi halus seperti jiwa, jiwa pun
bisa keras seperti wujud.” lalu Syekh Siti Jenar duduk bersila di atas
rumput hijau, tidak bergerak. Perlahan keluar satu sosok Syekh Siti
Jenar lain, lalu melangkah mengitari yang sedang bersila. “Inilah jiwa,
inilah jasad, maka menyatu, manunggaling kawula wujud.” ——————-
“Subhanallah…..” Kebo Kenongo terbelalak untuk kesekian kalinya, kedipun
seakan-akan hilang dari kelopak matanya. “Itulah manunggaling kawula
wujud. Dalam tahapan ma’rifat seutuhnya manusia bisa memisahkan jiwa
dengan jasad, menyatukannya kembali. Namun itu bukanlah mati, sebab
jasad yang saya lepas dalam keadaan hangat. Hanya gerak dan geriknya
berada di luar.” “Lantas orang yang bisa meringankan tubuh dan
mengeluarkan tenaga dalam, membuat musuh terpental, berada pada tahapan
apa?” “Dalam tahapan syariat.” Syekh Siti Jenar lalu memukul batu padas
seukuran kelapa, diremasnya hingga bertebaran laksana debu. Jasadiah
yang dilatih akan menghasilkan kanuragan, dipadukan dengan batin keluar
tenaga dalam.” lalu membuka telapak tangan dan dihentakan pada batang
pohon. Krak, patah, dan jatuh di samping Kebo Kenongo. Kebo Benowo dan
Loro Gempol sama sekali tertahan menyaksikan Syekh Siti Jenar dengan
ilmunya yang tinggi sangat sulit mencari bandingannya. “Harus selalukah
mengeluarkan tenaga dalam dengan batin?” “Maksud batin disini bukanlah
ada pada tingkatan ma’rifat, tetapi pikiran dan hati yang terfokuskan.
Konsentrasi.” terang Syekh Siti Jenar, “Untuk mencapai ilmu kanuragan
dan sebangsanya yang meliputi kekuatan jasadyah, tidak perlu mencapai
ma’rifat.” “Termasuk hakikat dan thariqatnya?” “Benar, karena kanuragan
masih berada dalam lingkar jasadyah, keangkuhan, kesombongan, emosional,
semangat untuk mencari lawan, memukul, dan amarah.” “Saya paham,
Syekh.” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepalanya, “Meskipun sangat
hebat dan sakti orang yang berada dalam tahapan ma’rifat tidak akan
sewenang-wenang mempertontonkan kesaktiannya, karena segala hal dalam
dirinya telah terkendali termasuk nafsunya.” “Ki Ageng Pengging, jangan
melupakan kebutuhan jasad! Meski kita berasa pada tahap ma’rifat
seutuhnya.” ujar Syekh Siti Jenar, “Kebutuhan jasad adalah syarat hidup,
meski sebetulnya tidak makan pun tidak akan merasa lapar. Namun kita
makluk yang memiliki jasad, janganlah menyiksa dan memenjarakan
kebutuhannya.” “Saya paham, Syekh.” Kebo Kenongo mengangguk. “Ma’rifat
itu seakan kita berada di atas ketinggian dan bisa mencapai ke segala
arah, menyentuhnya, merubahnya, menikmatinya, merasakannya….”
“Lanjutkanlah, sempurnakanlah ma’rifat itu…..” Syekh Siti Jenar
melangkah pelan. “Syekh,” rintih Loro Gempol, baru berani mendekat.
“Sembuhkanlah dada saya yang terasa sakit dan sesak.” “Andika mendapat
tendangan petir geni dari Ki Sakawarki. Tentu saja akan terasa sesak dan
panas….” Syekh Siti Jenar hanya dengan tatapan matanya, mengobati rasa
sakit yang di derita Loro Gempol. “Terimakasih, Syekh.” Loro Gempol
dengan penuh hormat mencium kaki Syekh Siti Jenar. “Saya sudah kembali
pulih. Syekh, benar-benar sakti. Bisakah semua ilmu yang Syekh miliki
diturunkan pada saya?” “Jika andika mau,” Syekh Siti Jenar mengangkat
bahu Loro Gempol agar tidak lagi mencium kakinya. “….dan sanggup
menjalaninya.” “Tidak bisakah jika ilmu kesaktian Syekh langsung
diturunkan pada saya?” “Ilmu kanuragan sangat mudah diturunkan! Namun
untuk mencapai tahapan ma’rifat perdalamlah sendiri, saya hanya memberi
petunjuk.” “Baiklah, kalau ilmu ma’rifat lain kali saja. Sekarang
turunkanlah ilmu menendang yang lebih hebat dari Ki Sakawarki.”
“Pulanglah! Ilmu itu sudah andika miliki.” “Benarkah itu, Syekh?”
“Tendanglah batu padas itu!” Syekh Siti Jenar mengarahkan telunjuknya
pada batu padas yang seukuran tubuh kerbau. Terletak di halaman
padepokan. ——————- “Hiattttt!” Loro Gempol loncat, tendangannya
menghantam batu. Tidak pelak lagi, hancurlah berkeping-keping.
“Terimaksih, Syekh. Akhirnya saya bisa mebalas Ki Sakawarki. Sekarang
juga saya mohon pamit.” “Gempol….Gempol…” Kebo Kenongo hanya
menggelengkan kepala menyaksikan Loro Gempol dan Kebo Benowo, yang sudah
turun dari padepokan Syekh Siti Jenar. Hingga lenyap ditelan
ketinggian. “Masih ada orang seperti dia? Kenapa pula Syekh memberikan
ilmu dengan mudah kepada mereka?” “Tidak sepantasnya kita sebagai
makhluk Allah menyembunyikan ilmu.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Kebo
Kenongo dengan tatapan matanya. “Jika itu dilakukan maka kita
bertentangan dengan sipat Allah yang Maha Pemurah, Maha Pengasih, dan
Maha Penyayang. Kikir itu adalah sipat Syetan, menyembunyikan pun
demikian. Bergerak luruslah dengan sipat-sipat Allah, menyatulah
didalamnya. Karena sipat-sipat Allah itu bukan untuk dibicarakan dan
dibahas secara panjang lebar, tetapi harus diamalkan.” “Mengamalkan
itulah yang berat, Syekh.” ujar Kebo Kenongo. “Kebanyakan manusia
terkadang sangat keberatan jika orang lain menginginkan ilmu yang
dimilikinya?” “Tentu saja. Karena masih menyatu dengan kebalikan
sipat-sipat Allah, yang saya ungkap tadi.” Syekh Siti Jenar berhenti
sejenak, “Terkadang manusia berpikir, betapa susah untuk meraih ilmu,
betapa berat untuk mendapatkannya, betapa harus berkorban tenaga dan
harta untuk meraihnya, maka jika demikian haruskah diberikandengan
cuma-cuma?” “Syekh sendiri?” “Itulah saya seperti Ki Ageng Pengging
lihat. Mengapa lagi harus menentang sipat-sipat Allah jika kita sudah
berada dalam lingkarnya, bukankah kita berada dalam manunggalnya.”ujar
Syekh Siti Jenar. “Apalagi yang saya inginkan?” “Meski saya kurang
begitu paham maksudnya, sedikit-demi sedikit akan berusaha
mencernanya.”Kebo Kenongo menempelkan telunjuk dikeningnya. “Pantas saja
sangat jarang orang pemurah semacam, Syekh. Karena mereka masih berada
dalam tahap syariat, kebutuhan jasadyahlah yang paling utama. Hingga
saya berpendapat apalagi yang tidak bisa Syekh dapatkan? Semuanya berada
dalam genggaman.” “Nafsu duniawi itu akan sirna, seperti saya uraikan
sebelumnya.” “Kenapa Sunan Kalijaga dan para wali yang setarap ilmunya
dengan Syekh lebih menyukai berada dalam lingkar kekuasaan?” “Itu bukan
tujuan mereka untuk meraih kekuasaan. Terutama Sunan Kalijaga, jika dia
ingin berkuasa tentu sudah menjadi raja. Karena dia seperti halnya Ki
Ageng Pengging keturuan darah biru.” terang Syekh Siti Jenar, “Sunan
Kalijaga setelah memperdalam ajaran Islam, melepas kekuasaan dan
keduniawian, terutama sekali setelah berada dalam tahapan seperti saya.
Dia berada dalam lingkar kekuasaan Demak, semata untuk menyebarluaskan
syariat Islam. Bukan berarti gila kekuasaan atau membuntuti penguasa
untuk mendapatkan keuntungan. Dia lebih cenderung untuk menterjemahkan,
menyampaikan, mengamalkan, ajaran tadi dalam tahapan syariat, juga ilmu
politik, sosial, dan budaya.” “Apakah dia mengajarkan pula ilmu
ma’rifat?” “Tentu saja.” terang Syekh Siti Jenar, “Namun Sunan Kalijaga
tidak seperti saya cara mengajarkannya. Lihatlah tentang gamelan dan
wayangnya, lihatlah tentang shalat yang lima waktu…..” “Saya paham,
Syekh.” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepala. “Dia tidak mudah
memberikan ilmu yang lebih tinggi tahapannya….” “Lihatlah tangga yang
menuju padepokan saya, Ki Ageng Pengging!” ——————- “Bertahap?” gumam
Kebo Kenongo, “Mengapa Syekh memberikan apa saja yang diminta orang
tanpa melalui tahapan?” “Bukankah tadi telah saya uraikan? Kenapa tidak
jika saya telah berada dalam lingkar dzat Maha Pemurah, Maha Pengasih,
dan Maha Penyayang. Manunggaling Kawula Gusti.” “Hhhhhmmmmmm….” Kebo
Kenongo menarik napas dalam-dalam, pikirannya mencoba mencerna segala
uraian yang telah disampaikan Syekh Siti Jenar. Terkadang gampang
dicerna, kadang pula sangat berat untuk dipahami. “Saya akan berusaha
sekuat tenaga untuk mencapainya. Namun yang dimaksud Manunggaling Kawula
Gusti menurut Syekh?” “Manunggaling Kawula Gusti?” Syekh Siti Jenar
lantas berdiri di atas satu kaki, “Saya berikan dua arti; pertama
manunggaling sifat, kedua manunggaling dzat.” “Maksudnya?” “Manunggaling
sifat,” Syekh Siti Jenar kembali berdiri di atas dua kakinya, lalu
melangkah perlahan. “Sebelumnya saya akan bertanya pada, Ki Ageng
Pengging. Apa rasanya gula? Apa pula rasanya garam?” “Tentu saja gula
manis, dan garam asin.” “Berikan pula gula dan garam ini pada seratus
orang. Biarkan mereka mengecap dengan lidahnya, lalu tanya oleh Ki Ageng
Pengging.” “Semuanya akan mengatakan sama, Syekh. Manis dan Asin. Meski
dikasihkan pada seribu orang.” “Itulah yang dikatakan manunggaling
sifat.” “O…ya…” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan kepalanya.
***
“Selamat datang di Masjid Demak, Pangeran
Bayat.” ujar Sunan Giri, lalu duduk bersila di samping Sunan Kudus,
Sunan Muria, tidak ketinggalan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. “Saya
kembali kedatangan Ki Sakawarki dan Ki Demang Bintoro.” tatapan matanya
menyapu wajah kedua orang yang disebutnya, duduk berhadapan.
“Terimakasih, saya mendengar kabar burung tentang ajaran sesat yang
disebarluaskan Syekh Siti Jenar.” Pangeran Bayat menatap Demang Bintoro,
“Ajaran sesat macam apa?” “Sampaikanlah kabar terbaru tentang ajaran
Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, Ki Demang!” ujar Sunan Giri. ——————-
“Gusti Pangeran, juga Kanjeng Sunan yang saya hormati, ajaran itu
benar-benar menyesatkan. Hidup itu untuk mati, mati itu untuk hidup,
akhirnya banyak rakyat Kademangan Bintoro yang bunuh diri.” Ki Demang
berhenti sejenak, “Saya selanjutnya melakukan penyelidikan bersama Ki
Sakawarki. Ternyata bukan hanya isapan jempol belaka tentang kesesatan
ajaran Syekh Siti Jenar itu.” “Saya semula tidak percaya tentang ajaran
sesat Syekh Siti Jenar.” tambah Ki Sakawarki, “Tapi ketika mendengar
langsung dan menyaksikan barulah percaya.” “Adakah penyimpangan lain
dari ajaran Islam yang berkaitan dengan aqidah?” tanya Sunan Giri.
“Tentu saja, Kanjeng.” Ki Sakawarki menganggukan kepala, “Mereka tidak
mesyariatkan shalat lima waktu, begitu pula kewajiban lainnya.”
“Menyimpang dan sesat secara aqidah!” Sunan Giri geram. “Benarkah mereka
juga melakukan tindakan makar? Selain menyebarluaskan ajaran sesatnya?”
tanya Pangeran Bayat. “Itulah yang kami saksikan.” jawab Demang
Bintoro. “Dengan bukti melakukan penyerangan terhadap Kademangan.”
“Keparat!” muka Pangeran Bayat merah padam, “Saya kira dibelakang semua
ini Ki Ageng Pengging juga punya kepentingan?” “Mungkin? Karena merasa
masih keturunan Majapahit, Gusti?” tambah Demang Bintoro. “Yang paling
mencolok mereka menyebut nama pimpinan pemberontak Kebo Ben….” “Jika itu
Kebo Kenongo, maka dugaan saya benar.” potong Pangeran Bayat. “Karena
Kebo Kenongo nama lain dari Ki Ageng Pengging….” “Disini telah berbaur
antara aqidah islam dan politik…..” “Benar, Kanjeng Sunan Kalijaga!”
potong Pangeran Bayat, “Untuk itu kita tidak bisa membiarkan hal ini
terjadi. Sebab jika dibiarkan akan mengancam keutuhan negeri Demak
Bintoro.” ‘Padahal maksud saya tidak seperti itu, Kanjeng?’ Sunan
Kalijaga beradu tatap dengan Sunan Bonang, memulai percakapan dengan
batinnya. ‘Saya kira tidak perlu mencampuri persoalan ini terlalu jauh,
Kanjeng.’ tatap Sunan Bonang. ‘Jika itu dilakukan sangatlah berlebihan,
seakan-akan kitalah yang memiliki ilmu terlalu tinggi. Sehingga tanpa
beranjak dari tempat duduk mengetahui yang sesungguhnya telah terjadi.’
‘Betapa sombong dan angkuhnya kita, Kanjeng.’ Sunan Kalijaga mengaggukan
kepala. ‘Namun tidak ada salahnya jika kita dimintai pendapat…’
“Politik macam apa yang terjadi dibalik tersebarnya ajaran sesat ini?”
tanya Demang Bintoro. “Mereka akan menciptakan dulu keresahan dikalangan
umat beragama, Ki Demang. Dalam keadaan umat resah dan bingung, politik
untuk melakukan makar pun berjalan.” terang Pangeran Bayat. ——————-
“Itulah yang terjadi di Kademangan Bintoro, Gusti Pangeran.” Demang
Bintoro menganggukan kepala, “Pantas mereka mempengaruhi rakyat
kademangan dengan ajaran yang menyesatkan, hingga pada suatu malam
terjadi penyerbuan. Namun yang paling aneh, ketika salah satu diantara
mereka tertangkap, membenturkan kepalanya pada batu hingga tewas.”
“Itulah yang mereka anggap jihad!” ujar Pangeran Bayat, “Tentu saja
mereka akan memilih mati ketimbang tertangkap, karena mati telah
memenuhi panggilan jihad.” berusaha menyimpulkan. “Pantas saja?” Demang
Bintoro menggeleng-gelengkan kepala. “Jika demikian kesimpulannya
sudahlah jelas persoalan ini, Gusti Pangeran.” Ki Sakawarki penuh
hormat, “Syekh Siti Jenar beserta pengikutnya harus ditangkap. Mereka
telah berani merusak ajaran Islam yang sesungguhnya. Selain telah
berani-berani mencampurbaurkan kepentingan politik dengan agama.
Sehingga agama dijadikan alat politik dan kekuasaan.” “Itulah yang
terjadi Ki Sakawarki, jika boleh saya berksimpulan.” Pangeran Bayat
mengaggukan kepala. “Namun sebelum bertindak saya akan meminta dulu
pendapat para wali agung tentang batasan sesat yang disebarluaskan Syekh
Siti Jenar. Bagaimana menurut pendapat, Kanjeng Sunan?” tatapan mata
Pangeran Bayat menyapu wajah para wali, berhenti pada Sunan Giri, selaku
ketua Dewan Wali. ——————- “Pengertian sesat?” Sunan Giri memutar
tatapannya, “Saya menyimpulkan, jika Syekh Siti Jenar sudah menganggap
shalat lima waktu tidak wajib, puasa bulan ramadan tidak wajib. Hidup
untuk mati, mati untuk hidup. Jelas sesat! Sudah keluar dari esensi
Islam yang sesungguhnya.” “Tidakah kita menelisiknya terlebih dahulu,
Kanjeng Sunan Giri?” Sunan Kalijaga beradu tatap. “Apa lagi yang mesti
kita selidiki, Kanjeng Sunan Kalijaga?” ujar Sunan Giri, “Penyebaran
ajaran sesat harus segera dihentikan. Jika tidak maka umat akan resah,
kesetabilan negeri Demak Bintoro akan terancam.” “Tidakkah kita ingin
memastikan sekali lagi tentang sesatnya ajaran Syekh Siti Jenar dengan
mengutus seorang wali?” tatap Sunan Kalijaga. “Bukankha Ki Sakawarki
saja sudah cukup sebagai seorang Kiai membuktikan kesesatan tadi?”
“Apakah Ki Sakawarki sudah secara langsung mendengar dan melihat jika
ajaran Syekh Siti Jenat itu sesat?” “Maafkan Kanjeng Sunan Kalijaga,
saya belum bertemu dengan Syekh Siti Jenar. Namun saya hanya melihat dan
mendengar dari para muridnya, ketika beberapa malam lalu melakukan
pemberontakan.” “Bisakah itu dijadikan sebagai bukti?” Sunan Kalijaga
memutar tatapannya ke arah Pangeran Bayat dan Sunan Giri. “Dari Segi
politik, yakin tujuan utamanya ingin makar. Bukan semata menyebarkan
ajaran sesat, Kanjeng.” Pangeran Bayat mengerutkan dahinya, “Yang
memperkuat tuduhan saya dengan adanya nama Kebo Kenongo. Jelas-jelas dia
masih keturunan Majapahit dan memiliki pengaruh sama dengan Gusti Raden
Patah. Hanya dia tidak seberuntung junjungan kita.” “Pangeran,
bagaimana jika kita pisahkan dulu masalah politik dan agama?” “Maaf,
Kanjeng. Saya rasa persoalan politik dan agama dalam hal ini sudah
menyatu.” tukas Pangeran Bayat. “Saya menduga jika kepentingan politik
yang ditebarkan Kebo Kenongo dibungkus rapih dengan agama. Dengan tujuan
orang terfokus pada persoalan agama, padahal politis.” “Makanya saya
tadi berpendapat, untuk menjernihkan persoalan ini dan menangkap makna
yang sesungguhnya, kita pisahkan dulu…” “Kanjeng Sunan Kalijaga,
sebaiknya perdebatan ini dihentikan. Saya takut di antara para wali
terjadi perbedaan paham yang runcing, begitu pula dengan kalangan
pemerintah.” potong Sunan Giri. “Selanjutnya kita renungkan sejenak
sebelum mengambil keputusan. Bagaimana jika kita memperbincangkannya
dengan Raden Patah, semoga dari hasil persidangan nanti ada keputusan.
Jika Syekh Siti Jenar perlu ditangkap, kita tangkap!” ——————- “Saya
setuju!” ujar Pangeran Bayat. “Apa pun yang terjadi jika itu keputusan
raja, sudah semestinya kita taati.” “Baiklah.” Sunan Kalijaga
menganggukan kepala, tatapan matanya tertuju pada Sunan Bonang, mata
hatinya mulai bersentuhan dan bercakap-cakap. ‘Kanjeng Sunan Bonang,
saya secara syariat tidak bisa melawan kehendak Allah.’ ‘Ya, karena itu
sudah menjadi sebuah taqdir dan ketentuan yang mesti dijalani. Kita
lihat dan ikuti saja…meski secara lahiryah tetap harus berikhtiar. Saya
kira Syekh Siti Jenar juga paham perjalanan hidupnya…’ batin Sunan
Bonang, tatapan matanya menerbar sinar kemerah-merahan beradu dengan
sorot mata pancaran jingga Sunan Kalijaga. “Ada apa?” Sunan Drajat
tersentak dari duduknya, “Mengapa ada pancaran sinar dari…” “Disini
tidak ada yang aneh, Kanjeng Sunan Drajat.” tegur Sunan Giri, “Kenapa
Kanjeng tersentak?” tatapan matanya mengikuti sudut pandang Sunan
Drajat, tetapi tidak menemukan hal yang perlu dikejutkan. “Tidakkah
Kanjeng me…” “Benar, Kanjeng Sunan Drajat.” tatap Sunan Bonang.
Seakan-akan menembus batin hingga tidak berdaya. ——————- “Kanjeng Sunan
Bonang?” Sunan Drajat mengangukan kepala, meski tidak mengerti. Hatinya
seakan-akan disusupi nasihat yang sebelumnya tidak pernah diketahui.
“Saya harus menafsirkannya…” “Apa yang telah terjadi? Kenapa saling
memberi isyarah?” Pangeran Bayat kebingungan. “Kanjeng Sunan Giri?”
“Saya juga tidak terlalu paham, Pangeran.” bisiknya, lalu menatap Sunan
Bonang. “Kanjeng Sunan Bonang?” “Tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan,
Kanjeng Sunan Giri.” ujar Sunan Bonang, “Putusan terbaik dalam
menyikapi Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, kita mesti menunggu
keputusan Raden Patah, sesuai dengan pendapat Kanjeng. Kami berisyarah
setuju pada perkataan Kanjeng Sunan Giri tadi.” “Baiklah jika demikian.
Kita bersidang dengan pihak pemerintahan demi mengambil keputusan.”
Sunan Giri mengaggukan kepala, lalu perlahan bangkit dari duduknya.
“Kanjeng, jika demikian saya mohon pamit.” ujar Demang Bintoro. “Karena
tugas saya sudah selesai, sedangkan persidangan merupakan wewenang para
wali dan pemerintah.” “Baiklah, Ki Demang.” Sunan Giri menerima kedua
telapak tangan Demang Bintoro yang mengajak bersalaman. “Semoga kalian
selamat diperjalanan. Persoalan tadi akan kami tindaklanjuti, agar tidak
terlanjur dan terlunta-lunta hingga mengakibatkan kesesatan bagi umat.”
***
Matahari mulai merayap, perlahan meredup
seakan-akan terlihat lelah dan ngantuk. Seharian memelototi bumi beserta
isinya, menatap setiap tingkah dan laku manusia yang beragam. Matahari
sudah waktunya kembali dan beristirahat di peraduannya, seiring dengan
datangnya gelap malam. Namun penghuni jagat raya seakan tidak peduli
meski matahari tidak lagi memelototi dan menerangi, biar kerlip
gemintang sebagai pengganti, saksi mereka bertingkahlaku. Malam hanya
perpindahan dari terang pada gelap, dari benderang pada kremangan.
Hingga tidak pernah menghalangi dan menyurutkan niat dan langkah manusia
dengan segenap tekad dan keinginannya untuk berbuat. Pinggir hutan di
halaman pendopo milik Kebo Benowo dan pengikutnya, berkelebatan bayangan
tubuh yang sedang berlatih silat. Joyo Dento dan Kebo Benongo
bergantian mengajarkan setiap jurus dan strategi perang. ——————- Tidak
lama berselang terdengar suara kuda yang bergerak ke arah mereka. Dua
ekor kuda yang ditunggangi Kebo Benowo dan Loro Gembol telah berada di
tengah-tengah pengikutnya. “Ki Gempol,” ujar Joyo Dento mendekat,
“Terlihat segar malam ini….” “Benar, Dento.” Loro Gempol turun dari
punggung kuda, “Syekh Siti Jenar benar-benar hebat. Hanya dengan tatapan
mata beliau menyembuhkan luka dalam akibat tendangan Ki Sakawarki.”
“Hebat!” Joyo Dento menggelengkan kepala. “Artinya Ki Gempol sudah siap
memimpin kembali pemberontakan?” “Tentu saja, Dento.” Loro Gempol
menepuk-nepuk dadanya, “Bahkan ilmuku sudah mulai bertambah meski dalam
waktu sangat singkat. Saya sudah memiliki tendangan yang lebih hebat
dari Ki Sakawarki.” lalu memutar lehernya mengikuti sudut pandangnya
yang tertuju pada sebongkah batu. “Seperti apa tendangan itu, Ki?” tanya
Kebo Benongo. “Lihatlah! Saya akan menghancurkan batu sebesar perut
kerbau itu hanya dengan satu kali tendangan.” Loro Gempol lalu mengambil
ancang-ancang, seraya loncat dan mengarahkan tendangannya pada batu.
Dragkkkk….tendangan kaki Loro Gempol menghantam sasaran, tidak pelak
lagi hancur lebur berkeping-keping. Prilakunya disambut dengan tepukan
pasukan gelap sewu, serta Joyo Dento dan Kebo Benongo. “Bisa seperti itu
Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu kanuragan, Ki Gempol?” Joyo Dento
mengerutkan keningnya. “Bukankah dia orang sakti, Dento?” Loro Gempol
tersenyum. “Sayang, Ki Gempol?” “Kenapa, Dento?” “Seandainya beliau
bersedia mendukung perjuangan kita dengan kesaktiannya, sudah barang
tentu sangat mudahlah menghancurkan Kademangan Bintoro.” ujar Joyo
Dento, seraya duduk di atas bangku yang terbuat dari kayu. “Sungguh
sayang, begitu juga Ki Ageng Pengging, sangatlah sulit untuk diajak
serta.” “Jangankan Kademangan, Demak pun jika beliau mau tentu bisa
dihancur leburkan!” timpal Loro Gempol. “Sangat aneh?” Joyo Dento
menggelengkan kepala, “Semakin tinggi ilmunya, semakin digjaya
kesaktiannya, malah semakin tidak tertarik pada kekuasaan?” lalu
menghela napas dalam-dalam. “Itulah keanehan mereka, Dento.” Kebo Benowo
ikut nimbrung, “Bukankah menurut andika tidak perlu lagi memikirkan
mereka yang sudah tidak memiliki keinginan untuk berkuasa.” “Ya, lupakan
saja semuanya!” Joyo Dento bangkit dari duduknya, “Sebaiknya kita tidak
terpengaruh….” ——————- “Bagus,” ujar Loro Gempol, “Sekarang kesaktian
saya telah bertambah. Mengapa tidak digunakan untuk kembali mengadakan
penyerangan terhadap Kademangan Bintoro?” “Haruskah malam ini?” tanya
Kebo Benongo. “Tidakah merasa lelah sepulang dari padepokan?” “Tidak!”
“Gempol, bukannya saya tidak percaya pada tendangan maut yang baru saja
andika miliki.” Kebo Benowo mendekat, “Cukupkah jumlah prajurit kita
untuk menggempur Kademangan Bintoro?” “Benar!” Joyo Dento meletakan
kedua tangannya di belakang, “Meski pun Ki Gempol bisa mengalahkan Ki
Sakawarki, tidak ada salahnya kmemperhitungkan jumlah kekuatan yang kita
miliki. Sebenarnya ada taktik perang gelap…” “Maksud andika?” Loro
Gempol menatap tajam. “Harus menghindari perang terbuka. Mengingat
jumlah pasukan kita lebih sedikit di banding musuh.” dahinya dikerutkan,
“Serangan kita harus bersifat memecah konsentrasi musuh, lantas
menyerang, lalu menghilang.” terang Joyo Dento. “Berhasilkah dengan cara
demikian?” tanya Kebo Benowo, “Tidak lebih baikah jika kita menambah
jumlah pasukan?” “Bisa saja, menambah pasukan. Artinya untuk sementara
kita menghentikan penyerangan….” “Jadi saya tidak bisa mencoba ilmu baru
dalam waktu dekat?” Loro Gempol garuk-garuk kepala.
***
Dewan wali yang di pimpin Sunan Giri
mulai memasuki istana kerajaan Demak Bintoro. Mereka menginjakan kakinya
di atas karpet berwarna hijau, kiriman dari Bagdad. Di setiap sudut
istana berdiri para prajurit dengan tombak dan tameng di tangannya.
Raden Patah sudah berada di atas singgasananya, perlahan bangkit
menyambut kedatangan para wali. Pangeran Bayat, serta para abdi kerajaan
lainnya berdiri, menyalami. Hari itu tampaknya ada pertemuan penting
antara Raden Patah dan Walisongo. “Selamat datang di keraton, Kanjeng
Sunan.” Raden Patah menyalami dan memeluk Sunan Giri, lalu yang lainnya.
“Silahkan…” ——————- “Terimakasih atas sambutannya, Raden.” Sunan Giri
lalu duduk di atas kursi yang telah disediakan. Diikuti para wali lain
menempati kursi yang telah disediakan. “Rasanya sangat bahagia hati ini,
batin pun terasa tentram jika sudah bertemu dengan para wali yang
terhormat.” Raden Patah perlahan duduk kembali di atas singgasana
kerajaannya, para abdi pun mengikuti. “Sudah sekian lama Kanjeng Sunan
tidak menyempatkan diri memasuki istana yang megah ini.” “Tidaklah harus
terlena dengan kemegahan istana, Raden.” ujar Sunan Giri tersenyum
tipis, “Singgasana berlapis emas, serta empuk, terkadang menyebabkan
kita untuk bermalas-malas. Saking nikmatnya kita dalam sehat dan
istirahat, terkadang lupa pada tugas yang sesungguhnya. Bukankah kita
mendapatkan kepercayaan dari rakyat demi kesejahteraannya, demi
ketentramannya, demi ketenangannya, demi melayaninya?” “Alhamdulillah,
Kanjeng.” Raden Patah sekilas menyapu wajah Sunan Giri dengan tatapan
matanya, “Saya sudah berupaya menjalankannya sesuai dengan amanah dan
ajaran Islam. Namun saya sebagai manusia terkadang terlena dibuatnya…..”
“Jika Raden terlena dengan kekuasaan dan kemegahan, hendaklah
istigfar.” Sunan Giri mengacungkan telunjuknya, “Karena singgasana ini
tidak abadi, kekuasaan akan berakhir dengan ketidakuasaan, kenikmatan
dan kemewahan hanya bisa dikecap dalam sekejap. Semua itu diingatkan
ketika diri kita tidak sempat untuk istirahat dan menikmati, bahkan saat
sakit mengusik kita. Disitu tidak ada nikmat yang bisa dirasakan meski
sekejap. Itu semua mengingatkan pada diri kita, semua yang kita miliki
akan ditinggalkan, semua yang kita kuasai pada suatu saat akan menjauh.
Bukankah kehidupan di dunia ini telah ditentukan batasnya? Seindah apa
pun dunia tetaplah fana, semegah apa pun dunia akan berkesudahan. Tidak
ada bedanya saat kita merasakan lapar bergegas mencari makanan, setelah
rasa lapar tergantikan dengan kekenyaang nikmat pun tidak ada lagi.”
“Jika perut sudah terlalu kenyang tidak mungkin meneruskan makan, meski
masih terhidang beraneka kelezatan di atas meja.” Raden Patah
mengangguk-anggukan kepala, “Hanya sekejap….dan ada akhirnya…bukankah
datangnya rasa nikmat ketika kita merasakan lapar?” “Andai lapar itu
berada pada tahapan Raden. Tentu akan terobati, tinggal memanggil
pelayan kerajaan. Tetapi jika rasa lapar menimpa rakyat miskin, bisakah
terobati dalam sekejap?” tatap Sunan Giri. “Ya, saya paham, Kanjeng.”
Raden Patah menundukan kepalanya, “Dimas Bayat, masihkah di negeri ini
ada rakyat yang kelaparan?” lalu tatapan matanya tertuju pada Pangeran
Bayat. “Menurut hamba negeri ini sangatlah makmur, Gusti.” Pangeran
Bayat mengacungkan sembahnya, “Sangat tidak mungkin di negeri semakmur
Demak Bintoro ada rakyat yang kelaparan?” “Benarkah, Dimas?” “Hamba
yakin, Gusti.” “Baguslah jika tidak ada yang kelaparan,” Raden Patah
menundukan kepala dihadapan Sunan Giri. “Seandainya masih ada rakyat
yang miskin dan kelaparan? Sementara kita serba berkecukupan? Tidakah di
akhirat nanti akan menuai kecaman dari Allah SWT.? Mungkin rakyat
negeri Demak Bintoro, meski pun lapar tidak akan banyak berbuat selain
mengganjal perutnya dengan kesedihan, bisa juga menangis?” desak Sunan
Giri. ——————- “Maafkan saya, Kanjeng.” Raden Patah perlahan mengangkat
kepalanya, “Jika itu terjadi dan menimpa rakyat negeri Demak Bintoro,
mungkin saya sebagai pemimpin akan menerima hukumannya di akhirat.
Mudah-mudahan yang dilaporkan Dimas Bayat benar. Hal itu tidak terjadi
di negeri ini….” “Yakinkah, Raden?” “Saya percaya pada Dimas Bayat,
Kanjeng Sunan.” “Hamba melaporkan dengan sesungguhnya. Berdasarkan
pendengaran dan penglihatan hamba.” ujar Pangeran Bayat. “Baguslah jika
yakin sebatas laporan, Raden.” Sunan Giri perlahan bangkit dari
duduknya, lalu mengitari singgasana Raden Patah. “Tahukah Raden tujuan
utama kedatangan kami, dewan wali ke istana ini?” “Tentu saja, Kanjeng.”
Raden Patah perlahan memicingkan sudut matanya, menatap langkah kaki
Sunan Giri. “Bukankah di negeri ini telah muncul persoalan yang terkait
dengan Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, Kanjeng?” “Benar,” Sunan Giri
menghentikan langkahnya, lalu kembali duduk di atas kursinya. “Ada kabar
jika Syekh Siti Jenar menyebarkan ajaran sesat. Pengikutnya terutama
rakyat miskin dan kelaparan banyak yang mengakhiri hidupnya.” “Mereka
bunuh diri, Kanjeng?” ujar Raden Patah, “Mereka mengaggap bahwa mati
lebih nikmat dari pada hidup dalam kemiskinan. Syekh Siti Jenar pada
pengikutnya menghembuskan ajaran hidup untuk mati, mati untuk hidup.”
“Pisahkan dulu persoalan mati untuk hidup, hidup untuk mati, tentang
ajaran Syekh Siti Jenar!” “Kenapa, Kanjeng?” “Lihat dan perhatikan, jika
yang bunuh diri itu si miskin dan menderita…” “Mengapa harus dipisahkan
persoalan ini? Rakyat Demak Bintoro yang miskin tentu saja mudah
dihasut akhirnya nekat bunuh diri. Apalagi mendengar ajaran yang
menyesatkan ini.” “Persoalannya karena miskin, Raden. Bukankah tadi
dikatakan, jika di negeri makmur ini sudah tidak ada lagi yang miskin
dan kelaparan?” “Astagfirullah!” Raden Patah lalu mengusapkan kedua
telapak tangannya pada wajah, “Ya, Allah maafkan hambamu ini. Hamba
telah berbuat hilap….” dari sela-sela jemarinya menetes buliran air
mata, semakin lama semakin banyak. ——————- Suasana istana yang hening
terusik dengan isak tangisnya Raden Patah, seakan-akan mengubah dan
memecah suasana. Pangeran Bayat semakin menundukan kepalanya, dagunya
seakan-akan menyentuh lutut, hatinya mulai ketar-ketir, jika seandainya
Raden Patah marah. Sunan Giri hanya berbagi tatap dengan para wali,
termasuk Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan
Drajat, dan Sunan Gunung Jati. Mereka memahami setiap maksud perkataan
Sunan Giri, namun tidak ada yang mengusik isak tangis Raden Patah meski
hanya sepatah kata penghibur. “Mereka mudah dihasut karena miskin…” isak
Raden Patah, “…bukankah menurut laporan yang saya dengar tidak ada lagi
rakyat miskin dan menderita…seandainya itu masih ada artinya…telah
berdosa dan menyia-nyiakan amanah…”
***
Matahari mulai menyelinap di balik bukit
Desa Kendharsawa, awan tipis berlapis-lapis laksana serpihan sutra
merah. Angin senja bertiup sepoi-sepoi mengusik setiap daun dan ranting
kering, selanjutnya jatuh di atas tanah, tanpa daya. Sorot mata Ki
Chantulo tidak beranjak dari jatuhnya daun dan ranting kering di
hadapannya. Lalu duduk dan memungutnya. “Ranting dan daun kering,
rupanya usiamu telah berakhir senja ini.” perlahan bangkit, seraya
mengangkat kepalanya, tatapan mata menyapu awan jingga berlapis dan
berarak laksana kereta kencana. “Betapa indah, taqdir kepergianmu
diiringi warna keemasan….” “Ya, sangat indah kematian daun dan ranting
kering ini…” bisik Ki Donoboyo yang berdiri disampingnya. Tatapan
matanya tidak beranjak dari tingkah laku teman seperguruannya. “Mungkin
itulah yang dikatakan menyatunya kembali dengan dzat yang maha kuasa?”
“Mungkin?” tatap Ki Chantulo. Lalu melangkah pelan menuju padepokan
Syekh Siti Jenar, Ki Donoboyo mengiringi. Di halaman padepokan Syekh
Siti Jenar sedang bercakap-cakap dengan Kebo Kenongo. Kebo Kenongo
seakan-akan larut pada setiap perkataan dan nasehat gurunya, terkadang
berkali-kali mengangguk-anggukan kepalanya. “Syekh, manunggaling sifat
Allah ternyata bisa dibuktikan. Hingga saya mengerti dan memahami…” ujar
Kebo Kenongo, “…bahkan ma’rifat pun kini mulai bisa saya capai.
Ternyata dalam pencapaian ini tidak harus melalui tahapan yang dulu
pernah Syekh ungkapkan.” “Bukankah saya pernah mengatakan, menuju
ma’rifat tidak perlu melalui tahapan syariat, hakikat, thariqat, lantas
ma’rifat. Jika demikian berarti hanya orang yang beragama Islam saja
yang bisa. Mungkin dalam agama hindu atau budha yang sebelumnya Ki Ageng
Pengging ketahui tidak akan menemukan tahapan itu. Bisa saja namanya
berbeda, tetapi tujuannya sama.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Kebo
Kenongo dengan tatapan matanya. “Saya kira semua agama memiliki tujuan
yang sama, yaitu untuk mencapai dan menggapai dzat Yang Maha Kuasa. Yang
membedakan semuanya hanyalah tata caranya, jalan, dan nama-nama proses
pencapainya.” ——————- “Ya,” Kebo Kenongo tersenyum, “Pencapaian itulah
yang memerlukan proses yang cukup lama dan panjang. Hingga terkadang
orang merasa putus asa…” “Putus asa, penyebab petaka. Itu tidak perlu
terjadi,” terang Syekh Siti Jenar, “Untuk menghindari keputusasaan dalam
hal pencapaian diperlukannya guru yang selalu membimbing dan
mengarahkan.” “Benar, supaya tidak kesasar dan gila?” “Ya, mungkin kata
lain sesat. Orang akan menyatakan sesat atau kesasar pada orang lain,
karena menurut ilmu dan pengetahuan yang dia milki bahwa jalan menuju
Desa Kendharsawa hanya satu. Jalan yang biasa Ki Ageng Pengging lalui
beserta orang kebanyakan. Padahal setahu saya ada banyak jalan menuju
Desa Kendharsawa, bisa memutar dulu ke Utara, bisa berbelok dulu ke
Selatan, bisa juga mengambil jalan pintas.” urai Syekh Siti Jenar,
“Salahkah jika orang yang berpendapat harus berlok ke Utara atau ke
Selatan, bahkan mengambil jalan pintas? Jelasnya tidak pernah mengambil
jalan yang biasa dan diketahui umum. Salahkah?” “Saya kira tidak,”
“Mengapa?” “Karena sudah tentu semuanya akan sampai ke Desa Kendharsawa.
Hanya waktu sampainya yang berbeda, ada yang cepat, lambat, dan
alon-alon.” “Itulah maksud saya, Ki Ageng Pengging.” ujar Syekh Siti
Jenar. “Nah, yang diributkan orang kebanyakan soal perbedaan jalan
itulah. Sehingga memicu pertengkaran, demi mempertahankan ilmu dan
pengetahuan yang dimilikinya agar diikuti orang lain. Padahal setiap
orang memiliki pemahaman dan pendalaman, juga maksud yang berbeda, meski
sebenarnya punya tujuan sama.” “Maksudnya?” “Bukan tidak tahu jalan
umum menuju Desa Kendharsawa, tetapi berbelok ke Selatan karena punya
maksud menemui dulu kerabat. Jalan yang di tempuh lewat Utara, karena
ingin membeli dulu hadiah untuk teman di Kendharsawa. Sampaikah mereka
semua pada tujuan? Desa Kendharsawa?” “Sampai?” “Mengapa harus
bertengkar dan saling menyalahkan?” “Karena jalannya tidak diketahui
umum,” “Haruskah umum selalu tahu? Haruskah umum memberikan kesimpulan
bahwa jalan Utara dan Selatan sesat?” “Tidak,” “Mengapa?” “Karena pasti
sampai.” “Kenapa pula dipertengkarkan?” “Bertengkar karena tidak saling
memahami akan persoalan yang sesungguhnya.” ——————- “Nah, itulah Ki
Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar melangkah pelan, “Makanya Islam
mengajarkan jika di antara kita terjadi perbedaan paham sebaiknya
dikembalikan pada alquran dan assunnah. Semua perbedaan pendapat dan
pemahaman bisa diselesaikan dengan cara musyawarah. Tidak semestinya
melakukan tindakan yang tidak diridhoi Allah, apalagi menciptakan
laknat. Bukankah Islam mengajarkan bahwa kita harus selalu menebar
rakhmat, hamamayu hayuning bawanna? Seandainya orang tadi belum mengenal
Desa Kendharsawa, maka bisa dikatakan tersesat. Salah jalan. Jika salah
jalan karena ketidaktahuan itulah yang sesat.” urainya. “Ya, karena
tidak akan mungkin sampai pada tujuan.” Kebo Kenongo mengangguk-anggukan
kepala, “Jadi makna “sesat” disini bisa diartikan berbeda?” “Tentu,”
Syekh Siti Jenar mengiyakan, “Bisa saja kita yang salah karena
keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Bisa juga orang yang kita anggap
sesat benar-benar sesat. Atau bahkan sebaliknya.” “Syekh,” Ki Chantulo
mendekat, dibelakangnya berdiri Ki Donoboyo. “Kita telah jauh
memperdalam ilmu hamamayu hayuning bawanna, ma’rifat mungkin hampir saya
capai. Namun saya khawatir ada akibat….lihatlah daun dan ranting kering
ini, sangat mudah terlepas dari batang pohon meski hanya tertiup angin
sepoi-sepoi.” “Jika kita sebagai manusia tentu saja harus punya rasa
khawatir.” Syekh Siti Jenar membalikan tubuhnya, tatapan matanya menyapu
wajah Ki Chantulo. “Kekhawatiran muncul karena keterbatasan ilmu dan
ketidaktahuan perjalanan hidup. Ketidaktahuan akan ketidakjelasan
kabar.” “Maksudnya?” “Saat orang bilang, awas jangan lewat jalan
Kendharsawa karena ada rampok kejam, apa yang akan andika lakukan?”
“Saya akan menertawakan orang tadi, karena setahu saya jalan menuju Desa
Kendharsawa aman.” “Karena andika tahu betul.” ujar Syekh Siti Jenar,
“Tapi sebaliknya bagi orang yang belum mengenal Kendharsawa tentu akan
merasa khawatir. Mengenai kabar yang tidak jelas tadi, bahkan akan
menimbulkan rasa was-was.” “Ya,” Ki Chantulo mengangguk, “Mungkin karena
keterbatasan ilmu saya yang menyebabkan khawatir dan takut.”
“Sebenarnya apa yang menjadi kekhawatiran andika, Ki Chantulo?” tanya
Kebo Kenongo. “Saya mendengar kabar ditangkapinya orang-orang yang
menganut ajaran Syekh Siti Jenar. Jika tidak salah dewan wali menganggap
ajaran kita sesat.” Ki Chantulo menundukan kepala. “Syekh?” Kebo
Kenongo menatap Syekh Siti Jenar, belum juga kering mulutnya ketika
berbincang tentang sesat. ——————- “Tidak perlu khawatir, Ki Angeng
Pengging.” lalu Syekh Siti Jenar memutar tatapan matanya, “Lihatlah,
daun kering dan ranting yang Ki Chantulo genggam. Jasad manusia tak
ubahnya ranting dan daun kering, jika sampai pada waktunya akan jatuh di
atas tanah. Penyebabnya bisa karena tertiup angin sepoi-sepoi, mungkin
saja ditebas pemilik kebun, bisa juga dimakan ulat atau binatang ternak
lainnya. Itulah sebuah taqdir. Kekhawatiran akan muncul, karena tadi
itu.” sejenak menghentikan perbincangannya. Senja hening di padepokan
Syekh Siti Jenar, para muridnya seakan-akan tenggelam dan hanyut dalam
keadaan. Angin semilir mengusik dedaunan dan jubah yang dikenakan Syekh
Siti Jenar, berkelebat. “Saya ingat sabda alam yang pernah Syekh
sampaikan.” Ki Donoboyo mengerutkan dahinya, “Mungkinkah pesan yang
disampaikannya berlaku pada kita…..” “Jika ya? Meskikah kita mengambil
tindakan?” tatap Ki Chantulo. “Tentu saja, Ki Chantulo.” Ki Donoboyo
mendekat, “Bukankah kita harus berusaha membela diri. Mungkin caranya
berbeda dengan orang kebanyakan. Bukankah kita tidak mungkin menyerahkan
diri pada hukuman sebelum melakukan pembelaan?” “Begitukah, Syekh?” Ki
Chantulo menyapu wajah Syekh Siti Jenar dengan tatapan matanya. “Saya
tidak mengharuskan melawan taqdir.” ujar Syekh Siti Jenar, “Berlakulah
andika sebagai manusia dengan keterbatasan ilmu dan ketidaktahuan.”
“Maksudnya?” Ki Chantulo, Ki Donoboyo, dan Kebo Kenongo mengerutkan
dahinya. “Sejauhmana andika paham pada kejadian yang akan datang?
Sebatas mana rasa khawatir yang muncul dalam jiwa? Berlakulah dalam
keterbatasan dan yang membatasi semuanya.” sejenak berhenti, “Bukankah
tidak semua manusia memahami perjalanan hidupnya? Apa yang akan terjadi
hari ini? Lantas hal apa besok hari yang akan menimpa kita? Akan
bersedihkah? Bahagiakah? Manusia tidak bisa mempercepat, memperlambat,
bahkan mundur dari kehendakNya. Hanya orang tertentu saja yang memahami
akan perjalanan hidup, mengenai hal yang sebelumnya atau akan didapati.”
urai Syekh Siti Jenar. “Saya belum terlalu paham maksudnya?” Ki
Donoboyo memijit-mijit keningnya. *** “Saya menyadari akan keteledoran
dan ketidaktahuan, Kanjeng.” Raden Patah menyeka air mata, “Sehingga
timbul penyesalan yang teramat dalam….” “Tidak cukup dengan sebuah kata
dan kalimat penyesalan, Raden.” ujar Sunan Giri, “Seandainya itu berdosa
kepada Allah, maka bisa ditebus dengan taubatan nashuha. Setelah itu
memperbaiki diri dan tidak berbuat kembali. Tetapi bersalah pada rakyat,
meminta maaf pun harus pada mereka…” “Bukankah rakyat negri Demak
Bintoro ini sangat banyak, Kanjeng?” “Meminta maaf pada rakyat tidak
cukup dengan perkataan dan ucapan, berkeliling menemui penduduk negeri.”
Sunan Giri berhenti sejenak, “…rubahlah keadaan negara hingga tidak ada
lagi rakyat kelaparan. Meski miskin itu ada, karena sunnatullah.
Berupayalah Raden sebagai seorang pemimpin mengubah keadaan negara.
Seorang pemimpin tidak saja bertanggungjawab di dunia, tetapi di akhirat
juga. Di dunia bisa jumawa, di dunia bisa sewenang-wenang, di dunia
bisa teledor, khilaf. Sudah menjadi kewajiban kami para wali
mengingatkan umara agar tidak terjerumus di dunia dan akhirat.” “Saya
sangat menyadari semuanya, Kanjeng.” Raden Patah semakin menunduk,
“Haruskah saya mundur untuk menebus semua kesalahan ini?” “Mana mungkin
bisa merubah keadaan jika mundur? Balikan telapak tangan, berbuatlah
yang terbaik untuk rakyat.” terang Sunan Giri, “Berbuat untuk rakyat,
berati berbuat untuk diri sendiri, negara, agama, dan keluarga.” ——————-
“Baiklah, Kanjeng. Saya akan berupaya sekuat tenaga seperti yang
Kanjeng Sunan Giri sarankan. Meski saya harus jatuh miskin, itu hanyalah
ukuran dunia dan bentuk tanggungjawab pada rakyat.” Raden Patah menatap
Pangeran Bayat, “Dimas bantulah mereka yang kelaparan. Berbuatlah untuk
mensejahterakan rakyat, tebuslah kesalahan kita. Kakang tidak ingin
mendengar kabar ada rakyat yang masih kelaparan, bunuh diri karena
miskin. Berbuatlah! Kakang pun akan berbuat dengan tangan ini yang telah
berlumur dosa karena bodoh dan khilaf.”
***
“Raden,” Sunan Giri perlahan duduk di
atas kursi. “Ada persoalan yang lebih penting ketimbang rasa lapar dan
kemiskinan.” “Persoalan apa, Kanjeng?” tatap Raden Patah, “Bukankah
miskin dan lapar yang bisa memicu orang berbuat nekad? Merampas hak
orang lain? Merampok? Mungkin juga bunuh diri?” “Benar Raden,
seakan-akan persoalan perutlah yang terpenting dalam kehidupan ini.”
Sunan Giri tersenyum, “Jarang sekali orang melakukan penyelidikan lebih
mendalam.” “Maksud, Kanjeng?” “Mengapa orang miskin bunuh diri, mengapa
yang kelaparan nekad?” Sunan Giri berhenti sejenak, tatapan matanya
menyapu wajah Raden Patah, terkadang Pangeran Bayat. “Karena hanya jalan
itulah yang dianggap penyelesaian, Kanjeng.” ujar Pangeran Bayat,
“Bayangkan seandainya mereka kenyang dan serba berkecukupan. Tidak akan
mungkin berbuat demikian.” “Orang miskin merampok hanya butuh makan
untuk satu hari, Pangeran. Sedangkan yang kaya disebabkan sifat
serakah.” tukas Sunan Drajat, “Bukankah hartanya sudah melimpah ruah,
tetapi masih saja ingin menumpuk kekayaan. Menghalalkan segala cara.”
“Ya, saya mengerti, Kanjeng.” Raden Patah tersenyum, “Terlepas dari
urusan miskin dan kaya, yang jelas penyelesaian dari sebuah perbuatan
buruk tadi. Mereka hanya menyantap makanan jasmani, sedangkan rohaninya
kosong.” “Terkait dengan hal itulah kami para wali ingin berbincang.”
ujar Sunan Giri, “Bukankah para sahabat nabi juga menafkahkan seluruh
hartanya demi agama. Lihatlah khalifah Umar bin Khatab, jubah dan
pakaiannya penuh dengan tambalan. Meski secara lahiryah terlihat miskin
namun hatinya sangat kaya, jiwanya tersisi penuh. Tidak pernah
berkhianat, selalu bertaqwa pada Allah.” “Benar, Kanjeng.” “Kemiskinan
dan kelaparan yang melanda negeri Demak Bintoro dimanfaatkan pengikut
ajaran Syekh Siti Jenar, untuk menyimpang dari agama. Sehingga memicu
persoalan baru.” Sunan Giri menghela napas, “Banyak rakyat miskin dan
kelaparan bunuh diri, keadaan dibuat kalangkabut dan kacau balau. Selain
aqidah mereka masih lemah, pengaruh ajaran sesat dan menyesatkan
semakin kuat. Sehingga mereka dengan ajarannya telah mencoba menodai
perjuangan para wali.” “Gusti, menurut hemat hamba. Tersebarnya ajaran
sesat Syekh Siti Jenar terkait pula dengan persoalan politik.” timpal
Pangeran Bayat, “Bukankah Ki Ageng Pengging selain murid, juga sangat
dekat dengan Syekh Siti Jenar, disamping masih keturunan Majapahit.
Mungkin dia punya anggapan memiliki hak yang sama untuk meraih tahta.”
“Tidakkah sebaiknya persoalan politik dipisahkan dulu…” “Maaf Kanjeng
Sunan Kalijaga, rasanya ini telah sulit untuk dipilah. Ditebarnya
kekacauan dengan isu agama, sangat sarat dengan muatan politik.” “Dimas
Bayat, untuk menjernihkan persoalan ini saya sependapat dengan Kanjeng
Sunan Kalijaga.” tatap Raden Patah, “Tetapi seandainya belum atau tidak
pernah terjadi pemberontakan di Kademangan Bintoro?” “Bukankah dugaan
saya telah terjadi, Gusti?” “Dalam hal ini tetap harus ada keputusan,
Raden, terkait dengan ajaran sesat Syekh Siti Jenar.” ujar Sunan Giri,
“Pemerintah harus segera mengambil tindakan. Sebelum pengaruh ajaran
sesat ini semakin meluas….” “Keputusan?” Raden Patah menundukan kepala,
pikirannya berputar, sejenak mulutnya terkatup. “Haruskah saya seret
Syekh Siti Jenar dan pengikutnya ke hadapan, Gusti?” ujar Pangeran
Bayat. “Mudah saja menyeret orang, Pangeran.” timpal Sunan Kalijaga,
“Apakah tidak alangkah lebih baiknya mengutus orang dulu ke padepokan
Syekh Siti Jenar di Desa Kendharsawa?” ——————- “Untuk apa, Kanjeng?”
tanya Sunan Giri. “Membenarkan apa yang kita tuduhkan pada mereka.”
jawab Sunan Kalijaga. “Bukankah sudah terbukti? Jika Syekh Siti Jenar
mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan?” “Maaf,
Kanjeng Sunan Giri. Saya setuju dengan pendapat Kanjeng Sunan Kalijaga.”
Raden Patah perlahan bangkit, “Dimas Bayat dan Pangeran Modang, saya
utus untuk menemui Syekh Siti Jenar. Itu dari pihak pemerintah, Kanjeng.
Alangkah lebih baiknya Kanjeng Sunan Giri pun mengutus beberapa orang
wali. Saya yakin dengan hadirnya para wali dalam rombongan akan sanggup
menilai sesat atau tidaknya ajaran Syekh Siti Jenar.” “Baiklah, Raden.
Jika itu harus dilakukan.” tatapan mata Sunan Giri menyapu para wali
yang duduk dibelakangnya, “Saya akan mengutus Kanjeng Sunan Kudus,
Kanjeng Sunan Muria, Kanjeng Sunan Drajat, dan Kanjeng Sunan Geseng.”
“Gusti, tindakan apa yang harus dilakukan seandainya dugaan tadi benar?”
tanya Pangeran Bayat. “Kanjeng Sunan Giri?” Raden Patah melirik ke arah
Sunan Giri. “Hukuman yang pantas dan setimpal bagi penyebar ajaran
sesat. Bentuknya hanya raja yang berhak menentukan.” ujar Sunan Giri.
“Baiklah,” Raden Patah mengerutkan keningnya. “Hamba kira hukuman mati
sangat pantas….” timpal Pangeran Bayat. “Hukuman apa pun layak diberikan
pada orang yang bersalah, sesuai dengan kadar kesalahannya.” sela Sunan
Kalijaga, “Saya kira belumlah saatnya kali ini untuk membahas dan
memutuskan sebuah bentuk hukuman, sebelum ada kejelasan serta
pembuktian.” “Ya, Kanjeng.” Raden Patah menganggukan kepala, “Datangilah
dulu! Jika terbukti bawa ke Pusat Kota Demak Bintoro. Barulah kita
menjatuhkan hukuman.” lalu menatap pada para utusan yang ditugaskan ke
Desa Khendarsawa.
***
Sore itu matahari tertutup mega hitam,
berlapis-lapis. Seakan-akan tatapan matanya yang bersinar sengaja
dihalangi untuk menatap padepokan Syekh Siti Jenar. Angin bertiup sangat
kencang, mega pekat membumbung dan berputar-putar, semakin cepat.
“Lihat, pertanda alam?” Ki Donoboyo yang berada di halaman padepokan
bangkit dari duduknya, kepalanya mendongak ke atas. “Apa yang akan
terjadi?” Ki Ageng Tingkir mengerutkan keningnya, “Angin puting
beliungkah, Syekh?” matanya tertuju pada Syekh Siti Jenar yang berdiri
di samping Kebo Kenongo. “Pernahkah kita merusak alam? Menebang pohon
sembarangan, membabad batu padas seenaknya?” tatap Syekh Siti Jenar.
“Tidak,” “Bahkan sebaliknya kita memakmurkan bumi, Syekh?” tatap Ki
Donoboyo, “Sesuai dengan ajaran hamamayu hayuning bawanna…” ——————-
“Jika demikian kita tidak perlu takut dimurkai alam…” Syekh Siti Jenar
tersenyum, “Puting beliung biasanya menghancurleburkan rumah, dan
bangunan. Mungkin saja padepokan yang kita diami….” “Saya kurang paham?”
tanya Ki Chantulo, “Apa kaitannya dengan memakmurkan bumi?” “Bukankah
beberapa waktu lalu saya pernah menjelaskan hamamayu hayuning bawana?”
“Yang kita bicarakan pada waktu itu pertautan jiwa dengan alam, Syekh.”
kerut Ki Chantulo, “Sabda alam. Tetapi tadi Syekh mengatakan mungkin
saja puting beliung bisa menghancurkan padepokan kita? Mengapa?”
“Mungkin disini, bukan berarti akan terjadi, atau tidak sama sekali,
bahkan bisa saja terjadi.” ujar Syekh Siti Jenar, “Namun mungkin disini
saya tegaskan, kemarahan alam sedahsyat apa pun tidak akan pernah
menyentuh padepokan kita.” “Termasuk puting beliung?” tanya Ki Chantulo.
“Meskipun rumah penduduk disekitar Desa Khendarsawa porak-poranda?”
“Benar, justru akan saya usahakan agar enyah dari Desa Khendarsawa.”
“Mengapa, Syekh?” “Bukankah saya sedang menjelaskan hal yang terkait
dengan ilmu hamamayu hayuning bawana….” “….” Ki Chantulo dan yang
lainnya hanya mengerutkan kening, “Rasanya saya belum paham…”
“Memakmurkan bumi?” Kebo Kenongo berujar pelan, “Saya kira bencana akan
datang jika bumi dirusak. Penduduk Desa Khendarsawa akan kekeringan dan
kekurangan air pada musim panas, seandainya pohon-pohon besar yang
berada disekitar hutannya ditebang habis. Mungkin saja akan terjadi
longsor, bahkan bencana lainnya.” lalu menatap gurunya. “Ya, itu sebuah
contoh kecil.” ujar Syekh Siti Jenar, “Seandainya kita telah mengamalkan
ilmu hamamayu hayuning bawanna, memakmurkan bumi. Tidak akan pernah
kita dimurkai alam atau hidup dalam kesusahan.” “Maksudnya?” Ki Donoboyo
mengerutkan dahinya. “Alam sebenarnya akan memberikan imbalan pada
kita. Seandainya kita ikut memakmurkan dan memeliharanya…” Syekh Siti
Jenar perlahan melangkah, “Lihatlah pohon jambu batu yang di tanam Ki
Chantulo itu. Bukankah Ki Chantulo memelihara jambu ini sejak kecil,
menanamnya, merawatnya, hingga menghasilkan buah?” “Ya, saya baru
mengerti, Syekh.” Ki Chantulo mengagguk-anggukan kepala, “Benar, sekali
dengan perawatan dan pemeliharaan saya hingga jambu ini memberikan
imbalan pada saya berupa makanan, buah jambu. Saya bisa menikmatinya dan
memakannya, saya baru ingat ketika jambu ini berupa bibit. Ya,
mengerti.” “Itu salah satu contoh, dimana kita memakmurkan alam…maka
alam akan memberi imbalan. Lihatlah para petani dengan jerihpayah
menamam padi, lihat pula para petani membuat pematang sawah, menciptakan
saluran air dengan teratur, dan memeliharanya. Sebaliknya rusaklah
pohon jambu tadi, tebas dan biarkan merana, biarkan pula padi disawah
tidak harus dirawat dan diberi pupuk, biarkan pula saluran air dipenuhi
sampah. Apa yang akan terjadi? Memeliharakah pada kita? Murkakah
mereka?” “Tentu saja murka, Syekh. Saya paham,” Ki Chantulo
mengagguk-anggukan kepala. “Namun selain itu, tadi Syekh bisa
mengenyahkan angin puting beliung agar enyah dari Khendarswa?” “Bukankah
andika pernah mendengar Kanjeng Nabi Musa membelah lautan. Lantas
menjinakkan air laut, sehingga dengan sebilah tongkat kayunya bisa
menyebrangi lautan yang terbelah. Lantas Kanjeng Nabi Sulaiman
menundukan angin kencang?” “Bukankah itu mukjijat, Syekh?” tatap Ki
Chantulo. “Ya, tetapi manusia semacam kita apakah tidak berhak
mendapatkannya seandainya Allah menghendaki. Hanya namanya saja bukan
mukjijat.” “Tentu saja,” ——————- “Bersandarlah kita pada ke Maha
Besaran, ke Maha Gagahan, ke Maha Kuasaannya, ke Maha Perkasaannya….agar
hal itu bisa terjadi.” “Bukankah mukjijat tidak bisa kita pelajari?”
“Saya tidak mengajarkan untuk mempelajari mukjijat, karena bukan sunnah
rassul. Tidak ada perintah untuk mempelajarinya, karena bukan untuk
dipelajari. Mukjijat hanya pertolongan Allah semata untuk para Nabi dan
Rassul. Mungkin bagi manusia semacam kita ada nama lain, ulama terkadang
menyebutnya Kharamah?” “Mengapa bisa muncul Kharamah?” “Ya, karena kita
telah aqrab. Juga telah berada dalam tahapan ma’rifat.” “Jika tidak
sampai pada tahapan tadi? Masih mungkinkah, Syekh?” “Tentu, asalkan hati
kita ikhlas dan berada dalam kasih sayangNya. Meskipun orang tadi tidak
sepintar Ki Chantulo. Membaca basmallah pun tidak terlalu lancar,
tetapi karena hatinya bening, bisa terjadi pertolongan Allah datang
tanpa diduga. Sebab hancurnya setiap amalan dan hasil ibadah kita akibat
tercemarinya hati.” urai Syekh Siti Jenar. “Maksudnya?” tanya Ki
Donoboyo. “Bukankah ketika kita telah berbuat baik, menjadi sebuah
catatan amal. Lalu catatan amal tadi bisa tercoreng karena dalam hati
timbul ria dan ta’kabur?” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Bukankah
dalam hadistnya Kanjeng Nabi menjelaskan, pada suatu ketika Islam itu
hanya tinggal namanya, Alquran tinggal tulisannya……..” “Keberkahannya
yang lenyap, Syekh?” potong Kebo Kenongo, “Banyak orang memahami ajaran
Islam bahkan pasih membaca alquran, tetapi prilakunya menyimpang.
Kadangkala Alquran dan agama hanya dijadikan alat…” “Ya, dijadikan alat
untuk berkuasa dan menguasai serta membodohi rakyat. Seperti halnya para
penguasa negeri Demak Bintoro…” “Hentikan, Ki Chantulo! Saya tidak
mengharuskan menuduh orang lain seperti yang diuraikan di atas. Jika
demikian berarti jiwa dan hati kita pun sudah tercemari dengan rasa
benci dan berburuk sangka. Biarlah Allah yang menilai baik dan buruknya
seseorang. Bukankah dalam setiap diri manusia ada malaikat pencatat amal
kebaikan dan kejelekan?” tatap Syekh Siti Jenar, “Mana mungkin orang
bisa menapaki ma’rifat, jika hati belumlah bening.” “O…” Ki Donoboyo
mengangguk, “…pantas saya belumlah sampai pada tahapan ma’rifat. Jiwa
saya terkadang terusik keadaan dan situasi, yang menurut penilaian saya
jelek. Padahal jelek itu bukan menurut pribadi, juga berdasarkan aturan
agama yang saya anut.” “Menurunkan penilaian jelek pada orang lain,
karena jiwa kita sedang disisipi perasaan merasa paling benar.” ujar
Syekh Siti Jenar, “Karena kita sedang merasa paling benar, akan selalu
menganggap orang lain salah. Selalu saja ingin mencela, mencercerca,
memaki, dan melontarkan ejekan. Padahal kebenaran yang ada dalam diri
manusia bersipat nisbi. Kebenaran mutlak hanyalah milik Allah.
Seandainya kita selalu menganggap diri paling benar, maka akan lupa
introspeksi diri, meski prilaku kita sudah jelas sangat salah menurut
banyak orang.” “Ya,” Ki Donoboyo mengangguk, begitu juga yang lainnya,
“Justru yang sulit itu mengintrospeksi diri, Syekh?” “Benar, sehingga
hal itu jika diperturutkan akan membunuh kehormatan sendiri. Kita akan
dibuatnya tidak berdaya. Karena merasa selalu benar, saat orang lain
meluruskan dan mengingatkan sangat sulit diterima. Perlahan orang akan
menjauh. Jika dia berkuasa dan memiliki pengaruh maka akan digunjingnya
dibelakang, jadi bahan obrolan.” “Itulah para pejabat negeri Demak
Bintoro….” “Sssssssttttttt, ingat Ki Chantulo?” Syekh Siti Jenar
menempelkan telunjuk dibirnya, “Bukankah andika ingin mencapai
ma’rifat?” “Maafkan, Syekh.” Ki Chantulo merunduk, “Mengapa saya sulit
menahan dan mengendalikan jiwa yang bergolak. Ketika tidak setuju dan
benci akan penyimpangan, terutama dari…..” “Sudahlah, bukankah tadi saya
telah mengurainya?” “Jika andika berupaya, insya Allah akan sampai pada
tujuan.” terang Syekh Siti Jenar. “Sampurasun…” terdengar suara dari
kaki bukit, menggema. “Syekh, rupanya kita kedatangan tamu yang memiliki
tenaga dalam hebat.” ujar Ki Donoboyo. ——————- “Tahukah andika siapa
yang datang?” tanya Syekh Siti Jenar. “Belum terlihat, sama sekali tidak
tahu.” jawab Ki Donoboyo, meninggikan kakinya, matanya tertuju ke arah
jalan yang akan dilewati tamu. “Tidaklah perlu meninggikan kaki, apalagi
menajamkan penglihatan…” “Siapakah dia, Syekh?” tanya Ki Donoboyo,
begitu juga yang lainnya. “Mereka utusan dari negeri Demak Bintoro.”
“Artinya mereka akan menangkapi kita?” Ki Chantulo menepi. Belum juga Ki
Chantulo meneruskan perkataannya, utusan Demak Bintoro telah terlihat
menaiki anak tangga padepokan Syekh Siti Jenar. Paling Depan Pangeran
Bayat berdampingan dengan Sunan Kudus, diikuti Pangeran Modang, Sunan
Muria dan yang lainnya. “Selamat datang para petinggi Demak Bintoro dan
para Wali Agung di padepokan saya, Desa Khendarsawa.” Syekh Siti Jenar
dengan senyum ramah menyambut para tamunya, “Maafkan seandainya andika
dipaksa harus turun dari punggung kuda dan berjalan menaiki anak tangga
padepokan yang tidak sedikit. Mungkin langkah andika tersita dan
melelahkan?” “Alhamdulillah, Syekh.” ujar Sunan Kudus, “Meski pun kami
dipaksa harus berjalan kaki bukanlah soal. Karena sesulit apa pun menuju
padepokan ini akan kami lakukan, yang jelas bisa menemui andika.”
“Bukankah setelah kesulitan ada kemudahan? Mungkin saja bagi andika
semua belumlah bisa bertemu kemudahan dengan segera. Bisa jadi kesulitan
yang berikutnya….” “Apa maksud andika, Syekh?” Pangeran Modang geram,
lalu mendekat dengan sorot mata beringas, “Hargailah, kami ini utusan
Agung dari Kasultanan Demak Bintoro!” ——————- “Apakah sikap saya tidak
ramah? Bukankah dari tadi sudah mempersilahkan? Butakah Pangeran pada
tujuan sesungguhnya bertemu kami di padepokan? Sehingga membentak saya
yang berkata seadanya?” Syekh Siti Jenar tetap tenang, selalu
tersungging senyuman tipis dari bibirnya, serta air mukanya yang
memancarkan cahaya. “Perkataan andika tadi, Syekh!” Pangeran Modang
semakin beringas, tangan kanannya menggenggam gagang keris. “Pangeran,
tenanglah!” sela Sunan Kudus, “Izinkanlah saya dulu beramah-tamah dengan
Syekh Siti Jenar.” tatapan matanya menyapu wajah Pangeran Modang yang
geram. “Maaf, Kanjeng.” Pangeran Modang mundur, kembali pada tempatnya.
“Habis penghuni padepokan ini tidak tahu ramah tamah. Bagaimana
menyambut tamu terhormat, kami ini para pejabat.” gerutunya. “Dimas
Modang, sudahlah!” lirik Pangeran Bayat. “Baiklah, Kakang.” lalu
menundukan kepala, setelah beradu tatap dengan Pangeran Bayat dengan
sorot mata tajam. Keadaan hening sejenak, tidak ada percakapan dalam
beberapa saat. Angin kencang dan mega yang tadinya bergulung-gulung
telah kembali tenang. Matahari sore yang tampak terhalang mega tipis
mulai bisa menatap padepokan milik Syekh Siti Jenar, seakan-akan ingin
menyaksikan sebuah peristiwa yang akan terjadi. Sehingga dengan berani
matahari mengusir penghalang dari pandangannya, untuk menyaksikan
kejadian penting di Desa Khendarsawa. Mulailah Sunan Kudus beramah-tamah
setelah terganggu dan terusik bentakan Pangeran Modang. Meski Pangeran
Bayat dan yang lainnya tampak tegang, seperti halnya Ki Chantulo dan Ki
Donoboyo, sangat berbeda dengan Syekh Siti Jenar, yang selalu tenang dan
menebar senyum. Para murid Syekh Siti Jenar berdatangan dan berada
dibelakang Kebo Kenongo, mereka menilai dan memperhatikan pertemuan itu
dengan tahapan ilmu yang berbeda. Tentu saja dalam mencerna dan
memahaminya pun akan beragam. “Syekh, saya mendengar kabar jika andika
dan pengikut telah menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan.” tatap
Sunan Kudus. “Ajaran sesat dan menyesatkan?” Syekh Siti Jenar menyapu
wajah Sunan Kudus dan para pengikutnya dengan sorot mata tenang, “Jika
seandainya telah melakukan hal tadi, artinya saya telah keluar dari
ajaran Islam yang sesungguhnya.” “Nah, itulah, Syekh.” ujar Sunan Kudus,
“Alangkah lebih baiknya andika bertobat dan kembali pada jalan lurus.
Ajaran Islam yang sesungguhnya, tidak lagi mengajarkan kesesatan.
Mumpung masih diberi sisa umur oleh Allah SWT….” “Tapi meskipun andika
telah menyadari bahwa itu ajaran sesat, tetap saja proses hukum harus
dilalui!” sela Pangeran Modang. “Meskipun andika sudah punya niat untuk
bertobat…” “Bicara apa andika, Pangeran?” tatap Syekh Siti Jenar.
“E..eeh..” Pangeran Modang melangkah, “Syekh, andika selalu saja
membantah dan melawan pada pejabat negara! Yang saya katakan aturan
hukum dan negara!” geramnya seraya menghunus keris dan mendekat. “Kenapa
andika tidak bisa tenang, Pangeran?” Syekh Siti Jenar mengangkat
tangannya ke atas, “Maafkan, Kanjeng Sunan. Juga Pangeran Bayat haruskah
saya mendiamkannya?” “Keparat! Memang andika ini apa?” Pangeran Modang
menorehkan keris ke dada Syekh Siti Jenar, yang diserangnya tidak
menghindar meski sejengkal tanah. “Diamlah andika!” ujar Syekh Siti
Jenar. Langkah Pangeran Modang terhenti, berdiri sambil mengayunkan
keris dihadapan Syekh Siti Jenar, bergeming laksana patung. Meski seribu
kali geram, namun tubuh tidak lagi memiliki daya dan upaya untuk
bergerak. “Kanjeng Sunan Kudus?” bisik Pangeran Bayat, “Apa yang
dilakukannya terhadap Dimas Modang?” “Jangan khawatir, Pangeran.” lirik
Sunan Kudus, “Mungkin agar perbincangan saya tidak terusik dengan
tindakan Pangeran Modang, yang sebenarnya membahayakan dirinya sendiri.”
——————- “Ya, saya paham, Kanjeng.” Pangeran Bayat menganggukan kepala.
“Kabar, Kanjeng Sunan Kudus?” tatap Syekh Siti Jenar. “Ya, Syekh.”
“Bukankah kabar itu sesuatu yang belum pasti?” “Hari inilah saya datang
ke padepokan andika untuk membuktikan kabar tadi.” “Bahwa saya telah
mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan?” Syekh
Siti Jenar perlahan mengangkat wajahnya ke langit, lalu kembali menatap
Sunan Kudus. “Bukankah andika tadi sudah menyadari, Syekh?” tatap Sunan
Kudus, “Jika andika menyebarkan kesesatan artinya telah keluar dari
ajaran Islam yang sesungguhnya….” “Benar, Kanjeng.” tampak tersenyum,
“Seandainya saya melakukan kesesatan dan menyebarluaskannya. Artinya
saya telah murtad, kafir, mungkin juga musyrik. Tetapi benarkah tuduhan
itu? Bahwa saya telah sesat dan menyesatkan dengan ajaran yang saya
sebarkan. Bukankah saya menyebarkan ajaran Islam? Meskipun kita hanya
memiliki satu ayat menurut Kanjeng Nabi, maka sampaikanlah. Tidak
bolehkah menyampaikan sesuatu tentang ajaran Islam yang saya anggap
benar dan harus disebarluaskan?” “Memang itu tidak salah! Sudah
seharusnya karena mengajarkan dan menyebarluaskan agama merupakan
kewajiban kita sebagai umatnya.” Sunan Kudus berhati-hati, “Tetapi
andika sudah dianggap melenceng, bahkan sesat.” “Mengapa saya dianggap
melenceng dan sesat? Karena saya bukan seorang wali seperti andika?
Mungkinkah karena saya hanya seorang rakyat jelata?” “Tidak,” “Lantas?”
“Ya, ajaran itulah yang mengkhawatirkan? Jika andika terus menyebarkan
ajaran sesat saya khawatir rakyat yang menerimanya keluar dari esensi
Islam yang sesungguhnya.” “Andika dari tadi menuduh saya telah
menyebarkan kesesatan, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Sunan
Kudus dengan tatapannya. “Dimanakah letak kesesatan ajaran Islam yang
saya sebarkan?” ——————- “Baiklah,” Sunan Kudus berhenti sejenak, lalu
mengerutkan keningnya. Seakan-akan ada sesuatu yang sedang dicerna dalam
pemikirannya. “Andika tidak mengajarkan syariat Islam?” “Syariat
Islam?” “Andika tidak mewajibkan salat lima waktu, puasa pada bulan
Ramadhan….seakan-akan rukun Islam tiada…” “Tidak,” “Mengapa? Bukankah
itu hukumnya wajib?” “Tentu saja.” “Disitulah salah satu kesesatan yang
andika ajarkan, Syekh!” “Kanjeng Sunan, mengapa hal tadi merupakan salah
satu kesesatan yang saya ajarkan?” “Dimana ukuran sesatnya?” “Ya, itu
tadi. Mestinya andika mewajibkan salat lima waktu dan puasa di bulan
Ramadhan!” “Jika saya harus mewajibkan salat lima waktu dan puasa pada
bulan Ramadhan, tidakkah salah?” “Justru andika telah salah dan sesat,
Syekh!” “Maaf, andika keliru, Kanjeng. Bukankah saya sebagai manusia
biasa tidak punya kewenangan untuk membuat suatu hukum atau aturan,
apalagi berkaitan dengan syariat.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Tidak
seharusnya saya memerintahkan wajib pada murid saya tentang salat lima
waktu dan puasa di Bulan Ramadhan. Sebab hal itu sudah menjadi ketetapan
Allah dalam Alquran, haruskah saya menciptakan hukum baru?” “Andika ini
melantur, Syekh. Memutarbalikan kata?” “Saya tidak sedang melantur,
Kanjeng. Wajib itu menurut Allah dalam kalimat yang tersurat. Saya
sebagai manusia biasa tidak bisa menyebutkan bahwa itu wajib. Jika
demikian artinya telah melebihi Allah….” “Bagamaina andika ini, Syekh?
Pembicaraan itu seperti anak kecil! Mengada-ngada. Mereka-reka kata,
memutar-mutar kalimat!” “Bukankah manusia dalam kehidupannya hanya
memainkan kata dan kalimat? Tebaklah permainan kata dan kalimat tadi.
Telusurilah tuduhan pertama tentang hal tadi yang andika anggap sesat
dan menyesatkan umat….” “Apa yang mereka bicarakan?” gumam Pangeran
Bayat mengerutkan keningnya. “Islam itu agama syariat!” ujar Sunan
Kudus, “Nampaknya seseorang menganut ajaran Islam karena ada syariat
yang dijalankan. Iman itu adanya didalam hati. Rukun Islam itu
melibatkan fisik, lahiryah. Misalkan syahadat, shalat, puasa, zakat, dan
ibadah haji, tentu terlihat dalam bentuk pengamalannya.” “Tidak
bolehkah di dalam Islam mempelajari hakikat, thariqat, dan ma’rifat?”
——————- “Boleh saja. Sebelum mempelajari yang tiga tadi perlajari dulu
ajaran syariatnya.” tukas Sunan Kudus, “Sehingga tidak seharusnya andika
mentidakwajibkan melaksanakan syariat. Jelas itu sesat!” “Bukankah saya
sebagai manusia, Kanjeng?” ujar Syekh Siti Jenar, “Secara syariat dan
lahiryah, manusia tidak punya keharusan, bahkan mewajibkan, tentang
sebuah perintah terkait syariat…” “Sudah, Syekh!” Sunan Kudus menghela
napas dalam-dalam, “Andika malah kembali memutar balikan kalimat. Islam
ini agama yang berdasarkan dalil dalam Alquran, bukan berdasarkan
pemikiran, pentafsiran, dan hasil proses penelaahan andika semata…”
“Baiklah jika ini tetap dianggap memutarbalikan kata menurut andika.”
Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Artinya perbincangan ini telah
selesai…” “Tidak semudah itu, Syekh!” Sunan Kudus mendekat, “Andika
tidak bisa menghindar dari hukum…” “Hukum?” “Ya, hukum negara Demak
Bintoro. Andika telah dianggap sesat dan menyesatkan. Persoalan yang
pertama tidak menganggap salat lima waktu, puasa serta syariat lain
wajib.” Sunan Kudus berhenti sejenak, “Kedua andika telah mengajarkan
manunggaling kawula gusti.” “Salahkah ajaran manunggaling kawula gusti,
Kanjeng?” “Jelas, artinya andika telah menganggap manunggal dengan Gusti
Allah. Musrik, sesat, serta menyamakan derajat andika dengan Allah
SWT….” “O…demikiankah?” Syekh Siti Jenar, menggunakan tatapan batinnya
menembus jiwa Sunan Kudus. “Rasanya tidak tersentuh…” “Apa?” “Kanjeng,
tidak perlu panjang lebar. Jika yang andika inginkan menangkap saya.
Maka tangkaplah!” lalu menoleh ke belakang, tampak para muridnya
berdiri. “Menghilanglah kalian….” “E..eeh…” Pangeran Bayat tercengang,
“Murid Syekh Siti Jenar semuanya lenyap. Kemana mereka?” “Tangkap dan
bawalah saya ke pusat kota Demak Bintoro…..” tubuh Syekh Siti Jenar
perlahan samar, tembus pandang, menyerupai kabut, tertiup angin sepoi
berhamburan. “Kemana dia?” Pangeran Modang baru bisa bergerak,
“E…ee..saya telah kembali, Kakang!” dengan girang serta memegang kepala,
dada, dan bahunya. “Hebat juga ilmu sihirnya. Bisa menyihir saya hingga
tidak bisa beranjak dari berdiri. Sekarang dia menghilang tertiup
angin.” “Kanjeng?” tatap Pangeran Bayat, “Bagaimana menurut pendapat,
Kanjeng Sunan Kudus?” “Kita kembali ke Demak!” Sunan Kudus membalikan
tubuh. “Bukankah kita harus membawanya, Kanjeng?” tatap Pangeran Modang.
“Seandainya Pangeran sanggup menangkapnya? Silahkan! Saya menunggu di
sini.” “Dia sangat sakti, Kanjeng.” Pangeran Modang mengerutkan
keningnya serta menggeleng-gelengkan kepala, terkadang menatap Pangeran
Bayat. “Dimas Modang, kita kembali ke Demak!” ujar Pangeran Bayat, “Saya
setuju dengan Kanjeng Sunan Kudus.” “Lho…?” Pangeran Modang, menggerutu
dalam hatinya, terkadang memijit-mijit keningnya. Sunan Kudus, Pangeran
Bayat, dan yang lainnya beranjak dari padepokan Syekh Siti Jenar. Tidak
ada satupun yang berbicara, termasuk Pangeran Modang, semuanya
seakan-akan hanyut dan tenggelam dalam persoalan. Meninggalkan Desa
Kendharsawa menyisakan beragam pemikiran, penalaran, dengan analisis
beragam sesuai dengan kemapuan dan ilmu yang dimiliki mereka. “Mereka
kembali, Syekh.” ucap Ki Ageng Tingkir, “Padahal kita tidak
kemana-mana…” “Ya, hanya tabir tipis saja yang menghalangi pandangan
mata lahiryah mereka.” Syekh Siti Jenar melangkah pelan. ——————-
“Mengapa mereka demikian, Syekh?” Ki Donoboyo mendekat, “Tidakkah mereka
memiliki ilmu yang setarap dengan, Syekh?” “Jika andika bertanya
tingkatan, artinya ada yang tinggi dan rendah.” Syekh Siti Jenar
menghentikan langkahnya, “Padahal tidak semestinya kita menilai manusia
dengan tingkatan. Semua manusia dihadapan Allah sama. Yang membedakan
hanyalah cara mensyukuri segala hal yang diberikanNya.” “Maksudnya?”
“Menggunakan sesuatu sesuai dengan yang seharusnya….” “Masih bingung,
Syekh?” Ki Donoboyo garuk-garuk kepala. “Sang Pencipta telah menciptakan
tangan untuk apa? Kaki sesuai fungsinya, tentunya untuk berjalan…” Kebo
Kenongo mencoba menjelaskan, “Mata untuk melihat, akal untuk berpikir…”
“Itulah artinya mensyukuri nikmat, secara singkat.” tambah Syekh Siti
Jenar. “Seandainya mereka mengasah mata batin, tentu bisa memandang
keberadaan kita. Tidak ada sesuatu yang tersembunyi meski sebesar zarah,
atom, lebih kecil dari debu, seandainya mata hati kita telah terbuka.”
“Kenapa saya juga belum bisa?” tanya Ki Donoboyo. “Sebetulnya mereka
pun, atau ki Donoboyo sudah bisa, tetapi tidak secantik saya
melakukannya.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Orang lain akan mengatakan
mungkin saya yang telah lebih dulu, dia belakangan.” “O, Syekh tahapan
lebih tinggi mereka lebih rendah. Pantas tingkat ketinggian pun bisa
mempengaruhi sudut pandang dan jangkauan mata kita.” ujar Ki Chantulo,
“Di atas ketinggian apalagi dipuncak gunung semuanya akan terlihat,
berbeda dengan mereka yang masih di kaki gunung…” “Hahahaha….” Ki
Donoboyo tertawa jika demikian saya paham, “Pantas mereka cepat pergi
karena merasa kalah dan tidak mampu menangkap kita.” “Tidaklah perlu
terlalu gembira.” tatap Syekh Siti Jenar, “Mereka tidak akan berhenti
sampai disitu. Suatu ketika akan kembali dan menjemput saya…” “Siapakah
yang mampu mengalahkan kesaktian, Syekh?” tanya Ki Donoboyo. “Rasanya
saya tidak perlu mendahului kehendakNya. Di antara para wali tentu
saja….” Syekh Siti Jenar mendadak menghentikan kalimatnya, wajahnya
mendongak ke langit. “Hampir gelap. Andika sebaiknya turunlah dari
padepokan ini, keluarlah dari Khendarsawa. Sebarluaskan ajaran kita!
Meski jasad kita telah terkubur, ruh, dan ajaran tidak akan pernah mati.
Kecuali sebagian saja yang tinggal di padepokan ini….” Tiba-tiba kilat
membelah langit, diikuti suara guntur menggelar memekakan gendang
telinga. Perkataan Syekh Siti Jenar seakan-akan mendapat restu dan
kesaksian dari langit. “Hamamayu hayuning bawanna…” gumam Ki Chantulo
ternganga.
***
“Gusti, maafkan kami tidak berhasil
membawa serta Syekh Siti Jenar.” Pangeran Bayat merunduk di depan Raden
Patah. Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gresik, Sunan
Drajat, Sunan Kudus, Sunan Ngudung, Sunan Geseng, Sunan Gunung Jati,
Sunan Muria, Pangeran Modang dan para adipati telah lama berada di atas
tempat duduknya. Dalam batinnya masing-masing memikirkan dan mencerna,
sesuai dengan kadar ilmu yang dimilikinya, tentang ketidakberhasilan
memboyong Syekh Siti Jenar. “Kami tidak sanggup melawan ilmu sihirnya,
Gusti.” Pangeran Modang mengacungkan sembah. “Haram! Islam tidak boleh
menguasai ilmu sihir apalagi mengamalkannya….” “Maaf, Kanjeng Sunan
Giri.” Sunan Kudus angkat bicara, “Saya rasa Syekh Siti Jenar tidak
memiliki ilmu sihir…” “Tapi, Kanjeng. Bukankah dia bisa menghilang? Saya
sendiri dibuatnya mematung bagaikan arca.” timpal Pangeran Modang. “Itu
bukanlah ilmu sihir setahu saya…” Sunan Kalijaga menatap Raden Patah,
“Merupakan salah satu ilmu yang diajarkan pada murid-muridnya, terkadang
kita menganggapnya sesat. Mungkin karena tidak pernah ditemui dalam
syariat Islam. Umat Islam tidak disyariatkan untuk bisa menghilang…”
“Benar,” Sunan Kudus melirik, “…mungkin itulah ajaran thariqatnya.”
“Disitulah letak kesalahannya, Kanjeng.” Sunan Giri perlahan bangkit,
“Islam itu seakan-akan ilmu yang terkait dengan hal-hal mistis. Sehingga
ajaran yang disebarluaskannya bisa menodai perjuangan kita. Padahal
selama ini kita berusaha membasmi ajaran-ajaran yang berbau bid’ah,
kharafat, tahayul, dan musrik. Toh…dia malah mengajarkan hal-hal aneh.
Tidaklah sebaiknya mengajarkan bagaimana…cara shalat yang benar…” “Ya,
padahal keimanan rakyat Demak Bintoro pada saat ini masih rapuh.” ujar
Raden Patah, “Belum juga memahami bag-bagan fikih…malah loncat ke
hal-hal yang berbau mistis.” “Bagi orang awam sudah barang tentu, akan
mengulang perbuatan menyimpang dari syariat Islam.” Sunan Kalijaga
berhenti sejenak, “Ya, mungkin inilah warna kehidupan. Saya kira
sepenuhnya kebijakan milik negara dan dewan wali…”“Untuk itu tetap,
Syekh Siti Jenar harus ditangkap!” ujar Sunan Giri, “Kali ini sebaiknya
Sunan Kalijaga saja yang berangkat?” “Saya setuju,” ujar Raden Patah,
“Namun tidaklah sendiri…” “Seandainya ini tugas negara dan perintah dari
ketua Dewan Wali…insya allah.” Sunan Kalijaga menatap Sunan Bonang,
mata hatinya mulai berbincang, ‘Kanjeng, meski bagaimanapun juga tetap
hal ini akan terjadi.’ ‘Saya kira guratan taqdir berkata demikian.
Terpaksa atau tidak terpaksa Kanjeng Sunan Kalijaga harus melakukannya.’
tatap Sunan Bonang. “Ada apa Kanjeng Sunan Bonang, Kanjeng Sunan
Kalijaga?” tatap Sunan Giri, “Adakah hal penting terkait dengan
persoalan ini perlu diperbincangkan?” “Rasanya tidak ada, Kanjeng.” ujar
Sunan Bonang, “Mungkin saya akan turut serta bersama Kanjeng Sunan
Kalijaga…dan beberapa wali lainnya.” “Baiklah,” Sunan Giri Menganggukan
kepala. “Saya akan mengutus Dimas Bayat, Pangeran Modang, dan beberapa
prajurit tangguh. Seandainya mereka sulit ditangkap!” ujar Raden Patah.
“Saya rasa tidak perlu melibatkan banyak prajurit, Raden.” ujar Sunan
Bonang, “Sebab kita tidak sedang berperang melawan pasukan musuh. Tetapi
kita hanya ingin menangkap sosok Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat
dan memiliki ilmu cukup tinggi. Bukan lawan prajurit, dia tidak bisa
dikalahkan dengan pasukan. Percayalah pada Kanjeng Sunan Kalijaga…”
——————- “Mudah-mudahan berhasil,” ujar Sunan Giri, “Kita harus segera
menjatuhkan hukuman. Jika dibiarkan terlalu lama, saya takut ajarannya
semakin meluas. Sebab apa yang diajarkannya sangat kental dengan
kehidupan masyarakat Demak sebelumnya.” “Mudah-mudahan,” ujar Sunan
Bonang. “Pertama ajarannya benar-benar sesat. Masa tuhan bisa manunggal
dengan dirinya, manunggaling kawula gusti.” ujar Pangeran Bayat, “Kedua
saya melihat dengan mata kepala sendiri, hadirnya Ki Ageng Pengging
alias Ki Kebo Kenongo disampingnya. Jadi tuduhan makar dan isu politik
melatar belakangi disebarnya ajaran sesat dan menyesatkan. Jika hal ini
dibiarkan, sangat jelas akan merongrong wibawa dan keutuhan negeri Demak
Bintoro. Padahal selama ini kita berusaha membangun, mempertahankan,
dan membelanya.” “Ya, saya pun meyakini hal itu, Gusti.” tambah Pangeran
Modang, “Selain ingin menodai perjuangan para wali, padahal tujuan
utamanya politik. Ingin mendudukan Ki Ageng Pengging sebagai Raja Demak
Bintoro. Ditebarnya isu penyebaran ajaran sesat semata untuk mengalihkan
perhatian pemerintah, dimana lengah gerakan makar pun berjalan.”
“Sejauh itukah pengamatan, Pangeran?” tatap Sunan Geseng, “Padahal saya
lebih sependapat dengan Kanjeng Sunan Kalijaga. Hendaklah persoalan
politik dipisahkan dulu dengan persoalan agama.” “Maaf, Kanjeng. Justru
agama lebih mudah ditunggangi kepentingan politik, mengingat masyarakat
Demak Bintoro mayoritas muslim.” ujar Pangeran Modang, “Saya
berkesimpulan demikian berdasarkan hasil penyelidikan, lihat pula latar
belakang Ki Ageng Pengging?” “Masuk akal juga,” Sunan Giri menyapu wajah
Raden Patah dengan tatapan matanya. “Jika itu terbukti, artinya Syekh
Siti Jenar jelas memiliki dua kesalahan. Pertama mengajarkan ajaran
sesat, kedua mendukung Ki Ageng Pengging melakukan makar.” ujar Raden
Patah. “Untuk membuktikan semuanya, biarlah hari ini juga saya akan
menjemput Syekh Siti Jenar.” tatap Sunan Kalijaga, “Hingga kita tidak
larut dalam bayang-bayang dugaan…”
***
Langit mendung, awan hitam
bergulung-gulung bergerak cepat kerumuni angkasa. Petir berkilatan,
diikuti guntur menggelegar memekakan gendang telinga. Angin bertiup
sangat kencang memisahkan daun dan ranting kering dari cabang pepohonan.
Bergerak di atas langit Desa Khendarsawa. Petir menyabar batang pohon,
terbakar serta jadi arang dalam sekejap. Abunya berhamburan di halaman
padepok Syekh Siti Jenar. Para murid Syekh Siti Jenar tersentak, seraya
bangkit dari duduknya, puluhan pasang mata tertuju pada batang pohon
yang berubah jadi abu dalam sekejap. “Pertanda alam apa lagi?” gumam Ki
Chantulo, tatapannya menyapu wajah Syekh Siti Jenar yang tampak tenang.
“Kematian…” “Maksud, Syekh?” ——————- “Lihat saja nanti.” melangkah pelan
keluar dari ruang padepokan, seakan-akan menyambut tamu yang akan
datang. Para muridnya yang berada di dalam ruangan belum juga keluar,
mereka hanya mengantar langkah gurunya dengan tatapan mata penuh
pertanyaan. Matahari semakin ketakutan, menyelinap di antara gelapnya
mega yang bergulung-gulung. Angin semakin kencang dibarengi petir dan
kilat, seakan menjadi-jadi. Utusan Negeri Demak Bintoro telah berada di
gerbang Desa Khendarsawa. Sunan Kalijaga berdampingan dengan Pangeran
Bayat duduk di atas pelana kuda hitam, di belakangnya Pangeran Modang,
Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Geseng.
“Lihatlah, Kanjeng!” Pangeran Modang menunjuk langit, “Sihir Syekh Siti
Jenar hebat sekali. Dia bisa menciptakan petir, angin kencang, dan
guntur. Padahal sebelum memasuki Desa Khendarsawa tidak ada.”
“Mungkinkah dia telah mengetahui kedatangan kita, Kanjeng?” lirik
Pangeran Bayat. “Ya,” jawab Sunan Kalijaga, matanya tertuju ke depan.
“Apakah gejala alam ini sengaja dia ciptakan untuk menyambut kedatangan
kita?” “Tidak, Pangeran.” “Tapi…bukankah…” “Pertanda alam ini lahir
dengan sendirinya.” Sunan Kalijaga memperlambat langkah kudanya,
“Ingatkah Pangeran pada ilmu hamamayu hayuning bawanna yang
dimilikinya?” “Ya, namun saya kurang paham?” “Inilah bukti kemanunggalan
Syekh Siti Jenar dengan alam…” “Maksudnya?” Pangeran Modang ikut
bertanya, keningnya berkerut-kerut. “Jika kaki Pangeran terantuk batu,
yang berteriak mengaduh kesakitan apakah kaki atau mulut?” “Tentu saja
mulut, Kanjeng. Mana mungkin kaki bisa berteriak kesakitan.” Pangeran
Modang memijit-mijit kening, “Apa hubungannya ilmu sihir yang ditebarkan
Syekh Siti Jenar dengan pertanyaan Kanjeng Sunan Kalijaga?” “Rayi
Modang itu ibaratnya?” timpal Pangeran Bayat. “Ah…bingung saya kakang…”
Pangeran Modang garuk-garuk kepala. “Kita telah sampai di wilayah Desa
Khendarsawa.” Sunan Bonang mengangkat wajahnya ke atas, menatap langit
yang tiba-tiba terang benderang. Tidak ada angin kencang, petir, bahkan
guntur. “Aneh?” Pangeran Modang memijit-mijit keningnya, “Lihatlah Syekh
Siti Jenar sudah tidak lagi menyihir Desa Khendarsawa. Hebat juga!”
Matahari kembali bisa menunaikan sisa tugasnya menatap Desa Khendarsawa,
tanpa terhalang mega tebal yang menggumpal. Hanya lapisan, serta
lembaran awan putih tipis menyertainya. Laksana lembaran kertas yang
akan ikut serta mencatat sejarah kehidupan manusia yang terjadi di bawah
tatapan matahari. ——————- Utusan dari Demak Bintoro menambat kudanya di
bawah pohon rindang. Sunan Kalijaga melangkah pelan dikuti yang
lainnya, matanya menyapu kaki bukit tempat Syekh Siti Jenar bersemayam.
Anak tangga berbaris hingga menyentuh ketinggian bukit, untuk mengantar
siapa saja yang hendak menemui penghuninya. “Kanjeng, itulah tangga
susun menuju padepokannya.” lirik Pangeran Bayat. “Sangat banyak anak
tangganya!” gerutu Pangeran Modang, “Hampir tidak terhitung
jumlahnya…saking banyaknya…” tangannya menyeka keringat yang menetes
dikeningnya. “Ya, itulah tangga kehidupan….” terdengar suara Syekh Siti
Jenar menggema. “Lha, dimana orangnya?” Pangeran Modang memutar tatapan
matanya, “Mulai lagi menggunakan ilmu sihir…” “Saya kira Syekh Siti
Jenar sudah tahu kedatangan kita, Kanjeng?” lirik Pangeran Bayat,
“Padahal keberadaan kita masih jauh dari padepokannya…” “Bukan Syekh
Siti Jenar jika gelap mata hatinya, Pangeran.” Sunan Kalijaga tersenyum.
“Kanjeng Sunan bisa saja…” gema suara Syekh Siti Jenar. “Selamat datang
di padepokan saya saudaraku Kanjeng Sunan Kalijaga, Kanjeng Sunan
Bonang dan lainnya.” “Terimakasih, Syekh.” Sunan Bonang beradu tatap
dengan Sunan Kalijaga. “Orangnya dimana?” Pangeran Modang berusaha
mencari jejak Syekh Siti Jenar dengan tatapan matanya. “Kanjeng,
dimanakah dia?” tatapnya pada Sunan Bonang. “Tentu saja di padepokannya,
Pangeran.” “Aneh….?” tangannya memijit-mijit kening, “Padahal masih
harus melewati beberapa tangga dan bentangan jalan. Mengapa suaranya
sangat dekat, seakan-akan berada dihadapan kita? Tidakah sedang
menghilang menggunakan ilmu sihirnya?” “Tidak,” “Heran?” tatap Pangeran
Modang pada Sunan Bonang, “Sangat tinggi ilmu sihirnya…” Setahap demi
setahap Sunan Kalijaga dan rombongan menginjak tangga yang terbuat dari
pahatan batu padas. Berkali-kali Pangeran Modang menghela napas, seraya
menyeka keringat. Seperti yang lainnya, terkecuali Sunan Bonang dan
Sunan Kalijaga tidak tampak lelah apalagi menyeka keringat, tubuhnya
seakan-akan tidak memiliki bobot. “Mengapa Kanjeng Sunan mesti menapaki
tangga? Tidak sebaiknya langsung saja berdiri dihadapan saya?” gema
suara Syekh Siti Jenar. “Tidak semestinya saya meninggalkan rombongan.”
Sunan Kalijaga melirik ke arah Sunan Bonang yang tersenyum. “Juga sangat
tidak menghargai Syekh Siti Jenar yang telah susah payah menciptakan
tangga, jika kaki saya tidak menyentuhnya….” “Kanjeng, apa maksud ucapan
Syekh Siti Jenar?” Pangeran Modang melongo. “Aneh…kenapa Kanjeng berdua
tidak tampak lelah apa lagi berkeringat…kelihatannya enteng. Apakah
Kanjeng juga punya ilmu sihir?” “Mengapa pangeran bertanya demikian?”
tatap Sunan Kalijaga, “Padahal kaki saya seperti halnya Pangeran
menyentuh tangga. Saya tidak merasa berat dan mungkin sering latihan….”
“O…pantas…” Pangeran Modang geleng-gelengkan kepala. “Memang saya malas
berolah raga…apalagi memanjat gunung…” Matahari semakin nampak, panasnya
terik menguliti tubuh. Seakan-akan ingin puas menyinari para penghuni
bumi. Itu semua terseka dengan tiupan angin sepoi-sepoi, mengusir sengat
dan keringat panas. “Inilah padepokan saya, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar
menyambut Sunan Kalijaga beserta rombongan dari Negeri Demak Bintoro.
Dibelakangnya berdiri beberapa muridnya, dengan sorot mata tenang.
“Syekh, saya telah kembali!” Pangeran Modang geram, “Kali ini andika
tidak akan bisa lolos…” ——————- “Tenang, Pangeran.” Sunan Kudus
meletakan jari telunjuk dibibirnya. “Saya akan berujar secara lahiryah…”
tatap Sunan Kalijaga, “Kali ini saya datang selaku utusan dari negeri
Demak Bintoro.” “Tentu saja harus secara lahiryah, Kanjeng.” Syekh Siti
Jenar tersenyum, tatapan matanya menyapu wajah para utusan dari negeri
Demak Bintoro. “Jika hal itu merupakan keharusan, apalagi sebagai
utusan. Hanya untuk menghindari fitnah bagi andika, Kanjeng.” “Ya, saya
kira demikian.” “Baiklah,” “Saya kali ini ditunjuk sebagai pimpinan
rombongan. Tentu saja agar tidak gagal memboyong Syekh ke negeri Demak
Bintoro. Itu kepercayaan Raden Patah dan Kanjeng Sunan Giri selaku ketua
Dewan Wali yang memutuskan.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak, “Ada pun
alasannya saya menangkap Syekh, karena diduga telah menyebarluaskan
ajaran sesat dan menyesatkan. Betulkan demikian?” “Mengapa tuduhan
seperti itu selalu datang bertubi-tubi memojokan saya dan para pengikut?
Padahal saya tidak merasa sedang berada dalam kesesatan.” “Tentu saja,
sebab yang menilai orang lain sesat bukanlah diri si pelaku. Namun dalam
hal ini orang kebanyakan dan umum. Artinya andika dihadapan umum sudah
berbuat sesuatu yang tidak lazim, serta tidak semestinya.” Sunan
Kalijaga perlahan melangkah, “Andika telah melanggar kesepakatan yang
telah umum ketahui dan diakui kebenaran, ketepatan, serta lelakunya.
Bukankah ketika saya sedang berada di atas panggung dan mementaskan
gamelan, alat musik gong itu mestinya dipukul. Jika saya memperlakukan
gong seperti gendang tentu saja akan ditertawakan orang yang sudah tahu,
namun sebaliknya bagi yang awam hal itu akan di anggap benar. Sehingga
lelaku itu benar menurut pengikut awam, padahal yang salah adalah yang
mengajarkannya.” “Seperti itukah lelaku saya saat ini?” “Ya, dari sudut
pandang umum.” “Tidakkah disadari meski gendang pun bisa dipukul
menggunakan batang kecil yang seukuran. Lihatlah bedug, bukankah itu pun
gendang besar yang menggunakan alat pukul seperti halnya gong?”
“Benar,” “Seandainya benar mengapa saya dianggap bersalah dan sesat?”
“Karena saya memandang dari sudut pandang umum dan kepentingan negara.”
“Jika demikian Kanjeng telah terikat dengan kekuasaan dan melupakan
esensi kebenaran, yang bersifat mutlak.” “Mungkin menurut pandangan
khusus demikian, Syekh.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak. “Pada intinya
hendaklah Syekh menahan diri untuk menyebarkan ajaran yang dianggap
sesat secara umum.” lalu mata batinnya menembus jiwa Syekh Siti Jenar.
“Mengapa mereka saling adu tatap? Tidak terdengar lagi bicara?” gumam
Pangeran Modang. ‘Saya sangat memahami tugas Kanjeng secara lahiryah dan
kenegaraan. Bukankah esensi ajaran Islam yang sesungguhnya berada dalam
jiwa, ketika kita telah berada dalam tahapan ma’rifat, akrab, serta
manunggaling kawula gusti.’ ‘Hanya sayang kesalahan Syekh menganggap
sama setiap orang. Padahal tidak seharusnya mengajarkan ilmu yang Syekh
pahami pada orang yang bukan padanannya. Hingga menyeret orang untuk
melukar syariat….’ “Kanjeng Sunan Bonang, mengapa mereka saling tatap?”
Pangeran Modang mendekat, lalu berdiri disamping Sunan Bonang. “Mereka
berbicara melalui mata hati. Orang kebanyakan menyebutnya batin atau
kebatinan.” “Apa yang dibicarakannya, Kanjeng?” tatap Pangeran Bayat.
“Ya, tidak jauh dari persoalan yang kita bawa, Pangeran.” lalu tatapan
mata Sunan Bonang menyambangi batin Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar.
‘Benar, Syekh. Hingga dengan ajaran tadi orang yang baru mengenal dan
belajar Islam menganggap syariat itu tidak penting. Mestinya manusia itu
berjalan melewati tangga tahap pertama, tidak semestinya loncat pada
tangga yang lebih atas…’ “Lha, sekarang ketiga-tiganya jadi saling
tatap. Jadi bingung apa itu batin?” Pangeran Modang garuk-garuk kepala,
“Lalu kita semua hanya menyaksikan orang yang meneng-menengan…” “Kanjeng
Sunan Kudus?” tatap Pangeran Bayat. ——————- “Baiklah,” Sunan Kudus
menyentuh tangan Sunan Bonang, “Kanjeng, alangkah lebih baiknya jika
pembicaraan andika bertiga terdengar secara lahiryah.” “Hehhhhmmmm…”
Sunan Bonang menarik napas dalam-dalam, seraya mencerna permintaan Sunan
Kudus. “Ya, tentu harus terdengar. Kanjeng Sunan Kalijaga, Syekh,
lahirkanlah pembicaraan andika berdua!” Keduanya masih belum melahirkan
setiap ucapannya, seakan-akan sedang berdebat dengan tatapan matanya
masing-masing. Tanpa ada gerak, bahkan komat-kamit mulut yang
meluncurkan setiap kalimat sanggahan dan pernyataan. Yang terdengar
hanyalah suara jubah mereka masing-masing yang berkelebatan tertiup
angin pegunungan. “Kanjeng Sunan,” ujar Pangeran Bayat, tatapan matanya
tertuju pada Sunan Kalijaga. “Saya paham, Pangeran.” Sunan Kalijaga
tersenyum, kembali beradu tatap dengan Syekh Siti Jenar. ‘Syekh, tidak
setiap ajaran Islam yang andika tafsirkan dan pahami bisa disebarkan
secara merata. Pemahaman dan pencernaan tentang hal yang tidak tersirat
dan tersurat dalam alquran, hendaklah pilih-pilih, untuk siapa itu?
Dimana? Lalu tahapan aqidahnya? Sebab ilmu itu ada yang bisa disampaikan
melalui dakwah secara umum, terbuka, juga ada yang semestinya harus
dikonsumsi dan ditelaah berdasarkan tingkatan tertentu.’ “Mengapa mereka
masih saling tatap?” Pangeran Modang masih kebingungan. “Baiklah,
Kanjeng.” Syekh Siti Jenar menganggukan kepala, “Bagi saya setiap orang
adalah sama. Sama sekali tidak ada tingkatan yang lebih rendah dan lebih
tinggi. Masa mereka tidak sanggup mencerna dan menelaah setiap
pemikiran saya?” “Sekarang sudah terdengar…” Pangeran Modang tersentak,
“…tapi apa yang dibicarakannya…memekakan gendang telinga dan tidak
nyambung…” lalu menghela napas dalam-dalam. “Andika berkata demikian,
Syekh. Karena pembicaraan ini terdengar oleh umum. Tidak semestinya
mengharuskan orang lain berada dalam tahapan yang sama dengan andika.”
“Bukan salah saya, merekalah yang tidak mau mengerti dan memahami.
Sehingga muncul kalimat bodoh yang menduga-duga, serta merta memojokan
dan menyudutkan semisal saya dan para murid.” “Apa yang andika
bicarakan, Syekh?” tanya Pangeran Modang, “Dari tadi saya perhatikan
terus ngelantur. Tidakah sadar jika andika ini telah menyebarluaskan
ajaran sesat dan menyesatkan?” “Perlukah saya bicara panjang lebar
dengan andika, Pangeran?” “Tidak perlu!” tatap Pangeran Modang, “Apa
lagi yang mesti kita bicarakan? Kecuali menangkap dan memenjarakannya,
kalau perlu dihukum sekalian. Mesti berdebat pun tentu saja pembicaraan
andika akan lebih melantur kemana-mana. Memutar balikan fakta, serta
membolak-balikan kalimat. Mana mungkin orang yang sudah dituduh bersalah
mengakui kesalahannya, selain mengelak dan berusaha mencari alasan agar
terlepas dari hal yang dituduhkan.” “Baiklah, saya terima tantangan
itu.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Meski saya seribu kali membuat
penjelasan dan pembelaan rasanya bukan itu yang andika semua tuju.
Karena tujuan para utusan agung dari negeri Demak Bintoro ingin
menangkap saya dan menjatuhkan hukuman. Untuk itu tangkaplah saya!”
“Tentu!” Pangheran Modang maju, lantas mengikat lengan dan sekujur tubuh
Syekh Siti Jenar, lalu disered. “Selesai, Kanjeng! Kakang Bayat! Betapa
mudahnya menangkap orang ini tidak seperti hari sebelumnya menghilang
segala. Mari kita kembali ke negeri Demak Bintoro.” tangannya
menggenggam pesakitan seraya memaksanya untuk turun dari padepokan.
“Lha, kenapa amat mudah?” gumam Sunan Geseng. Lalu membalikan tubuhnya
mengikuti langkah Pangeran Modang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan
Pangeran Bayat.
***
Awan berlayar rendah di atas bahu puncak
Gunung Lawu. Matahari berbinar kemerah-merahan, mungkin marah atau
terusik dengan suara bising di tepi hutan. Teriak lantang, dentingan
senjata begitu nyaring. Nun jauh dari keramaian rakyat negeri Demak
Bintoro, berdiri pendopo megah terbuat dari kayu jati tidak berukir.
Halamnnya yang luas dipagari pepohonan sebesar tubuh kerbau, daun
rimbunnya menutup langit, pagar hidup dan tumbuh. Loro Gempol berdiri di
depan para lelaki telanjang dada, tubuh kekar serta berotot. Setiap
tangan menggenggam pedang, lalu berpasangan saling serang. Di sudut lain
Kebo Benowo berdampingan dengan Joyo Dento, dihadapannya berdiri
pasukan berbaju serba hitam. Tangannya menghunus keris, menggenggam
tombak pasukan sebelahnya, paling samping dengan busur di tangan dan
anak panah. “Inilah pasukan gelap sewu!” gumam Kebo Benowo. “Hanya saja
kita kekurang satu pasukan lagi?” dahi Joyo Dento mengkerut. “Maksud
andika?” “Kita perlu pasukan berkuda.” “Kenapa tidak?” “Persoalannya
kita harus mengeluarkan modal yang lebih besar? Selain membeli kuda juga
merekrut lagi warga Demak yang siap berjuang bersama kita.” “Bukankah
itu soal mudah, Dento?” “Maksud aki?” “Taklukan lagi para rampok dan
paksa orang-orang kampung, terutama para pemudanya agar mengikuti kita.
Perlu kuda kita melakukan perampasan…” “Saya kurang setuju dengan cara
demikian, Ki.” Joyo Dento meninggikan alisnya. “Meski dulu pernah
melakukan cara itu. Namun itu hanya berlaku bagi para perampok. Bagi
penduduk kampung tidak lagi dengan cara kasar.” “Takutkah andika,
Dento?” “Sama sekali tidak, Ki.” “Lantas?” “Tidakkah aki pikirkan
seandainya kita menempuh cara lama dalam mengumpulkan orang tidak akan
pernah menumbuhkan rasa simpati. Apalagi mendukung langkah kita,”
“Haruskah membeli?” tatap Kebo Benowo, “Bukankah kita tidak cukup modal
untuk biaya makan mereka saja mengandalkan uang dan emas cipataan?”
“Tidak,” ——————- “Lantas?” Kebo Benowo menggeleng. “Ide apa kali ini
yang bersemayam di benak andika, Dento?” “Doktrin!” “Maksudnya?” dahi
Kebo Benowo mengkerut. “Bukankah siasat ini berhasil?” sungging Joyo
Dento. ”Keadaan rakyat Demak Bintoro terpengaruh dan kacau…” “Ajaran
hidup untuk mati itukah?” “Itulah!” “Bukankah mereka sudah menganggap
mati itu indah? Mana mungkin mereka menginkan kedudukan dan memiliki
niat bergabung dengan kita?” “Hahahaha…Ki Benowo! Jangan khawatir,
bukankah orang-orang yang akan kita pengaruhi tidak lain hanyalah
masyarakat miskin dan bodoh?” “Benar,” “Mudah.”
***
“Syekh Siti Jenar yang memiliki ilmu
sihir itu ternyata teramat mudah untuk saya seret ke hadapan Gusti
Sultan.” tawa renyah Pangeran Modang mengurai gemerisiknya dedaunan
tertiup angin. “Dimas, Modang!” kerut Pangeran Bayat. “Tidak mungkin ini
terjadi teramat mudah?” matanya tidak beranjak dari wujud Syekh Siti
Jenar yang terikat dan disered-sered Pangeran Modang. “Tentu saja,
Kakang. Mungkin ilmu sihirnya pada hilang gara-gara berhadapan dengan
Kanjeng Sunan Kalijaga yang memiliki ilmu tinggi.” “Bukankah tempo hari
juga yang menghadapi Kanjeng Sunan Kudus?” “Entahlah…bukankah ketika
berhadapan dengan Kanjeng Sunan Kudus masih sempat menghilang dengan
sihirnya ketika akan ditangkap?” “Benar juga?” “Kenapa andika malah
berdebat?” lirik Syekh Siti Jenar. “Bukankah tujuan andika berdua
menangkap saya. Setelah diberi kemudahan malah diperdebatkan. Bawalah
saya dan hadapkanlah pada Gustimu!” “Andika menantang!” geram Pangeran
Modang. ——————- “Mengapa saya harus menantang? Andai benar itu tujuan
andika?” “Baiklah!” dorong Pangeran Modang, “Andika akan diadili, serta
mendapatkan hukuman yang setimpal.” “Saya kira tidak melalui pengadilan
dulu?” “Bicara apa?” “Masa kisanak tidak dengar?” “Itu penghinaan,
Syekh!” geram Pangeran Modang, “Jangan sekali-kali andika bicara
ngelantur. Untung saja belum berada dihadapan Gusti Sultan. Dosa dan
kesalahan andika akan bertambah, akibat menghina pengadilan. Hukuman pun
akan lebih berat! Itu mesti andika pahami!” “Apa artinya hukum
manusia?” “Tidak takutkah andika, Syekh?” “Mengapa mesti takut,
Pangeran. Tidakkah kehidupan manusia ini di dunia hanya sekejap.”
desahnya pelan, “Tidakkah kisanak perhatikan indahnya matahari di upuk
senja? Jika hari sudah senja, artinya tiada lama lagi malam akan tiba.
Terpaksa atau tidak terpaksa indahnya senja akan terseret gelapnya
malam. Bukankah teramat singkat dan cepat. Begitu pula kehidupan kita di
dunia ini.” Pangeran Modang diam sejenak, Pangeran Modang, Sunan
Geseng, dan yang lainnya hanya menghela napas dalam-dalam. Tiada
salahnya yang diucapkan Syekh Siti Jenar. Meski demikian mereka tidak
boleh hanyut terbawa arus pembicaraannya. Apa pun yang terjadi, Syekh
Siti Jenar tetap merupakan musuh Negara dan Agama yang perlu mendapatkan
hukuman. “Cukup, Syekh!” sentak Pangeran Modang memecah keheningan
sejenak. “Andika diseret ke Demak bukan untuk berbicara tentang
kehidupan. Semua orang tahu itu! Perlu andika ketahui! Andika digiring
ke Demak Bintoro tiada lain untuk dipenggal!” “Pangeran?” sela Sunan
Geseng pelan. ——————- “O…” hela Syekh Siti Jenar, “…teramat mudah
menghilangkan nyawa orang dengan jalan dipenggal. Mestikah hukum penggal
dilakukan demi menghilangkan nyawa orang?” ”Jangan salah arti, Syekh!”
ujar Pangeran Modang, “Hukum penggal dilakukan bukan untuk menghilangkan
nyawa orang! Ingatlah, pemenggalan dilakukan demi tegaknya hukum!”
“Bukankah pada akhirnya tetap untuk menghilangkan nyawa orang? Yang
kisanak anggap sebagai musuh Negara?” “…tidak…” “Mengapa tidak? Bukankah
setelah orang dipenggal dan lehernya putus akan mati? Itu sebuah
pembunuhan, yang tidak memiliki rasa kemanusian sama sekali. Apa bedanya
kisanak dengan menghargai binatang ternak yang disembelih?” ”Apa
bedanya seorang penjahat seperti andika dengan hewan sembelihan?
Bukankah tidak lebih rendah perbuatan andika dari binatang sembelihan?”
“Kisanakkah yang menentukan rendah dan terhormatnya derajat manusia?”
“Ini sudah menjadi ketentuan hukum…” Pangeran Modang mengerutkan
keningnya, lalu lengan bajunya mengusap keringat yang mulai meleleh dari
dahinya. “…hingga derajat andika dianggap setingkat dengan binatang
sembelihan. Maka hukum penggal sugah semestinya…” “Pangeran,” desis
Sunan Geseng. ”Tidakkah perkataan Pangeran terlalu berlebihan? Bukankah
pengadilan nanti yang akan menentukan di depan sidang para wali dan
Gusti Sinuhun?” ”Ah, tapi…” Pangeran Modang tampak pucat. “Bukankah
sepantasnya, Kanjeng Sunan. Jika Syekh Siti Jenar diberi sedikit
penjelasan…maksud saya supaya tersadar akan kesalahan dan dosa-dosanya.
Sebelum hukum dijatuhkan dia mau bertobat…” “Hahahaha….” Syekh Siti
Jenar terkekeh, “….Pangeran perkataan kisanak berlebihan…” “Diam,
Syekh!” Pangeran Modang merah padam, lalu memukul pundak Syekh Siti
Jenar hingga terhuyung. ——————- ”E…eh,” Syekh Siti Jenar menjaga
keseimbangan. “Dimas, mengapa berlaku demikian padanya?” tatap Pangeran
Bayat. “Maaf, Kakang. Dia terlalu angkuh dan selalu mencela kita. Arti
nya melawan Pejabat Negara. Tidak sepantasnya bagi rakyat jelata melawan
Pejabat.” “Ternyata kisanak telah dilenakan dengan pakaian kebesaran,
Pangeran.” sungging Syekh Siti Jenar. “Tidakkah antara si miskin dan si
kaya, pejabat atau pun rakyat semuanya sama di depan hukum?” “Siapa
bilang?” geram Pangeran Modang. “Andika selain penghianat Agama dan
Negara juga berani mencela setiap ucapan saya. Tidak sadarkah derajat
andika dan saya berbeda. Andika hanya rakyat jelata, saya pejabat
Negara. Mestikah saya hormat terhadap andika?” “Benar…benar kisanak
telah dibutakan gemerlapnya pakaian kebesaran dan singgasana jabatan.”
sungging Syekh Siti Jenar, ”Kisanak telah lupa tentang asal muasal
sendiri, apalagi hakikat hidup. Lantas tidakkah ingat bahwa Allah
menilai manusia bukan karena parasnya yang cantik, bukan karena
jabatannya, bukan karena miskinnya, tetapi orang yang paling mulia
dihadapanNya hanyalah nilai ketakwaannya? Dunia, jabatan, kekuasaan,
serta segala yang kisanak miliki tidak akan pernah menolong dan membantu
ketika kita ber…” “Diam!” bungkam Pageran Modang, “Tidak..semestinya
andika menggurui saya.” mukanya merah padam, matanya menyala terbakar
marah. Kepalan tangannya menghantam lambung. “Akhhh…” jerit lirih Syek
Siti Jenar, merunduk. “Rupanya andika harus mendapat pelajaran!”
ketusnya. ——————- “Dimas,” Pangeran Bayat menghentikan gerakan tangan
Pangeran Modang berikutnya. “Kenapa, Kakang?” “Sadarlah, Dimas? Tidak
semestinya kita memperlakukan Syekh Siti Jenar secara kasar. Bukankah
dia juga punya hak untuk mendapatkan keadilan yang wajar?” “Tapi,”
“Hehe…andaikan pejabat negara seperti kisanak semua tidak mungkin
keadilan akan tercapai. Tidak mampu mengendalikan amarah…alamat
berantakan sistem hukum di negara ini.” “Diam, andika, pesakitan!”
bentak Pangeran Modang. “Jika buka mulut sekali lagi akan ku sumpal
mulut andika…” “Pangeran, tindakan kisanak tidak mencerminkan sebagai
seorang terpelajar dan sosok pejabat…” “Mulai lagi andika! Bukannya diam
dan merasa takut pada saya. Bukankah sudah tahu bahwa saya ini seorang
terpelajar, juga pejabat negara. Beraninya bersikap tidak diam, malah
membantah terus…” “Mengapa saya mesti takut pada kisanak selaku pejabat
negara dan terpelajar, bukan sebaliknya sosok kisanak mencerminkan
prilaku yang sesuai dengan jabatan serta ilmu yang dimiliki?” “Keparat!”
Pangeran Modang semakin terpancing, hingga kembali mengayunkan kepalan
tangannya ke perut. “Aduhhh…” Syekh Siti Jenar terhuyung. “Mau lagi?”
memamerkan kepalannya, dengan tatap mata beringas. “Bukannya andika ini
orang sakti Syekh mengapa saya pukul sekali saja sudah nampak
kesakitan?” “Jika Pangeran masih mau memukul saya silahkan. Saya
merasakan sakit saat dipukul kisanak hanyalah untuk menghormati
kesombongan dan keadigungan adiguna….” “Brengsek! Menantang rupanya
andika, Syekh?!” Pangeran Modang kembala mengayunkan kepalan tangannya
ke arah perut. Drek, terasa kepalan tangannya menghantam baja.Mulutnya
menyeringai menahan sakit. Tetapi yang dipukulnya untuk kali ini tidak
bergeming. Hati Pangeran Bayat mulai ciut. ——————- ”Eeh…sihir apalagi
yang andika gunakan, Syekh?” ”Pangeran, tidak semestinya seorang
terpelajar dan memiliki jabatan menduga-duga dan menuduh. Padahal
tuduhan tadi menunjukan ketidakpercayaan diri kisanak.” “Andika yang
menduga-duga?” ”Katakanlah dengan nurani, Pangeran. Tidak sepantasnya
memutarbalikan kata andai itu hanya untuk melipur lara karna takut.”
berdiri tegak, tatapan matanya yang tajam seakan-akan menembus kelopak
mata Pangeran Modang dengan seringainya menahan sakit. ‘Keparat,
benarkah dia itu bisa membaca isi hati saya? Ah…mana mungkin manusia
sanggup menyelami hati orang lain?’ sejenak termangu, telapak tanganya
mengelus punggung tangan yang terasa sakit. ‘Jika tidak, mengapa dia
tahu saya merasa ciut…’ “Benarkan apa yang saya katakan, Pangeran?”
”Diam!” geramnya, jari-jemarinya dengan kasar menjabak leher baju Syekh
Siti Jenar. “Mana mungkin orang sekasar kisanak bisa mendalami agama
dengan baik. Apalagi mendakwahkannya pada orang lain. Prilaku saja sudah
tidak sanggup menarik simpati. Tidak salahkah para wali memungut
kisanak sebagai abdi negara? Bukankah rakyat semacam saya ini perlu
diayomi…” “Tidak, karna andika bukanlah rakyat Demak Kebanyakan. Andika
tiada lain pesakitan yang sudah semestinya mendapat perlakuan seperti
ini.” ”Bukankah kesalahan saya ini belum terbukti, Pangeran?” “Nanti
akan kita buktikan dalam persidangan…” ”Haruskah yang belum jelas
kesalahannya diperlakukan sebagai pesakitan?” “Andika ini memang
pesakitan!” bentaknya dengan muka memerah. “Tidakkah kisanak dalam
keadaan gusar? Setiap ujaran berbenturan dengan lainnya.” ”Diam!”
Pangeran Modang merenung sejenak. Disisi lain rasa gengsi sangat kuat
untuk memperlakukan Syekh Siti Jenar dengan cara yang kurang hormat,
dipihak lain membenarkan ucapan musuhnya. “Sudah!” lalu menyeret lagi.
“Sebaiknya Pangeran istirahat dulu…” “Diam!” lalu membalikan tubuh ke
belakang ternyata Pangeran Bayat menjauhi dirinya seakan berlari kembali
ke Padepokan menghampiri para Sunan yang tidak mengikuti langkahnya.
“Ada apa ini?” dahinya dikerutkan. ——————- “Kenapa Kakang Bayat
meninggalkan saya? Juga para Sunan tiada satu pun mengikuti, padahal
tadi dibelakang.” “Jika demikian kita hanya berdua Pangeran?” terdengar
lembut dan menakutkan. “Diam!.” kembali berbalik, “Eeh…kemana Syekh Siti
Jenar? Mengapa ikut lenyap, lalu…” Pangeran Modang mengerutkan
keningnya, tangannya masih menggenggam kuat tambang pengikat
pesakitannya. Yang diikatnya kini bukanlah Syekh Siti Jenar tetapi
sebongkah gedebog pisang. ”Keparat! Saya telah kembali ditipu dengan
sihirnya…” giginya gemeretak, tinjunya dikepalkan, mukanya merah padam.
“Aneh, bukankah sedari tadi saya bicara dengan mereka…apa sebenarnya
yang telah terjadi pada diriku?” Berkali-kali telapak tangnya menepuk
dahi, terasa dirinya betapa dungu dalam menghadapi kejadian tersebut.
“Lalu, benarkah tadi yang saya ajak bicara Kakang Bayat? Juga Para
Sunan? Jika benar tentu mereka tidak akan meninggalkan saya begitu
saja?” ”Haha…dasar bodoh! Andai mata hati kisanak tidak buta tentu tak
seharusnya berbuat sebodoh itu….” “Keparat! Siapa andika?”
berputar-putar mencari pemilik suara, terdengar seakan-akan menusuk
gendang telinganya. “Buanglah yang menyebabkan hati kisanak menjadi
buta. Belalakkanlah mata hati kisanak!” “Brengsek! Andika jangan
mempermainkan saya! Ayo tampakan wujud Andika pengecut…” “Bukankah tadi
saya sudah menasihati kisanak?” “Saya tidak perlu nasihat orang
pengecut…” “Kisanak masih belum paham juga…”
No comments:
Post a Comment